Mobil konsep hidrogen

Ambisi Kendaraan Listrik RI Terhambat Arah Bisnis Pemain Otomotif Besar (3)

29 Mei 2023 16:30 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peminat kendaraan listrik masih terhitung rendah di Indonesia. Meski sudah didorong pemerintah dengan beragam kebijakan, lajunya belum begitu kencang. Banyak faktor yang mendasari, mulai dari keengganan para produsen besar hingga kesiapan industri baterai di tanah air.
Hasil analisis Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) baru-baru ini, Februari 2023, misalnya menunjukkan ambisi pemerintah mendorong kendaraan listrik tidak sesuai dengan arah bisnis para pemain besar industri otomotif.
IEEFA menyebut 5 produsen mobil asal Jepang (Honda, Mitsubishi, Suzuki, Toyota dan Daihatsu) yang menguasai 92% pasar Indonesia dan 2 produsen motor asal Jepang (Yamaha dan Honda) dengan pangsa pasar 96%, belum secara penuh menuju kendaraan listrik dan lebih memilih opsi mobil hibrida.
"Rencana elektrifikasi dari pemain industri yang lamban dikombinasikan dengan dominasi pasar mereka dapat menjadi hambatan besar bagi ambisi Indonesia. Para pemain otomotif banyak menekankan pentingnya memberi pilihan kendaraan bagi konsumen, namun opsi all-electric dari mereka hampir tidak bisa ditemukan," jelas analis energi IEEFA, Putra Adhiguna, dalam laporannya.
IEEFA menilai pemerintah perlu mendorong pabrikan-pabrikan Jepang agar selaras dengan kebijakan kendaraan listrik dalam negeri. Dorongan tersebut bisa dengan fasilitasi akses sumber daya dan kebijakan yang sesuai.
“Dominasi dan arah dari raksasa otomotif yang ada tidak mungkin dikesampingkan dalam pembahasan ambisi EV Indonesia. Karenanya, dukungan terhadap EV harus dibarengi kebijakan tegas untuk menahan laju penggunaan BBM untuk ICEV dari berbagai arah," kata Putra.
Deretan mobil listrik Toyota. Foto: Toyota
Sikap produsen otomotif Jepang yang tidak all out mengembangkan mobil listrik salah satunya tercermin dari pernyataan Kepala Ilmuwan dan Riset Toyota, Gill Pratt, dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) Davos, Swiss, Januari 2023.
Ia menyatakan, hanya bergantung terhadap mobil listrik berbasis baterai, tanpa dikombinasikan dengan teknologi lain seperti hybrid atau hidrogen, justru bisa berdampak lebih buruk bagi lingkungan.
Pratt menyebut mobil listrik sangat bergantung pada ketersediaan lithium sebagai mineral yang banyak digunakan untuk produksi paket baterai. Padahal pasokan lithium terbatas dan terancam defisit pada 2040.
Pratt memberi contoh 100 mobil berbahan bakar mesin akan menghasilkan 250 g/km CO2. Dengan asumsi pasokan lithium yang terbatas, hanya satu mobil listrik menggunakan 100 kWh, tapi 99 lainnya tetap menggunakan BBM, maka emisi CO2 hanya berkurang menjadi 248,5 g/km.
Sedangkan apabila baterai 100 kWh tersebut digunakan untuk mobil hybrid di mana per paket hanya butuh 1,1 kWh, maka baterai tersebut bisa digunakan 90 mobil hybrid. Penurunan emisinya jauh lebih besar menjadi 205 g/km.
“Kita harus mengelektrifikasi kendaraan sebanyak mungkin, tapi kita tidak harus membuatnya hanya dengan satu cara,” kata Pratt.
Walau demikian, tak berarti Toyota menentang kendaraan listrik. Pada November 2022, Toyota telah meluncurkan mobil listrik bZ4X di Indonesia dengan harga Rp 1,19 miliar.
Toyota bZ4X di KTT ASEAN 2023 Foto: dok. Toyota Astra Motor
Ketua I Gaikindo, Jongkie Sugiarto, menyebut pabrikan-pabrikan Jepang lainnya masih menunggu waktu yang tepat untuk memasarkan produk BEV.
