Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pengamat Penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman, mengatakan keputusan pengelola bandara menaikkan tarifnya karena harus menyesuaikan keuangan mereka selama pandemi COVID-19 lalu.
"Kondisi keuangan operator bandara selama pandemi ya merah seperti maskapai, karena tidak ada atau turunnya jumlah penumpang di bawah angka biasa mereka," kata Gerry kepada kumparan, Selasa (19/7).
Meskipun bandara sepi pengunjung ketika masa pandemi, kata Gerry, pengelola bandara harus tetap mengeluarkan biaya operasional seperti membayar tagihan listrik.
"Beban biaya mereka juga naik. Listrik aja naik. Terminal punya lampu sama AC kan listriknya gak gratis juga," ujarnya.
Pengamat Penerbangan sekaligus Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI), Alvin Lie, menjelaskan beban airport tax atau retribusi bandara tersebut akan dibebankan kepada penumpang pesawat karena menggunakan fasilitas bandara.
ADVERTISEMENT
"Saat ini retribusi bandara ini pemungutannya dititipkan pada maskapai penerbangan tapi uangnya tidak masuk ke maskapai penerbangan. Dalam hal ini seolah harga tiket naik tapi bukan maskapai penerbangan yang menaikkan harga tiketnya," ujarnya.
Alvin menjelaskan, tarif PJP2U ini beragam ada yang hanya Rp 4.000 sampai Rp 70.000. Namun pada umumnya di antara Rp 20.000-Rp 40.000. "Dan itu terselubung karena dipungut melalui harga tiket, walaupun uangnya masuk ke bandara," pungkasnya.
Adapun kenaikan PJP2U pada bandara beragam. Tertinggi adalah di Bandara Frans Kaisiepo Biak (BIK) di mana untuk penerbangan domestik melonjak 122 persen, dari Rp 30.000 menjadi Rp 66.600.