Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
5 Fakta Tentang Tergerusnya Industri Rokok Kretek Tangan di Indonesia
30 Juli 2018 8:26 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB

ADVERTISEMENT
Dalam dunia pertembakauan, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memproduksi rokok kretek menggunakan tangan halus pekerjanya, bukan mesin atau Sigaret Kretek Tangan (SKT). Campuran kretek dan cengkeh dalam setiap bungkus rokoknya juga menjadi salah satu warisan budaya Indonesia karena aromanya yang khas.
ADVERTISEMENT
Tapi di tengah maraknya Industri Hasil Tembakau (IHT) yang lebih modern seperti Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM), membuat industri SKT tergerus. Berikut 5 faktanya yang dirangkum kumparan, Senin (30/7):
1. Cukai Rokok Tiap Tahun Naik
Dari data yang dikutip Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebutkan, cukai rokok mengalami kenaikan tiap tahun. Dari tiga jenis IHT yaitu SKM, SPM, dan SKT, semuanya mengalami kenaikan dalam 5 tahun terakhir (2012-2017).
Pada SKT misalnya, di dalamnya terdapat 7 golongan (1A, 1B, 2A, 2B, 2C, 3A, dan 3B), hanya golongan 3B yang tidak naik cukainya. Untuk golongan lainnya seperti SKT 1A mengalami kenaikan dari 2012 sebesar Rp 275 per batang, naik menjadi Rp 290 per batang pada 2014. Lalu pada 2015 naik lagi menjadi Rp 320 per batang, Rp 345 per batang pada 2016, dan Rp 365 per batang pada 2017.
ADVERTISEMENT
Tahun ini pemerintah akan kembali menaikan tarif cukai rokok lagi. Kemungkinan akan dilalukan pada kuartal IV atau akhir tahun ini.
2. Produksinya Terus Turun
Kenaikan cukai yang terjadi setiap tahun membuat industri SKT semakin terhimpit. Sebab, kenaikan cukai akan mempengaruhi harga rokok yang akhirnya berdampak pada biaya produksi. Jika biaya produksi jadi mahal, jumlah rokok yang dihasilkan pun bisa turun.
Indef mencatat, jumlah produksi rokok kretek tangan atau Sigaret Kretek Tangan (SKT) dalam negeri terus mengalami penurunan. Dalam 5 tahun terakhir (2013-2017), produksinya turun sebesar 22,63 persen.
Ekonom Indef Enny Sri Hartati merinci, pada 2013 produksi rokok kretek mencapai 87,8 miliar batang dengan jumlah pabrik sebanyak 610 unit. Pada 2014, produksi turun menjadi 74,4 miliar batang dan jumlah pabrik hanya 535 unit. Lalu pada 2015, produksinya turun lagi menjadi 72,7 miliar batang dan jumlah pabrik 503 unit.
ADVERTISEMENT
“Pada 2016 turun lagi jadi produksi 70,8 miliar batang dan pabrik 559 unit. Pada 2017 anjlok jadi hanya 68 miliar batang dan 590 pabrik. Rata-rata pertumbuhan produksi minus 5 dan jumlah pabrik juga minus 5,” beber Eni beberapa waktu lalu.

3. Puluhan Ribu Pekerja Kena PHK
Tak hanya membuat produksi anjlok, kenaikan tarif cukai rokok juga membuat jumlah pekerjanya berkurang. Sebab, kenaikan cukai akan mempengaruhi harga rokok. Tingginya harga rokok, berpengaruh pada tenaga kerja.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI) Sudarto mengatakan, atas kenaikan cukai yang masif terjadi, dalam 8 tahun terakhir banyak pekerja rokok yang terpaksa dirumahkan atau PHK.
ADVERTISEMENT
PP FSP RTMM-SPSI mencatat, pada 2010 lalu, jumlah pekerja yang tergabung dalam organisasinya sebanyak 235.240, lima tahun kemudian atau pada 2015, turun menjadi 209.320. Penurun terus terjadi pada 2017 lalu yakni menjadi 178.624. Itu artinya, selama 8 tahun terakhir, pekerja rokok yang kehilang pekerjaan sebanyak 56.616.
4. Dianggap Rokok Jadul atau Generasi Tua
SKT juga dianggap sebagai rokok orang tua. Ini dikarenakan banyak generasi terdahulu yang saat ini masih asyik mengonsumsi rokok jenis ini. Sementara rokok putih yang lebih tipis dan memiliki banyak variasi rasa dianggap lebih modern. Teknologi yang digunakan untuk memproduksinya pun lebih canggih dengan mesin dan tenaga kerja yang dipakai sedikit.
5. Produksinya Dibatasi, Tapi Jadi Tumpuan APBN
ADVERTISEMENT
Keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok setiap tahunnya adalah agar produksi rokok bisa dikurangi. Padahal rokok menjadi andalan utama bagi pemasukan anggaran negara. Kontribusi rokok ke APBN sangat besar.
Lihat saja data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Kontribusi rokok bagi pemasukan APBN 2015 mencapai Rp 139,562 triliun, Rp 137,957 triliun di APBN 2016, dan Rp 147,719 triliun di APBN 2017. Sementara itu, hingga semester I 2018, kontribusi cukai rokok ke APBN mencapai Rp 50,96 triliun atau 32,79 persen dari target APBN tahun 2018 yang sebesar Rp 155,4 triliun. Angka tersebut tumbuh 15,02 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.