Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Anak Suku Loinang: Tak Lagi Masuk Hutan Demi Mandi & Mengejar Mimpi
5 November 2023 22:31 WIB
·
waktu baca 8 menitADVERTISEMENT
Tiga bangunan dengan warna tembok didominasi hijau dan putih berdiri tegak di Dusun Tombiobong , Desa Maleo Jaya, Kabupaten Banggai , Provinsi Sulawesi Tengah. Ini merupakan sekolah pertama bagi Suku Loinang .
ADVERTISEMENT
Bangunan itu dipagari kayu dengan halaman sedikit berumput, lebih banyak tanahnya. Ruang kelasnya pun tak banyak. Hanya tiga ruangan yang awalnya untuk tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), kini disediakan juga kelas Sekolah Dasar (SD).
Saat kumparan datang, Rabu (1/11), sekitar 15 anak yang usianya beragam sedang belajar. Ada yang 6 tahun, ada juga yang 9 tahun berkumpul dalam satu kelas, di antaranya Ma'ruf, Syifa, dan Rinto yang terlihat memperhatikan Siti Aminah berbicara di depan kelas. Mereka menyimak penjelasan sang guru soal keberadaan manfaat air yang kini mengalir lancar ke rumah.
“Tadi pagi sudah mandi?” kata Aminah yang dijawab ‘Sudah’ dengan semangat oleh para murid.
“Sekarang kalau mandi kita tidak perlu ke sungai di hutan. Langsung putar keran dari rumah, ya. Apa manfaat air?” tanya lagi Aminah.
ADVERTISEMENT
Dengan malu-malu, Ma'ruf menjawab air bersih untuk mandi sebelum sekolah. Air yang mengalir dari Pegunungan Tumpu itu juga digunakan keluarganya untuk minum dan mencuci piring.
Mandi di pagi hari sebelum berangkat sekolah menjadi aktivitas baru bagi Ma'ruf dan belasan anak di sekolah ini sejak JOB Pertamina Medco E&P Tomori Sulawesi bersama Pemerintah Daerah Aisyiyah Kabupaten Banggai membangun pipa dari salah satu mata air di Pegunungan Tumpu ke perkampungan mereka sejak 2019. Sebelum ada pipa ini, mereka harus berjalan kaki satu jam masuk ke hutan untuk mengambil air. Mengangkut dengan jeriken seadanya.
Pipa yang dibangun salah satu anak usaha PT Pertamina Hulu Energi selaku Subholding Upstream (SHU) Pertamina di Zona 13 Regional Indonesia Timur ini sepanjang 2,5 km. Pipa yang digunakan untuk menyalurkan air dari sungai nan jernih itu jenis HDPE ukuran 4 inchi sepanjang 960 meter. Rinciannya, pipa 3 inch sepanjang 672 meter dan pipa 2 inchi untuk sambungan ke rumah warga sepanjang 660 meter. Air yang dihasilkan 253.296 liter per detik.
ADVERTISEMENT
Kepala Sekolah Tombiobong, Rahmawati Saleh, bercerita meski sudah ada air, warga Loinang belum sepenuhnya mengerti kebersihan. Karena itu, para guru harus menyediakan tisu basah untuk mengelap wajah murid di sekolah. Mereka datang ke kelas dengan kondisi muka masih belepotan.
Untuk jaga kebersihan supaya rutin, mereka juga tinggal dengan anak didik. Murid perempuan diajar oleh mereka dan anak laki-laki diajar seorang ustaz.
“Dari bangun sampai tidur lagi, kami ajarkan, termasuk sikat gigi. Akhirnya mereka tahu kebersihan itu penting,” ujarnya.
Syifa, salah satu murid paling besar berusia 10 tahun di kelas ini bercerita saat air mengalir ke dapur rumahnya. Dia mengaku hal itu menjadi pengalaman baru karena biasanya dia dan sang ibu harus berjalan dengan memegang jeriken berat untuk mendapatkan air bersih di hutan. Kini tinggal memutar keran di halaman rumahnya.
ADVERTISEMENT
“Jadi semangat. Kita orang pergi pagi-pagi ke sekolah sudah bersih,” kata perempuan yang bercita-cita ingin menjadi pengajar ini.
Syifa yang kini duduk di kelas 3 ini mengaku ingin menjadi guru terinspirasi dari para pengejar di sekolahnya. Di bidang olahraga, dia paling suka bulu tangkis. Saat perayaan HUT ke-78 RI Agustus lalu, Syifa juara 2 bulu tangkis di sekolah dari tunggal perempuan.
Di luar itu, mereka juga senang ikut pramuka. Belajar baris-berbaris di halaman sekolah. Ma'ruf juga menang lomba bulu tangkis. Dia juara dua di kelas tunggal laki-laki. "Iya, suka badminton dan pramuka," katanya malu-malu.
Air dan Pendidikan Sama Pentingnya
Jika air penting bagi kehidupan, begitu juga pendidikan. Dua hal yang harus diperoleh masyarakat Suku Loinang dengan tidak mudah, termasuk para pengajar.
ADVERTISEMENT
Yani, guru lain yang juga mengajar di sini bercerita tidak mudah mengajak anak-anak Suku Loinang bersekolah. Dia mengatakan harus mengetuk rumah warga satu per satu demi membujuk anak mereka belajar.
Kegiatan itu dia lakoni sejak selama setahun lebih. Kadang diusir, kadang dimaki-maki.
“Saya setiap pagi jalan, jalannya pun masih berbatu, beberapa kali jatuh dan luka-luka. Dari orang tua juga masih ngatain buat apa sekolah? Bahkan ada mahasiswa yang mengajar di sini pernah ingin ditombak. Itu semua karena mereka belum paham,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, orang tua percaya dan menitipkan anak mereka sekolah. Para guru menerima mereka dengan senang hati, meski bayaran dari yayasan relawan hanya Rp 250 ribu sebulan.
ADVERTISEMENT
Yani mengatakan, saat tahun ajaran baru datang dan belum ada donasi, para guru patungan untuk membelikan bahan untuk dijahit menjadi seragam bagi anak-anak Tombiobong.
Yani percaya, keberadan air bersih yang terus mengalir dan pendidikan yang berjalan baik bisa membantu anak-anak Tombiobong meraih mimpi mereka. Meski terpencil, jauh dari kota maju di Indonesia.
Dusun Tombiobong berjarak sekitar 30 km ke arah utara dari Ibukota Kecamatan Batui Selatan dan 3 km ke arah pegunungan dari Desa Maleo Jaya. Wilayah Tombiobong berada di seberang sungai Sinorang dengan luas wilayah sekitar 36.000 m2.
Aksesibilitas menuju Dusun Tombiobong dapat ditempuh menggunakan roda empat double cabin atau berjalan kaki melewati sebuah sungai lebar yang dihubungkan oleh jembatan gantung konstruksi kayu dan 3 sungai kecil.
ADVERTISEMENT
Pada musim hujan, akses jalan menuju Tombiobong seringkali terputus oleh banjir tidak bisa dilewati oleh mobil maupun berjalan kaki. Kondisi tersebut yang menyebabkan pemukiman ini mengalami perlambatan dalam pergerakan infrastruktur, perekonomian, pendidikan, akses kesehatan serta pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.
Penduduk Perkampungan Tombiobong berasal dari suku pedalaman Loinang yang bermukim di daerah pegunungan Tumpu. Karena itu juga, Suku Loinang pada awalnya hidup nomaden / berpindah-pindah di dalam hutan dengan mata pencaharian berburu, mencari hasil hutan dan berladang.
"Awal-awal, kami itu berdiri di antara orang asing dengan Bahasa Indonesia saja tidak tahu. Tapi sekarang, kalau ada apa-apa, mereka langsung panggil kami, pun ketika ada yang sakit. Padahal kami bukan tenaga kesehatan," kata Yani.
ADVERTISEMENT
Teknologi Metavor Alirkan Air Lebih Banyak
Setuju dengan keyakinan para guru di sini, General Manager Zona 13 Benny Sidik mengatakan, air merupakan kebutuhan mendasar umat manusia yang harus dipenuhi agar dapat hidup dengan kualitas yang baik. Hal ini juga berlaku untuk KAT Loinang yang selama ini hidup dengan keterbatasan karena jauh dari sumber mata air.
Menurut dia, inovasi sosial ASIH Loinang (Pengelolaan Air Bersih Berkelanjutan Berbasis Komunitas Adat Loinang) telah memberikan solusi yang baru dan lebih efektif terhadap permasalahan ini. Sebab sebelumnya mereka alirkan air pakai genset. Tapi upaya ini tidak efisien karena membutuhkan biaya terus menerus untuk pembelian bahan bakar solar dan tidak ramah lingkungan akibat emisi yang dihasilkan.
"Program inovasi sosial yang kami lakukan merupakan bentuk komitmen perusahaan untuk memberikan nilai lebih kepada pemangku kepentingan, termasuk masyarakat melalui program Environmental, Social & Governance (ESG), juga mendukung upaya pemerintah termasuk dalam mencapai target agenda internasional Sustainable Development Goals dengan teknologi Metavor yang kami gunakan,” katanya.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Metavor adalah sistem jaringan transmisi dan distribusi air dengan memanfaatkan perbedaan elevasi sehingga air dapat dialirkan dari lokasi pengambilan (intake) menuju lokasi yang dituju (end point). Dalam pembuatan Metavor, JOB Tomori memanfaatkan limbah Non-B3 berupa junk, scrap, valve, kran, sisa pipa HDPE yang tidak terpakai (pemanfaatan limbah non-B3 dari kegiatan produksi dapat mereduksi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) karena jarak tempuh yang lebih pendek dengan TPA.
Water intake reservoir Metavor terdiri dari Eco-filter berupa ijuk, saringan pasir dan kerikil tanpa menggunakan bahan kimia (zero chemical). Metavor terdiri dari jaringan pipa transmisi, jaringan pipa distribusi, bak penguras, hidran umum serta sambungan distribusi rumah.
“Tujuan dari program ini adalah memberikan akses bersih kepada seluruh masyarakat kelompok adat Loinang di Tombiobong. Selain rumah, pipa air juga mengalir ke POSKESDES, masjid, gereja, dan rumah relawan seperti yang ditempati para guru,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Business Support Senior Manager JOB Tomori Agus Sudaryanto mengatakan program inovasi sosial ASIH Loinang ini dilakukan melalui proses dan tahapan yang terencana agar benar-benar efektif menyelesaikan permasalahan sosial keterbatasan akses air KAT Loinang.
Kata dia, metode konvensional distribusi air menggunakan sistem pompa untuk menambah energi pada aliran sehingga dapat mencapai tempat yang lebih tinggi. Tapi dengan penggunaan Metavor penggunaan pompa dan genset yang menghasilkan emisi GRK dapat dihindari (zero emission).
Sisa air bersih dimanfaatkan warga untuk mengairi kolam ikan, kolam azola (ALI KOMPAKAN La), dan perkebunan (KUPAS ALAM). Keberadaan metavor telah mendorong perubahan perilaku (mass-behaviour change) karena masyarakat dapat melakukan kegiatan MCK di rumah yang dilengkapi dengan saluran tangki septik sehingga mengurangi beban pencemaran air sungai dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Untuk menjaga pipa ini terawat, JOB Pertamina-Medco E&P Tomori bekerja sama dengan warga sekitar. Salah satunya laki-laku bernama Israel yang menjadi local hero dalam program ini karena dianggap bisa mengajak warga peduli pada fasilitas yang sudah ada.
“Kami ingin program ini menjawab permasalahan, memberikan dampak berupa keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat rentan. Melalui program ini kami mendapatkan banyak pelajaran menghadapi dinamika yang terjadi di masyarakat," terangnya.