Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Anak Pejabat Pajak Pamer Harta, Tukin Tinggi Pegawai DJP Perlu Dievaluasi
23 Februari 2023 16:38 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Kasus penganiayaan yang dilakukan anak pejabat pajak , Mario Dandy Satriyo, berbuntut panjang. Selain karena sang anak pamer harta, kekayaan sang ayah yaitu Rafael Alun Trisambodo juga jadi sorotan.
ADVERTISEMENT
Rafael yang merupakan Kepala Bagian Umum Kanwil II Jakarta Selatan, Direktorat Jenderal Pajak, punya harta Rp 56 miliar dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Menariknya, mobil Jeep Rubicon dan motor Harley Davidson yang dipamerkan sang anak ternyata tak ada di dalam LHKPN. Bahkan mobil mewahnya dikabarkan belum bayar pajak.
Fakta-fakta ini kontradiktif dengan penghasilan yang didapat Rafael sebagai pejabat eselon III dengan golongan antara IIId sampai IVb.
Sesuai PP 15/2019, gaji pokok pokok eselon III adalah sebagai berikut:
Golongan IIId: Rp 2.920.800 - Rp 4.797.000
Golongan IVa: Rp 3.044.300 - Rp 5.000.000
Golongan IVb: Rp 3.173.100 - Rp 5.211.500
Untuk eselon III dan ke bawah, mereka juga mendapatkan tunjangan kinerja (tukin) maksimalnya sebesar Rp 46.478.000 untuk peringkat jabatan 19 dan tukin minimal Rp 5.361.800 untuk peringkat jabatan 4.
ADVERTISEMENT
Dosen di Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fisipol UGM Hempri Suyatna menjelaskan, jika tukin tinggi tak berdampak pada kinerja yang baik maka harus dievaluasi.
"Ya memang kalau saya lihat misalnya banyak kasus, ya perlu adanya evaluasi ya. Apakah dengan tukin tinggi berkorelasi terhadap peningkatan kinerja terutama dalam konteks pemberantasan korupsi kalau pajak atau mungkin soal bagaimana optimalisasi pajak dan lain sebagainya," kata kata Hempri dihubungi kumparan, Kamis (23/2).
Hempri mengatakan tukin di masing-masing kementerian memang berbeda-beda besarannya. Tukin tinggi pegawai pajak ini diharapkan bisa meningkatkan kinerja pegawai.
"Kemudian mereka tidak mudah kena suap dan sebagainya. Itu yang diharapakan dengan kemunculan tukin yang tinggi," jelasnya.
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM itu mengatakan tukin tinggi harusnya bisa mendorong reformasi birokrasi yang baik. Kinerja yang baik muaranya adalah masyarakat mendapatkan dampak yang positif. Contohnya petugas pajak bertindak tegas pada pengemplang pajak.
ADVERTISEMENT
Melihat kasus yang terjadi baru-baru ini, pemberian tukin yang tinggi ternyata tak luput dari salah sasaran. Bukan tidak mungkin tukin tinggi ini harus diturunkan besarannya.
"Perlu evaluasi rutin terkait dengan tukin ya. Perlu ada evaluasi rutin terkait tukin kalau enggak membawa nasib baik, bisa saja ada evaluasi harus diturunkan," katanya.
Perbaikan Mentalitas dan Moral Birokrat
Hempri mengatakan perbaikan mentalitas dan moral birokrat pegawai pajak perlu dilakukan. Tingginya tukin harus diiringi diperbaiki mentalitas birokrat yang baik.
"Bagaimana mereka harus, ya, tadi mentalitas yang baik untuk tidak mudah kena suap untuk mereka bisa menjaga pola pemerintahan yang clean government. Untuk kukuh, kuat terhadap godaan dan tegas terhadap berbagai hal yang mungkin penyelewengan," jelasnya.
Hempri khawatir jangan-jangan selama ini aspek mentalitas dan moralitas tidak disentuh. "Jangan-jangan hanya menyetuh aspek ekonominya tapi aspek sosialnya ya itu karakternya pengembangan karekter birokrat jangan-jangan terabaikan," katanya.
ADVERTISEMENT
Soal mental ini, kata dia, jadi hal yang sulit. Menurutnya, terkadang sudah mendapat gaji tinggi, pegawai tetap korupsi.
"Kadang kala tidak ada korelasi upah yang tinggi itu tidak akan korup, itu kan dalam banyak kasus para pelaku korup justru yang punya kemampuan ekonomi tinggi. Harus ada revolusi mental, revolusi karakter," tegasnya.
Diakui Hempri kasus ini mengikis kepercayaan publik kepada kantor pajak. Padahal, saat ini adalah bulan-bulan pelaporan SPT.
"Orang menjadi distrust terkait dengan pajak. Misalnya kadang kala kurang pajak tinggi, tapi ternyata uangnya tidak benar-benar optimal kembali kepada rakyat. Bisa muncul distrust itu," pungkasnya.