Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Peraturan baru mengenai pengajuan SNI bagi produk mainan impor anak-anak melalui lembaga sertifikasi dengan beberapa syarat, langsung merepotkan pengusaha mainan anak sekaligus importir.
ADVERTISEMENT
Adapun regulasi terbaru itu dirasa importir menghancurkan industri mainan anak. Regulasi tersebut yakni Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian pada Februari 2021.
Ketua Umum Asosiasi Industri Mainan Sutjiadi Lukas menyampaikan, peraturan turunan Undang-Undang Omnibus Law ini membuat pengusaha terancam gulung tikar. Sebab, peraturan yang diterapkan pada masa pandemi ini semakin menurunkan impor mainan anak secara signifikan.
“Sebelum pandemi bisa impor sampai 400 kontainer. Pada saat pandemi turun berkisar 150 kontainer dan dengan pemberlakuan PP 28 mainan 5 kontainer,” katanya kepada kumparan, Sabtu (22/5).
Saat ini produk mainan impor langka seiring dengan semakin seretnya distribusi akibat implementasi regulasi baru tersebut. Salah satu poin yang paling membuat para importir makin merana yaitu kewajiban menggunakan tenaga kerja lokal untuk kebutuhan sampel pengujian di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Ketentuan ini dinilai akan menambah biaya impor seperti akomodasi bagi tenaga kerja lokal selama hari-hari di luar negeri, pengurusan visa hingga kebutuhan lain-lain.
“Kalau di hotel satu hari aja Rp 1 juta, jadi kalau 14 hari Rp 14 juta minimal itu ya,” tuturnya.
Padahal, sebelum adanya aturan PP 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian para importir bisa menggunakan jasa mitra di luar negeri untuk menguji sampel produk SNI.
Sutjiadi berharap, Pemerintah meninjau kembali kebijakan turunan tersebut, atau menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian untuk mengembalikan aturan seperti sebelumnya.
“Kita harapkan pemerintah jangan hanya membuat kebijakan yang tidak populis hanya untuk menekan neraca perdagangan agar surplus kemudian menutup keran impor,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
“Kebijakan tersebut tidak selaras dengan UUD 45 pasal 33 berkeadilan dalam perekonomian tidak pilih kasih seperti sekarang Terkecuali industri lokal sudah dapat memenuhi kebutuhan pasar 100 persen,” tutupnya.
Berdasarkan data Asosiasi Industri Mainan (AIM) saat ini, produksi mainan anak dalam hanya mampu memasok 44 persen dari total kebutuhan. Sisanya dipasok dari mainan impor seperti China, Jepang dan Jerman.