AMTI: RUU Kesehatan Ancam Ekosistem Tembakau dan Cukai Rokok

12 April 2023 22:56 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang petani menunjukkan daun tembakau di perkebunan tembakau di Kuta Cot Glie, provinsi Aceh, Indonesia pada 6 Januari 2022. Foto: CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Seorang petani menunjukkan daun tembakau di perkebunan tembakau di Kuta Cot Glie, provinsi Aceh, Indonesia pada 6 Januari 2022. Foto: CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP
ADVERTISEMENT
Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan saat ini tengah menjadi perhatian publik. Hal ini lantaran RUU tersebut mengubah produk-produk legal seperti rokok, hasil pengolahan tembakau, dan minuman beralkohol masuk dalam kategori narkotika dan psikotropika dalam satu zat adiktif.
ADVERTISEMENT
Ketentuan kategori tersebut masuk ke dalam rancangan pasal 154 ayat 3 mengenai Zat Adiktif. Sekjen Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Hananto Wibisono, menilai memposisikan tembakau sejajar dengan kelompok narkotika dan psikotropika rentan mengancam keberlangsungan ekosistem pertembakauan.
“Sejak awal elemen ekosistem pertembakauan sebagai bagian dari masyarakat tidak diakomodirnya suaranya untuk memberikan masukan terkait RUU Kesehatan tersebut. RUU Kesehatan ini dibuat dengan sangat eksesif dan diskriminatif terhadap elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan,” ujar Hananto Wibisono dalam diskusi media mengawal rancangan regulasi yang eksesif dan diskriminatif terhadap ekosistem pertembakauan, Jakarta, Rabu (12/4).
Hananto mengatakan produktivitas tembakau di Indonesia dilakukan secara legal dan menjadi penopang 6 juta tenaga kerja mulai dari sektor perkebunan, manufaktur, hingga industri kreatif. Selain itu, Hananto mengatakan cukai hasil tembakau atau cukai rokok telah memberikan 11 persen kepada penerimaan APBN negara setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Diskusi aturan pertembakauan. Foto: Alfadillah/kumparan.
"Kontribusi Cukai Hasil Tembakau (IHT) dan pajak menyumbang lebih dari 11 persen setiap tahunnya terhadap APBN. IHT juga menyumbang 97 persen dari total penerimaan cukai dalam APBN," ungkap Hananto.
Hananto menekankan, berlandaskan Putusan MK No.6/PUU-VII/2009 menyebut bahwa rokok terletak sejajar dengan kafein dan tidak sama tingkatnya dengan opium, kokain, ganja, halusinogen, ataupun macam-macam zat se-adiktif hipnotik. Sehingga pengaturan mengenai rokok tidak pernah disetarakan dengan pengaturan mengenai narkotika dan obat terlarang.
Selain itu, Dalam pasal lain di RUU Kesehatan tersebut juga menjelaskan mengenai aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Rancangan yang tertuang dalam Pasal 157 ini menekankan bahwa pemerintah daerah wajib menerapkan KTR di seluruh tempat umum.
Aturan rancangan KTR menyebutkan bahwa setiap daerah wajib memiliki kawasan bebas rokok. Namun, penekanan sanksi hanya ditujukan untuk perokok bukan instansi atau pengelola yang melanggar aturan KTR.
ADVERTISEMENT
"Di dalam pasal 157, pasal 2 dan 3 terkait Kawasan Tanpa Rokok, menekankan bahwa Pemerintah Daerah Wajib Menerapkan KTR. Kata wajib tersebut erat kaitannya dengan implikasi yuridis (pengaturan dan penerapan sanksi) atas penerapan KTR itu sendiri,” pungkas Hananto.