Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
70 Ribu Km Transmisi Menuju RI Lebih Hijau, Peluang Kerja Sama Terbuka Lebar
14 November 2024 19:23 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Cita-cita Indonesia menjadi lebih hijau dengan pengembangan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) tidak bisa dicapai tanpa pembangunan jalur transmisi atau jaringan listrik yang masif.
ADVERTISEMENT
Hal ini merupakan peran utama PT PLN (Persero), sebagai perusahaan pelat merah penyedia listrik di Indonesia. Kendati begitu, PLN membuka seluas-luasnya peluang kolaborasi dengan pihak swasta.
PLN mencanangkan pembangunan jaringan transmisi hijau alias green enabling transmission line. Setidaknya hingga tahun 2040, sebanyak 70.000 kilometer (km) transmisi hijau bisa terbangun dan sukses menyambungkan pembangkit EBT dan pusat permintaan atau demand center di negara kepulauan ini.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menjelaskan sejauh ini pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara selalu menyesuaikan pusat permintaan, misalnya untuk kebutuhan industri.
Namun, menurut dia, kondisi ini tidak sama bagi pembangkit EBT, baik itu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), hingga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), yang sumbernya biasanya jauh dari pusat permintaan.
ADVERTISEMENT
"Untuk itu kita menghadapi suatu tantangan bagaimana adanya mismatch, lokasi dari resources hydro, geothermal, wind dengan solar dengan epicentrum of demand," jelasnya saat Repnas National Conference & Awarding Night, Senin (14/10).
Lantaran lebih sulit memindahkan lokasi industri maupun pembangkitnya, lanjut Darmawan, PLN memiliki tanggung jawab membangun jaringan transmisi yang menyambungkan lokasi pembangkit EBT menuju pusat permintaan listrik .
"Dalam mismatch ini kita selesaikan, kita sambungkan dengan green enabling transmission line," ungkap Darmawan.
Dia menyebutkan, selama 10 tahun terakhir pembangunan transmisi hijau ini hanya sekitar 53.000 km, meskipun panjangnya sudah melebihi keliling bumi yakni 42.500 km.
"Kalau sampai 2040 sampai sekitar 70.000 km transmission line," kata Darmawan.
Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menilai pembangunan dan peningkatan kualitas jaringan transmisi listrik sangat penting untuk menjaga keandalan listrik, terlebih dalam upaya transisi energi.
ADVERTISEMENT
"Untuk menghubungkan sumber energi bersih yang tersebar dengan permintaan, termasuk hubungan antar pulau. Keterlibatan swasta sangat perlu karena keterbatasan kapasitas PLN," jelasnya saat dihubungi kumparan, Kamis (14/11).
Putra menjelaskan, perlunya keterlibatan swasta untuk mengurangi beban PLN memenuhi seluruh investasi pembangunan transmisi hijau yang sangat besar ini.
"PLN sangat bergantung pada subsidi dan dengan ‘cost-plus’ model sesuai dengan kebijakan pemerintah. Kalau pemerintah tidak bisa membenahi hal tersebut maka keterlibatan swasta tidak terhindarkan seiring dengan meningkatnya kebutuhan investasi guna memenuhi kebutuhan listrik masyarakat," jelasnya.
Gotong Royong PLN dan Swasta
Vice President of Financial Institutions and Market Research PLN, Maya Rani Puspita, menyebutkan transisi energi merupakan agenda besar PLN, namun memerlukan kolaborasi dan dukungan seluruh pihak.
Kolaborasi untuk menggencarkan transisi energi di Indonesia ini, kata Maya, bisa dikembangkan baik itu untuk proyek pembangkit EBT maupun transmisi hijau.
ADVERTISEMENT
"Baik dari sisi finansial maupun dari sisi private sectors yang nanti akan membantu sebagai developer dalam pengembangan proyek-proyek infrastruktur yang ada di PLN," ujarnya saat seminar Indonesia's Energy Transition: Integrating Smart Grid Technology, Selasa (16/7).
Untuk sektor pembangkitan, Maya mengungkapkan, PLN sudah menambah pembangkit EBT sekitar 52 persen dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
PLN kemudian berencana meluncurkan RUPTL 2024-2033. Perusahaan membentuk skenario Accelerated Renewable Energy Development (ARED), di mana target penambahan kapasitas pembangkit EBT naik menjadi 75 persen.
