2 Direksi Sriwijaya Air Mundur

30 September 2019 15:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dua direktur Sriwijaya Air, Direktur Operasi Captain Fadjar Semiarto (kiri) dan Direktur Teknik Ramdani Ardali Adang (kanan) menyatakan mengundurkan diri dari Sriwijaya Air. Foto: ANTARA FOTO/Juwita Trisna Rahayu
zoom-in-whitePerbesar
Dua direktur Sriwijaya Air, Direktur Operasi Captain Fadjar Semiarto (kiri) dan Direktur Teknik Ramdani Ardali Adang (kanan) menyatakan mengundurkan diri dari Sriwijaya Air. Foto: ANTARA FOTO/Juwita Trisna Rahayu
ADVERTISEMENT
Kisruh di internal Sriwijaya Air Group membuat dua orang direksi memutuskan mengundurkan diri secara resmi. Direksi yang mengundurkan diri ialah Direktur Operasi Sriwijaya Air, Fadjar Semiarto dan Direktur Teknis, Romdani Ardali Adang.
ADVERTISEMENT
"Kami berdua mengundurkan diri dari posisi kami untuk conflict of interest dari sisi operasi dari kru dan teknis kalau bisa saya simpulkan dari sisi kru, adanya dualisme kepemimpinan," katanya saat konferensi pers di Kopi Oey, Sabang, Jakarta Pusat, Senin (30/9).
Dua direksi ini sepakat mengundurkan diri lantaran melihat kondisi keuangan hingga keselamatan pesawat yang bisa memicu risiko penerbangan.
Sebelumnya dalam surat nomor Nomor: 096/DV/1NT/SJY/1X/2019 tertanggal 29 September 2019 yang salinannya diterima kumparan, Direktur Quality, Safety dan Security Sriwijaya Air, Toto Subandoro menjelaskan, rekomendasi itu diputuskan usai Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan yang melakukan pengawasan terhadap keselamatan penerbangan Sriwijaya Air menemukan adanya ketidaksesuaian pada laporan yang disampaikan perusahaan 24 September 2019 pada DKPPU.
ADVERTISEMENT
Temuan tersebut adalah bahwa ketersediaan tools, equipment, minimum spare, dan jumlah qualified engineer yang ada di perusahaan ternyata tidak sesuai dengan laporan yang tertulis dalam kesepakatan yang dilaporkan kepada Dirjen Perhubungan Udara dan Menteri Perhubungan. Termasuk bukti bahwa Sriwijaya Air belum berhasil melakukan kerja sama dengan JAS Engineering atau MRO lain terkait dukungan Line Maintenance.
Hal ini berarti Risk Index masih berada dalam zona merah 4A (Tidak dapat diterima dalam situasi yang ada), yang dapat dianggap bahwa Sriwijaya Air kurang serius terhadap kesempatan yang telah diberikan pemerintah untuk melakukan perbaikan.
Dengan menimbang uraian tersebut di atas, serta keterbatasan Direktorat Teknik untuk meneruskan dan mempertahankan kelaikudaraan dengan baik, belum adanya laporan keuangan sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan, dan tata temuan ramp check yang dilakukan oleh Inspektorat DKPPU, maka pemerintah, sebut Toto, sudah mempunyai cukup bukti dan alasan untuk menindak Sriwijaya Air setop operasi karena berbagai alasan yang telah tersebut di atas.
ADVERTISEMENT
"Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan setelah diskusi dengan Direktur Teknik dan Direktur Operasi sebagai pelaksana safety, maka kami merekomendasikan Sriwijaya Air menyatakan setop operasi atas inisiatif sendiri (perusahaan) atau melakukan pengurangan operasional disesuaikan dengan kemampuan untuk beberapa hari ke depan, karena alasan memprioritaskan safety. Hal ini akan menjadi nilai lebih bagi perusahaan yang benar-benar menempatkan safety sebagai prioritas utama," ujar Toto dalam surat tersebut dikutip kumparan, Senin (30/9).
Jika dalam beberapa hari kemudian Sriwijaya Air dengan persiapan yang lebih matang telah merasa siap kembali untuk beroperasi, maka manajemen cukup melaporkan kepada DKPPU untuk kemudian lebih mudah memperoleh izin terbang kembali. Sebaliknya, jika Sriwijaya Air dinyatakan setop operasi karena tidak comply terhadap standar dan regulasi yang berlaku, maka akan jauh lebih sulit untuk mendapatkan izin terbang kembali, dan menjadi preseden buruk di mata seluruh stakeholder dan masyarakat umumnya.
ADVERTISEMENT
Memang risiko belum tentu terjadi, namun Toto menjelaskan, perusahaan menganalisis dari indikasi yang terjadi dan proses yang ditemukan merupakan hazard berpotensi mengganggu keselamatan penerbangan dan mendatangkan sanksi terhadap perusahaan dan personel jika dianggap dengan sengaja melanggar atas pasal-pasal dari UU nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.
"Demikian rekomendasi ini disampaikan sebagai kewajiban Director of Quality, Safety & Security, dan untuk keputusan selanjutnya kami serahkan kepada Plt President Director, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih," jelas dia.