Ada Bursa CPO, Petani Sawit Tak Mau Lagi Pabrik Sawit Curangi Harga Beli TBS

20 Oktober 2023 17:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perkebunan sawit di Malaysia. Foto: ashadhodhomei/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perkebunan sawit di Malaysia. Foto: ashadhodhomei/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menyambut baik hadirnya Bursa CPO. Ketua Umum DPP APKASINDO, Gulat ME Manurung mengatakan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit dalam 6 bulan terakhir sedang tertekan.
ADVERTISEMENT
"Harga TBS petani pada 2 tahun terakhir, terkhusus pasca larangan ekspor sangat berfluaktif, dan harga TBS petani dalam 6 bulan terakhir hanya berkisar Rp 1.450-2.400 per kg TBS, sementara modal per 1 kg TBS saja sudah mencapai Rp 1.850-2.150 per kg TBS," kata Gulat kepada kumparan, Jumat (20/11).
Menurut Gulat, harga tersebut kurang masuk akal karena di saat bersamaan harga CPO global sedang baik-baik saja alias tidak turun tajam. Jika merujuk ke harga CPO global pada 6 bulan terakhir tersebut, lanjut dia, seharusnya harga CPO domestik Rp 14.000 per kg, tapi hasil tender CPO KPBN selalu rendah yaitu berkisar Rp 9.500-10.500 per kg CPO.
"Dan hal ini mengapa harga TBS petani selalu dibanderol dengan murah. Tentu wajar kami petani berharap banyak dengan Bursa CPO ini," kata Gulat.
ADVERTISEMENT
Meski berharap banyak pada Bursa CPO, Gulat mengaku petani sawit tak berekspresi muluk-muluk. Petani sawit hanya berharap harga TBS bisa dibentuk dari harga CPO yang wajar dan sesuai dengan harga pasar.
Ketua Apkasindo, Gulat Manurung, pada Rakornas Kelapa Sawit Nasional di Hotel Pullman Central Park, Jakarta, Senin (27/2/2023). Foto: Nabil Ghazi Jahja/kumparan
Gulat menjelaskan, selama ini harga TBS yang terbentuk selalu satu arah yaitu dari harga tender CPO KPBN lalu diterjemahkan para pemilik Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Pemilik PKS ini ada dua tipelogi, pertama PKS tanpa kebun dan kedua adalah PKS yang memiliki kebun dan petani plasma. Sedangkan mayoritas PKS di Indonesia dalah PKS Tanpa kebun (74 persen) dan petani sawit sangat tergantung ke PKS tipe ini.
"Alasan PKS tipe ini membeli TBS petani swadaya (luasnya 6,87 juta hektar) dengan harga murah adalah karena CPO-nya dibeli oleh pembeli CPO dengan harga murah. Nah dengan adanya bursa ini semua akan ketahuan siapa yang maruk (mau untung besar) karena harga CPO bisa langsung ketahuan di bursa," kata Gulat.
ADVERTISEMENT
Gulat menambahkan, memang butuh waktu agar Bursa CPO Indonesia ini bisa membentuk harga referensi CPO yang nantinya bisa jadi dasar penentuan harga TBS. Kemendag sendiri menargetkan harga referensi CPO bisa terbentuk di triwulan I 2024, dengan begitu Indonesia tidak perlu lagi mengekor pada acuan harga CPO di Bursa Malaysia dan Bursa Rotterdam.
"Untuk jangka Panjang memang demikian harapan kami petani. Hal itu tidak muluk-muluk, meskipun di awal-awal ada anggapan bahwa Indonesia tidak mungkin menyaingi Malaysia yang sudah duluan 20 tahun lalu. Untuk masalah bursa ini, sudah lama memulai bukanlah suatu indikator, tapi adalah dominan akibat persaingan yang mencakup tiga hal, yakni akuntabilitas, transparansi dan kecepatan atau ketepatan," pungkas Gulat.