Hal tersebut, lanjut Maya, merupakan tantangan tersendiri bagi PLN baik, terutama dari sisi pendanaan. Dengan begitu, PLN membutuhkan keterlibatan swasta atau private sectors.
Pasalnya, dia mencatat dalam RUPTL, PLN membutuhkan total investasi USD 110 miliar untuk melaksanakan program-program sepanjang tahun 2024-2033.
ADVERTISEMENT
Dari total investasi tersebut, proyek pembangkit memiliki porsi terbesar mencapai USD 80 miliar. Dari nilai investasi itu, Maya menyebutkan terdapat pembagian antara PLN dan pembangkit swasta (Independent Power Producer/IPP).
"Kami perkirakan bahwa nanti PLN akan mengambil sekitar 38 persen atau sekitar 30 billion, sedangkan sisanya 62 persen kami akan mengajak partnership dengan IPP, itu sebesar 50 billion," tutur Maya.
Maya merinci, kebutuhan investasi untuk pembangkit EBT beban dasar (baseloader) paling besar yaitu USD 48 miliar, kemudian untuk pembangkit EBT bersifat intermiten atau variable renewable energy sekitar USD 11 miliar, dan kemudian pembangkit EBT lainnya sekitar USD 2 miliar.
Selanjutnya kebutuhan investasi transmisi. Maya mengatakan urgensi pengembangan transmisi hijau ini disebabkan sumber pembangkit EBT yang biasanya terlalu jauh dengan pusat permintaan. Setidaknya untuk 10 tahun ke depan, PLN membutuhkan investasi USD 30 miliar.
ADVERTISEMENT
"Ini kita sebut dengan green enabling transmission line dan ini juga akan mengambil porsi yang cukup besar dalam rencana PLN 10 tahun ke depan, kami perkirakan untuk pembiayaannya untuk investasinya itu memerlukan hingga 30 billion," jelas Maya.
Sejauh ini, kata Maya, pembangunan transmisi dan distribusi 100 persen dilakukan PLN. Namun dengan semakin berkembangnya investasi ke depannya, maka PLN juga mengeksplorasi opsi-opsi pendanaan lainnya.
"Sehingga PLN tidak hanya mengundang swasta untuk pembangkit, namun bisa jadi nanti juga masuk ke transmisi dan distribusi. Karena ketika kita bicara jangka panjang, maka ke depannya PLN memerlukan tambahan infrastruktur, terutama untuk yang transmisi. Ini luar biasa besar," tegas Maya.
Opsi Model Bisnis dengan Swasta
Maya mengungkapkan beberapa model bisnis proyek transisi energi. Pertama, PLN sebagai pemilik proyek menugaskan subholding untuk melaksanakan proyek, di mana untuk debt dan equity nanti akan murni menjadi porsi dari subholding.
"Proyek tersebut di mana untuk debt dan equity nanti akan murni menjadi porsi dari subholding, ini murni menjadi PLN proyek," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, PLN memiliki berbagai opsi kerja sama dengan swasta atau IPP, baik itu sebagai strategic partner, mandatory partner, atau murni proyek swasta. Kerja sama ini bisa dilaksanakan dengan holding maupun subholding PLN.
"Nanti subholding bisa masuk untuk sebagai strategic partner, memiliki share 51 persen dan di sini nanti menggandeng private sector," ucap Maya.
Kemudian skema mandatory partner, di mana PLN sedari awal sudah meminta agar subholding atau cucu perusahaan menjadi mandatory partner dari IPP.
"Ada juga yang IPP, pure IPP di mana nanti akan ada SPC (special purpose company), debt dan equity-nya menjadi tanggung jawab dari IPP," imbuh Maya.
Terlepas dari berbagai opsi pendanaan dan skema kerja sama proyek transisi energi antara PLN bersama swasta, Maya menegaskan bahwa upaya dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan ini menjadi tanggung jawab bersama.
ADVERTISEMENT
"Bagaimana PLN harus menggandeng pemerintah, private, sector, dan segala pihak untuk bisa menyukseskan transisi energi ini, karena kami juga dari sisi pembiayaan juga ada keterbatasan, jadi memerlukan dukungan equity injection dari pemerintah, memerlukan pinjaman dari financiers, termasuk juga hibah dari lembaga-lembaga donor yang memang saat ini cukup banyak diberikan kepada PLN terkait dengan transisi energi ini," tandas Maya.