Alasan Jokowi Pilih Pajak Rokok untuk Tambal Defisit BPJS Kesehatan

22 September 2018 10:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kartu BPJS dan rokok. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kartu BPJS dan rokok. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatasi defisit keuangan di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Salah satu isi dari Perpres tersebut ialah menggunakan pajak rokok yang sebelumnya menjadi hak daerah kemudian dipotong dan dialihkan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa alasan pemerintah memilih pajak rokok untuk menutup defisit?
Menurut Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 40/2016 mewajibkan 50 persen pajak rokok yang diterima daerah, digunakan sebagai pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat.
Sebelumnya, 50 persen pajak rokok itu dipakai untuk memperbaiki infrastruktur dan menambah fasilitas RSUD hingga Puskesmas. Dalam aturan terbaru nantinya, 75 persen dari 50 persen itu digunakan untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Pada APBN 2018, total alokasi pajak rokok ke daerah mencapai Rp 14,52 triliun atau setara 10 persen dari pendapatan cukai rokok.
“Itu aturan dari Permenkes, jadi bukan aturan baru. Nanti maksimal 75 persen untuk membantu BPJS Kesehatan, 25 persennya tetap dipakai untuk memperbaiki RSUD atau Puskesmas,” katanya kepada kumparan, Sabtu (22/9).
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, pajak rokok dipilih karena setiap daerah menerima pendapatan itu. Jika memotong Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK), dikhawatirkan akan menghambat pembangunan di daerah.
Jokowi Bagikan Sertipikat Tanah di Yogyakarta, Sabtu (15/9/20018). (Foto: Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi Bagikan Sertipikat Tanah di Yogyakarta, Sabtu (15/9/20018). (Foto: Biro Pers Setpres)
“Kalau DAU atau DAK itu peruntukkannya jelas, tidak bisa kita potong karena takut menghambat (pembangunan). Pajak rokok yang pas,” ucap Mardiasmo.
Dia menambahkan, nantinya kebijakan pajak rokok itu hanya berlaku ke pemerintah daerah yang tak tertib dalam membayar iuran peserta yang didaftarkan melalui program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Pun potongan pajak rokok untuk setiap daerah berbeda, sesuai tunggakannya.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, beberapa pemerintah daerah tidak rutin membayar iuran dan cenderung mendaftarkan penduduk yang memiliki penyakit risiko tinggi. Hal itu menyebabkan segmen peserta yang didaftarkan pemerintah daerah selalu mengalami defisit.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2014, peserta yang didaftarkan pemda berkontribusi terhadap defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 1,45 triliun, di tahun 2015 berkontribusi sebesar Rp 1,68 triliun, 2016 berkontribusi sebesar Rp 1,22 triliun dan tahun 2017 berkontribusi sebesar Rp 1,68 triliun.
“Tapi nanti kalau pemda itu 37,5 persen pajak rokoknya sudah digunakan untuk bantu BPJS, ya enggak dipotong lagi. Sudah cukup kewajibannya,” kata Mardiasmo.