Bhima Yudhistira memandang sikap produsen Jepang yang belum sepenuhnya mengembangkan kendaraan listrik tidak lepas dari sisi geopolitik. Bhima menyebut Jepang memang lebih memilih mengembangkan mobil hidrogen.
Pada Juli 2022, enam pabrikan otomotif Jepang -Mazda bergabung kemudian- sepakat berkolaborasi mengembangkan teknologi bahan bakar karbon netral. Keenam pabrikan tersebut adalah Daihatsu, ENEOS, Subaru, Suzuki, Toyota, dan Toyota Tsusho. Mereka membentuk badan ‘The Research Association of Biomass Innovation for Next Generation Automobile Fuels’.
Selain itu, pemerintah Jepang bersama Australia telah menggagas proyek The Hydrogen Energy Supply Chain/HESC) senilai 220 miliar Yen atau sekitar Rp 23,4 triliun. Melalui investasi tersebut, Jepang menargetkan 800 ribu mobil hidrogen mengaspal pada 2030. Ujungnya pada 2050, Jepang bisa menciptakan masyarakat hidrogen di mana seluruh kendaraan berbasis hidrogen.
Mobil konsep hidrogen. Foto: Gesit Prayogi/kumparan
Walau tujuannya masa depan, pabrikan Jepang telah memproduksi mobil hidrogen (Fuel Cell Electric Vehicle/FCEV) secara massal pada 2015 dengan merek Toyota Mirai seharga sekitar Rp 1 miliar. Pabrikan Korea Selatan, Hyundai, juga telah menjual mobil hidrogennya yakni Hyundai Nexo dengan harga tidak jauh berbeda.
Kelebihan mobil hidrogen ketimbang mobil listrik adalah daya jelajahnya yang lebih jauh sekitar 700-1.000 km sekali pengisian. Selain itu, durasi pengisian hanya sekitar 3-5 menit.
Kemenperin menegaskan terbuka dengan berbagai pengembangan kendaraan ramah lingkungan, termasuk hidrogen. Namun demikian, Kemenperin masih memprioritaskan pengembangan kendaraan listrik. Pada Juni 2022, Menperin Agus Gumiwang bertemu beberapa prinsipal otomotif Jepang dan meminta mereka agar memproduksi kendaraan listrik dengan jarak tempuh yang jauh.
“Indonesia membutuhkan kendaraan yang jangkauannya cukup besar, tidak hanya untuk di kota, tapi juga antar kota. Itu disambut para principal otomotif di Jepang,” kata jubir Kemenperin, Febri Hendri.

Nasib Hilirisasi Nikel

Ambisi Indonesia menjadi produsen kendaraan listrik merupakan tindak lanjut hilirisasi nikel. Nikel merupakan logam mineral yang krusial dalam produksi baterai kendaraan listrik. Indonesia memiliki cadangan nikel sebanyak 72 juta ton. Jumlah tersebut mencapai 52% dari total cadangan nikel dunia sebesar 139 juta ton.
Nikel mampu menyimpan energi listrik lebih padat sehingga daya jelajah lebih jauh. Salah satu jenis baterai berbasis nikel yang populer adalah NMC (Nickel Manganese Cobalt). Atas dasar itu, empat BUMN berkongsi membangun Indonesia Battery Corporation yang ditargetkan mulai produksi NMC pada 2026.
Smelter nikel. Foto: PT Antam
Di tengah upaya Indonesia menjadi raja baterai kendaraan listrik, produsen mobil listrik seperti Tesla, Ford, dan General Motors justru mulai meninggalkan baterai berbasis nikel sejak 2021. Mereka memilih mengembangkan baterai berbasis katoda besi yakni Lithium Iron Phosphate (LFP) yang didominasi pemasok dari China. Tesla mamakai baterai LFP untuk Model 3 dan Y.
“Nikel adalah kekhawatiran utama kami untuk meningkatkan produksi baterai lithium-ion. Karena itu, kami mengubah (baterai) ke katoda besi. Banyak besi (dan lithium)!” cuit pendiri Tesla, Elon Musk, pada Februari 2021.
