Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
IESR Sarankan Pemerintah Tak Larang Ekspor Listrik EBT, Kenapa?
10 Oktober 2022 20:36 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 5 Desember 2022 15:52 WIB
ADVERTISEMENT
Wacana larangan ekspor listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) sudah mencuat beberapa waktu yang lalu. Namun, hingga kini belum ada kepastian dari pemerintah mengenai penerapan kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, merasa pemerintah seharusnya tidak melarang ekspor listrik EBT. Menurutnya, ada beberapa alasan yang bisa dipertimbangkan pemerintah. Pertama, sumber daya EBT di Indonesia sangat berlimpah.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi listrik dari EBT sebesar 3.600 gigawatt (GW). Angka tersebut sangat cukup bahkan berlebih karena target pengembangan pembangkit EBT hanya 700 GW hingga tahun 2060.
Alasan kedua, kata Fabby, jika pemerintah bisa mengekspor listrik EBT sebenarnya dapat mendorong maturity atau kematangan dari pasar EBT Indonesia karena selama ini hanya bergantung kepada PLN sebagai single offtaker.
"Kalau mau mengembangkan EBT tergantung kepada PLN bisa beli atau enggak, dan ini jadi masalah kenapa jadi lambat karena PLN tidak mampu beli EBT, alasannya mahal, macam-macam," ujar Fabby usai konferensi pers ISEW 2022, Senin (10/10).
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Fabby meminta jika ada negara lain yang ingin membeli pasokan listrik EBT, pemerintah tidak melarangnya karena kematangan pasar EBT bisa meningkatkan pertumbuhan pasar. Selain itu jika ada larangan bisa saja membuat para investor melihat risiko investasi EBT di Indonesia semakin turun.
Fabby mengatakan dengan risiko investasi di Indonesia turun, maka biaya atau financing cost dari investasi di sektor tersebut juga bisa lebih rendah.
"Kalau lebih rendah maka yang untung PLN juga sebenarnya, karena dia bisa dapat pinjaman dengan bunga yang lebih rendah dan nanti harga listriknya dari EBT di lain waktu akan jauh lebih rendah," ungkapnya.
Dia mencontohkan pada 2019 lalu, Singapura pernah mendeklarasikan rencana 25 persen bauran energi, atau setara 4 GW di tahun 2035, akan berasal dari EBT. Salah satu upayanya adalah dengan membuka lelang proyek EBT di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lelang tersebut berbuah nota kesepahaman (MoU) perusahaan EBT Singapura, Sunseap Group, akan membangun PLTS di Kepulauan Riau (Kepri) pada 2021 lalu. Proyek tersebut berkapasitas 7 gigawatt-peak (GWp), termasuk PLTS terapung sebesar 2,2 GWp yang akan dibangun di pulau Batam.
Fabby menuturkan, proyek tersebut sangat potensial untuk pengembangan EBT di Indonesia di tengah kondisi kelebihan pasokan atau oversupply listrik PLN yang menghambat penyerapan listrik EBT.
"Sekarang kita belum mampu akselerasi EBT karena masih over capacity, dalam 2-3 tahun ini ya biarin saja ekspor ke Singapura, dan Singapura butuh 4 GW," kata dia.
"Kalau Indonesia bisa ekspor 2 GW, masuk separuhnya saja, itu bisa menumbuhkan itu dan menurut saya ada cascading effect ke market kita, biaya investasi bisa turun, risiko turun, dan ujungnya PLN juga yang senang," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, mengungkapkan pemerintah akan memastikan ketersediaan pasokan listrik dari EBT cukup terlebih dahulu di dalam negeri, sehingga tidak akan diekspor.
Walaupun menutup keran ekspor EBT, Bahlil memastikan Indonesia tidak akan tertutup dari investasi asing untuk membantu pengembangan EBT di daerah mana pun Indonesia. Sebab, yang penting adalah pasokan EBT bisa melimpah.
"Silakan investasi, di Kepri monggo, tetapi kita belum terpikir untuk mengekspor energi baru terbarukan kepada negara mana pun. Karena kita akan pakai dulu di dalam negeri, cukup dulu, silakan kalau berinvestasi dalam negeri," ungkap Bahlil saat Road to G20 Investment Forum, Rabu (18/5).
Live Update