12 Juta Masyarakat Indonesia Belum Punya Rumah, Apa Penyebabnya?

15 Agustus 2022 13:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi rumah. Foto: ANTARA FOTO/Makna Zaezar
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rumah. Foto: ANTARA FOTO/Makna Zaezar
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi menyebutkan bahwa memiliki rumah yang layak huni merupakan hak asasi setiap warga negara dan tugas pemerintah untuk memastikan hal tersebut terpenuhi. Namun, berdasarkan data dari Housing and Real Estate Information System (2022) setidaknya ada 12.715.297 yang belum memiliki rumah atau backlog kepemilikan rumah tahun 2021, sedangkan backlog kepemilikan rumah tahun 2020 mencapai 12.759.172.
ADVERTISEMENT
Sementara 84 persen dari backlog didominasi oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Apabila dirincikan, golongan MBR yang tidak memiliki rumah sebanyak 10.741.689 dan sisanya adalah golongan Non MBR 1.973.608. Lalu, apa yang menjadi problematika penyediaan rumah di Indonesia?
Panel Ahli Katadata Insight Center Mulya Amri menemukan korelasi positif antara harga rumah dengan angka backlog kepemilikan. Semakin tinggi harga rumah di suatu tempat menyebabkan angka backlog ikut naik.
"Semakin mahal harga rumah di suatu tempat ya semakin banyak masyarakat yang tidak memiliki rumah di sana," ujar Mulya dalam acara Rumah Untuk Semua: Mencari Solusi Masyarakat Merdeka Punya Rumah Layak, Senin (15/8).
Lebih lanjut, Mulya menilai, pembangunan rumah subsidi kurang diminati oleh pengembang besar. Sebab, pembangunan rumah subsidi umumnya dilakukan oleh pengembang skala kecil-menengah.
ADVERTISEMENT
Melayani kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah sering kali dianggap sebagai sebuah hal yang rentan bagi sebuah usaha. Ia menambahkan, terdapat risiko yang harus dihadapi pengembang, karena MBR memiliki kemungkinan untuk gagal membayar.
"Bahkan setelah disubsidi oleh pemerintah pun kembali minat membangun rumah subsidi sedikit khususnya bank besar," tambah Mulya.
Selain itu, akses permodalan dan regulasi kerap menjadi keluhan bagi pengembang rumah subsidi. Hal ini dikarenakan motif ekonomi menjadi alasan utama minimnya partisipasi pengembang skala besar
Untuk itu, peran vital pemerintah bersama lembaga perbankan dibutuhkan agar rumah subsidi dapat ditambah jumlahnya. Tidak hanya itu, diperlukan juga lembaga perbankan yang berkomitmen untuk menyalurkan kredit konstruksi dan KPR bersubsidi.
"Nah, ini ada dua hal, satu kredit untuk pembangun atau pengembang dalam bentuk kredit konstruksi dan yang kedua adalah untuk pembelinya," kata Mulya.
Ilustrasi perumahan bersubsidi di Pandeglang, Banten, Senin (11/7). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Pemerintah Dukung Program Pembiayaan Rumah

Mulya menjelaskan bahwa pemerintah mendukung pembiayaan perumahan melalui dana APBN. Salah satunya adalah program Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan (FLPP).
ADVERTISEMENT
Adapun, alokasi tahun 2022 dari pemerintah meningkat menjadi 200.000 dari tahun sebelumnya sebanyak 178.728. Tentu saja, ini dapat mengurangi backlog kepemilikan rumah sekitar 1,2 persen sampai dengan 2,16 persen setiap tahunnya.
"Adanya program seperti FLPP terlihat bahwa backlog ini makin berkurang," ungkapnya.
Menurut Mulya, program seperti ini memang membantu menurunkan angka backlog di Indonesia. Di sisi lain, rumah yang dibangun dari sisi skala masih sangat kurang.
"Kehadiran BP Tapera diharapkan menjadi sumber pendanaan non-APBN," pungkas Mulya.
Di sisi lain, Bank BTN dan BTN Syariah telah menyalurkan 73,14 persen program FLPP sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2010. Ini sejalan dengan mandat BTN untuk menjadi satu-satunya bank perumahan yang membuka akses pembiayaan rumah MBR melalui KPR.
ADVERTISEMENT
Persentase ini berada sangat jauh dibandingkan bank lainnya. Misalnya pada tahun 2010 hingga April 2022, BTN berhasil menyalurkan 658.980 unit, BTN Syariah 70.542 unit, BNI 60.756 unit, BSI 49.402 unit, BRI 25.932 unit, Mandiri 11.571 unit dan Bank Papua 9.400 unit.
Meski begitu, kebanyakan bank tidak memenuhi kuota untuk menyalurkan FLPP. Setidaknya lebih dari 50 persen bank tidak menyalurkan dana yang telah dialokasikan.
Mulya melihat, urusan rumah untuk kelompok MBR bukan sesuatu yang menarik secara komersial, sehingga bank tidak melakukannya. "Bahkan sudah disubsidi, diberikan fasilitas likuiditas pun kebanyakan tidak menyalurkan," tandas Mulya.