Baterai jenis LFP menarik produsen mobil listrik karena tidak bergantung pada bahan nikel atau kobalt yang harganya fluktuatif. Adapun katoda besi harganya relatif stabil dan berlimpah. Baterai LFP pun lebih ekonomis, lebih stabil, dan umurnya lebih lama dibanding NMC. Di Indonesia, LFP diproduksi oleh PT International Chemical Industry sebagai produsen baterai ABC.
Hasil laporan IEEFA juga menunjukkan 75% mobil listrik yang terjual di Indonesia tidak menggunakan baterai nikel, namun menggunakan baterai LFP. Jumlah 75% tersebut merujuk angka penjualan Wuling Air EV pada 2022.
Petugas mengisi daya baterai pada mobil listrik di Nusa Dua, Badung, Bali. Foto: Nyoman Hendra Wibowo/ANTARA FOTO
“Tren yang sama sangat mungkin ditemukan di segmen roda dua, di mana harga LFP yang lebih rendah memberikan keutungan di pasar yang sensitif terhadap harga seperti Indonesia,” ucap analis energi IEEFA, Putra Adhinegara.
Lantas, apakah mimpi hilirisasi nikel untuk baterai kendaraan listrik di Indonesia akan layu sebelum berkembang?
Putra menyatakan penggunaan baterai berbasis nikel akan tetap tumbuh dengan menyasar kendaraan listrik dengan jarak tempuh yang jauh. Namun demikian, IEEFA menilai belum jelas apakah kekayaan nikel Indonesia akan mendominasi perkembangan EV di pasar domestik.
Sebab, sebagian besar populasi Indonesia memiliki kendaraan di segmen bawah sampai menengah. Sehingga pertimbangan biaya kemungkinan besar membuat pasar kendaraan listrik Indonesia didominasi baterai LFP yang lebih terjangkau.
“Pada akhirnya, apakah nikel Indonesia akan cukup kompetitif untuk mendorong tumbuhnya pasar EV domestik dengan baterai berbasis nikel masih menjadi pertanyaan,” kata Putra.
Menjawab tantangan tersebut, Kemenperin menegaskan akan tetap mendorong industri baterai dan produsen kendaraan listrik untuk memakai nikel.
“Karena kepentingan Indonesia memiliki bahan baku nikel, kami akan dorong agar industri baterai dan kendaraan listrik kita menggunakan itu,” kata Febri Hendri.
Aktivitas pabrik pengolahan nikel di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Foto: Angga Sukmawijaya/kumparan
Direktur Eksekutif IESR dan ahli alih transisi energi Fabby Tumiwa berpendapat baterai NMC akan tetap dibutuhkan, khususnya di sektor motor listrik. Di samping itu, nikel juga bisa diolah untuk produk lain semisal besi dan baja.
Dikutip dari Bisnis Indonesia, Dewan Penasihat Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia, Arif S. Tiammar, berpendapat dengan tren penggunaan baterai LFP, para praktisi industri nikel selayaknya mulai memikirkan teknologi paling optimum agar unsur besi dalam bijih nikel atau nickel pig iron (NPI) bisa diekstraksi menjadi hematit (Fe2O3) murni.
Sebab pada kenyataannya, kandungan besi dalam bijih nikel jauh lebih tinggi ketimbang nikel itu sendiri. Hematit inilah yang menjadi bahan dasar utama untuk memproduksi material baterai LFP.
“Meningkatnya penggunaan baterai LFP yang berbasis besi merupakan tantangan sekaligus peluang. Indonesia masih tetap bisa memegang peran penting dalam ekosistem global industri baterai, stainless steel, bahkan super alloy,” ucap Arif.
Adapun Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemerintah memperhatikan diversifikasi bahan baku baterai yang kini mengarah ke LFP. Sehingga Indonesia juga berencana membangun pabrik baterai LFP
“Kebetulan kita memiliki besi yang cukup banyak. Jadi, LFP ini akan kita produksi juga di Indonesia. Kebetulan lagi, kita sudah memproduksi lithium processing plant di Morowali yang berkapasitas 60.000 ton per tahun, salah satu yang terbesar di dunia," ucap Luhut.
Jadi, apakah ambisi kendaraan listrik di Indonesia akan terealisasi?
Infografik tren Mobil berbasis listrik. Foto: Dimas Prahara/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten