Prabowo kunjungi lahan pertanian di Merauke

Angan-Angan Swasembada Pangan, dari Era Soeharto sampai Prabowo

30 Desember 2024 19:53 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Berbicara perdana usai mengucap sumpah sebagai presiden, Prabowo Subianto langsung menyitir swasembada pangan sebagai salah satu topik di pidatonya. Ia bertekad di masa kepemimpinannya, Indonesia mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri.
Tak tanggung-tanggung, Prabowo memasang target swasembada pangan tercapai selambatnya pada 2028-2029 atau jelang masa jabatannya berakhir.
“Bahkan kita siap menjadi lumbung pangan dunia,” ucap Prabowo di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, 20 Oktober.
Prabowo berpidato usai dilantik menjadi presiden di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Hampir sebulan setelahnya, Prabowo semakin percaya diri. Saat sambutan di depan para pemimpin dunia di KTT G20 Brasil, Prabowo menegaskan “akan mengatasi kekurangan pangan dalam TIGA tahun.”
Pernyataan Prabowo di forum internasional itu, termasuk di Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), kemudian diterjemahkan sebagai percepatan target swasembada pangan. Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyatakan kini target swasembada maju menjadi 2027.
Menuju target itu, pemerintah pada 2025 akan menyetop keran impor 4 komoditas pangan: beras, gula konsumsi, garam konsumsi, dan jagung pakan.
“Semangat kita sekarang tidak impor, semangat kita swasembada pangan,” ucap Zulkifli, Rabu (18/12).
Ilustrasi swasembada pangan. Foto: Pixabay
Walau swasembada pangan selalu menjadi perhatian utama Prabowo, namun menurut Khudori, hingga kini targetnya masih sumir.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) itu menilai, belum ada penjelasan detail dari pemerintah apakah swasembada yang dimaksud itu berbasis komoditas atau bentuk lain, seperti swasembada karbohidrat atau protein. Sebab merujuk Pasal 1 ayat (1) UU 18/2012, definisi pangan sangat luas.
“Kalau menggunakan pengertian ini sebagai target, sangat tidak mungkin swasembada pangan tercapai, karena ini mencakup semua komoditas,” ucap Khudori.
Pekerja melakukan bongkar muat gula kristal putih impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Sabtu (1/4/2023). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Bila merujuk presiden-presiden sebelumnya, kata Khudori, target swasembada pangan biasanya berbasis komoditas. Seperti era Jokowi yang pernah menargetkan swasembada 6 komoditas yakni beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, dan bawang putih.
Meski belum ada penjelasan pasti, nampaknya swasembada berbasis komoditas juga menjadi pilihan Prabowo. Kecenderungan ini terlihat ketika Menko Pangan Zulkifli Hasan menyebut beras, jagung, dan garam konsumsi ditargetkan bisa swasembada sebelum 2027. Walau belakangan dalam diskusi di sebuah media, Zulkifli menyatakan target swasembada 2027 difokuskan untuk beras dan jagung.
Di samping itu, definisi swasembada juga bisa berbeda-beda. Khudori menyebut ada 3 pandangan soal swasembada di publik. Pertama, swasembada mutlak yaitu seluruh kebutuhan suatu komoditas, semisal beras, dipenuhi dari produksi domestik, tak ada impor.
Sejumlah pekerja memikul karung beras di Gudang Bulog, Medan, Sumatera Utara, Selasa (28/5/2024). Foto: Yudi Manar / ANTARA FOTO
Kedua, merujuk pengertian Badan Pangan Dunia (FAO), swasembada tercapai bila produksi domestik suatu komoditas mencapai 90% dari kebutuhan nasional. Sedangkan 10% sisanya bisa dari impor. Definisi ini yang pernah dijadikan patokan oleh Mentan Amran Sulaiman dan Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi.
Jika mengambil contoh beras, kata Khudori, sedianya Indonesia sudah lama swasembada. Sebab konsumsi beras Indonesia per tahun mencapai 30 juta ton dan produksi juga di sekitar angka itu.
“Definisi ketiga swasembada on trend ini dipakai di zaman Orde Baru. Jadi di suatu waktu bisa jadi karena gagal panen, El Nino dst, harus impor. Sementara di waktu-waktu yang lain sepenuhnya dari produksi dalam negeri,” kata Khudori.
Khudori berpandangan, pemerintah perlu menjelaskan detail target pasti swasembada pangan. Sehingga nantinya publik punya patokan yang jelas untuk menagih janji Prabowo: apakah swasembada pangan hanya sekadar impian atau berbuah kenyataan.
Pun demikian, dengan target yang terukur, capaian Prabowo nantinya bisa diperbandingkan dengan para pendahulunya. Lalu bagaimana realita target swasembada pangan di era-era presiden sebelumnya?
kumparan membandingkan kebijakan dan capaian presiden sebelumnya, khususnya yang memiliki masa jabatan 10 tahun atau dua periode.

