Ada Warga Gugat Pasal Riba karena Bikin Dosa, Ini Kata OJK dan MUI

15 Juni 2023 14:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi riba. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi riba. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghormati keputusan warga Bogor dan Bekasi yang menggugat pasal riba karena dosa. Mereka adalah Utari Sulistiowati yang merupakan warga Kabupaten Bogor dan Edwin Dwiyana, warga Kota Bekasi.
ADVERTISEMENT
Keduanya menggugat KUHPerdata ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal pasal riba. Alasannya, pasal itu bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Menurut Deputi Komisioner Perlindungan Konsumen OJK, Sarjito, melakukan upaya hukum adalah merupakan hak setiap warga negara sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
"Di Indonesia Pelaku Usaha Jasa Keuangan dapat memberikan layanan konvensional dan Syariah. Masyarakat dapat memilih Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan layanan yang sesuai dengan pilihannya," katanya kepada kumparan, Kamis (15/6).
Dikutip dari situs resmi Mahkamah Konstitusi, Utari Sulistiowati dan Edwin Dwiyana menyatakan materi muatan Pasal 1765 KUHPerdata, Pasal 1766 KUHPerdata, Pasal 1767 KUHPerdata, dan Pasal 1768 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 1 ayat (1) Aturan Peralihan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
ADVERTISEMENT
Apa Kata MUI?
Dihubungi terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang fatwa, Asrorun Ni’am Sholeh, menjelaskan perbedaan antara riba dan bunga. Katanya, setiap utang yang ditarik manfaat dengan dipersyaratkan ada pengembalian lebih itu pada hakekatnya riba.
"Sementara membungakan uang yang diutangkan sehingga mengambil keuntungan dari utang piutang hukumnya haram," katanya kepada kumparan.
Anggota Dewan Komisioner OJK Bid. Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Frederica Widyasari dan Deputi Komisioner Bid. Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Sarjito, di acara FGD dengan media di Bandung, Sabtu (24/9). Foto: Wendiyanto Saputro/kumparan
Berikut bunyi pasal-pasal tersebut:
Pasal 1765:
"Bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian.'
Pasal 1766:
"Barang siapa sudah menerima suatu pinjaman dan telah membayar bunga yang tidak diperjanjikan dahulu, tidak dapat meminta kembali bunga itu dan juga tidak dapat mengurangkannya dari pinjaman pokok, kecuali jika bunga yang telah dibayar itu melampaui jumlah bunga yang ditetapkan dalam undang-undang; dalam hal ini uang kelebihan itu dapat diminta kembali atau dikurangkan dari pinjaman pokok.
ADVERTISEMENT
Pembayaran bunga yang tidak telah diperjanjikan tidak mewajibkan debitur untuk membayamya seterusnya; tetapi bunga yang telah diperjanjikan harus dibayar sampai pada pengembalian atau penitipan uang pokoknya, biarpun pengembalian atau penitipan ini telah dilakukan setelah lewatnya waktu utangnya dapat ditagih.'
Pasal 1767:
'Ada bunga menurut undang-undang dan ada yang ditetapkan di dalam perjanjian. Bunga menurut undang-undang ditetapkan di dalam undang-undang. Bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang".
Besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjikan harus ditetapkan secara tertulis (Bunga menurut undang-undang adalah menurut Lembaran Negara tahun 1848 Nomor 22 ialah 60%).
Pasal 1768:
"Jika orang yang meminjamkan telah memperjanjikan bunga dengan tidak menentukan berapa besarnya, maka si penerima pinjaman diwajibkan membayar bunga menurut undang-undang".
ADVERTISEMENT
Pasal-pasal tersebut dinilai oleh pemohon bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945. Yang bunyinya: "Negara Indonesia Ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik."
Aktivis yang tergabung dalam Masyarakat Madani melakukan aksi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/10/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pemohon mendalilkan, peminjaman uang yang memperbolehkan riba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata, adalah tidak sesuai dengan konsep Negara Republik.
"Sebagaimana diutarakan oleh para pakar dan ahli dari negara 'Republik' dimaksud, yang juga tidak bersesuaian dengan adat ketimuran bangsa Indonesia yang sama sekali tidak membolehkan tentang peminjaman uang dengan memungut bunga," kata pemohon.
Dengan demikian, pemohon meminta keempat pasal dalam KUHPerdata tersebut dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945.
Kemudian, pemohon juga mendalilkan bahwa keempat pasal dalam KUHPerdata tersebut, bertentangan dengan pasal 29 Ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi:
ADVERTISEMENT
"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Dalam hal ini, pemohon adalah beragama Islam, agama yang resmi dianut di Indonesia. Pemohon mendalilkan berhak menjalankan aturan dalam agamanya, yang mengacu kepada Al-Quran dan as Sunnah.
Dalil pemohon, dalam Al-Quran riba itu dilarang. Pemohon mengutip sejumlah ayat Al-quran. Salah satunya surat Ali Imron ayat 130.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir."
Menurut para pemohon, perbuatan mematok bunga (interest/fa'idah) dalam klausul perjanjian atau kontrak ataupun dalam perbuatan hukum dikategorikan sebagai riba yang hukumnya haram.
ADVERTISEMENT
"Bahwa dengan demikian maka berlakunya klausul sebagaimana dimaktub dalam objek permohonan a quo adalah sangat merugikan kepentingan konstitusional Para Pemohon karena membuat Para Pemohon menjadi tidak terjamin kemerdekaannya dalam menjalankan agama yang dianut Para Pemohon, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 a quo," tuturnya.
Ilustrasi robot pengacara hukum. Foto: Shutterstock
Pemohon juga menyinggung soal riba adalah dosa. Hal tersebut mengacu pada hadist.
"Bahwa oleh karena juga mengingat betapa besarnya dosa riba sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadist yang intinya menyebutkan bahwa dosa riba yang terkecil adalah ibarat "menzinahi ibu kandung sendiri" yang mana perbuatan riba itu bukan sekedar tercatat pada pihak yang berutang atau yang mengutangkannya, melainkan ikut serta pihak yang mencatatkannya, yang kesemuanya dianggap sebagai pelaku riba, maka sudah sepatutnya majelis Hakim Konstitusi membatalkan objek permohonan a quo sehingga dalam alam akhirat kelak tidak tergolong sebagai kelompok yang mensahkan berlakunya riba bagi umat Islam di Indonesia," kata pemohon.
ADVERTISEMENT
Atas alasan-alasan tersebut, kedua pemohon meminta kepada majelis hakim konstitusi untuk menyatakan Pasal 1765 KUHPerdata, Pasal 1766 KUHPerdata, Pasal 1767 KUHPerdata, dan Pasal 1768 KUHPerdata, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Permohonan tersebut dimohonkan pada 2 Juni 2023 ke Mahkamah Konstitusi. Berkasnya tengah diproses.