Revolusi Hijau ala Soeharto

Dengung swasembada begitu identik dengan pemerintahan Orde Baru Soeharto. Walaupun sedianya konsep itu sudah diusahakan sejak era Soekarno.
Presiden ke-2 Soeharto bersama putri sulungnya Siti Hardijanti atau Tutut di Jakarta, 5 April 2004. Foto: Bay Ismoyo/AFP
Dalam jurnal berjudul Kelembagaan Urusan Pangan dari Masa ke Masa dan Kebijakan Ketahanan Pangan (2016) yang ditulis Juli Panglima Saragih, saat era Orde Lama, Soekarno mengeluarkan beberapa kebijakan swasembada beras seperti Program Kesejahteraan Kasimo, Sentra Padi, Demonstrasi Massal, maupun Bimbingan Massal (Bimas).
Namun program-program tersebut tak berhasil di antaranya karena pendanaan yang kurang, mismanajemen sistem perkreditan, dan penentuan harga gabah yang lemah.
Target swasembada beras berlanjut di era Soeharto. Sejak 1970-an, Soeharto memfokuskan sektor pertanian dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Repelita sektor pertanian lalu diimplementasikan dalam program Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, Intensifikasi Massal (Inmas), Intensifikasi Khusus, serta Keluarga Berencana (KB) untuk mengendalikan pertumbuhan jumlah penduduk yang bisa mempengaruhi tingkat konsumsi pangan. Lalu periode 1970 sampai 1980, pemerintah Orde Baru berinvestasi besar membangun waduk, bendungan, dan irigasi.
Buruh tani menyiapkan bibit padi yang akan ditanam di kawasan persawahan di Cibiru Hilir, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (3/12/2024). Foto: Raisan Al Farisi/ANTARA FOTO
Di samping itu, Soeharto juga mengadopsi konsep revolusi hijau yang saat itu banyak diterapkan negara-negara berkembang di Amerika Latin maupun Asia. Revolusi hijau merupakan upaya modernisasi sistem pertanian secara intensifikasi melalui pemilihan bibit unggul; pemupukan dan penanaman yang teratur; pengairan yang cukup; dan pemberantasan hama secara intensif.
Berbagai program itu akhirnya membuahkan hasil. Pada 1984, Indonesia mampu swasembada beras. Produksi beras Indonesia melonjak dari sekitar 12,2 juta ton pada 1969 menjadi sekitar 26 juta ton pada 1984.
Produksi beras pada 1984 surplus 2 juta ton dan meningkat 7,8% dibanding tahun sebelumnya. Indonesia pun mampu mengirim bantuan 100 ribu ton beras ke Afrika. Raihan ini membuat Presiden Soeharto mendapat penghargaan dari FAO saat konferensi ke-23 FAO di Roma, Italia, 14 November 1985.
Namun bulan madu swasembada hanya bertahan sekitar 5 tahun. Produksi beras terus menurun sejak swasembada. Ditambah berubahnya paradigma Repelita pada 1989 yang berfokus pada industri dan membuat lahan pertanian menyusut. Alhasil memasuki tahun 1990-an, Indonesia kembali jadi pengimpor beras.
Beras impor asal Vietnam sebanyak 24 ribu ton tiba di Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Kamis (12/11/2023). Foto: Akbar Maulana/kumparan
Merujuk jurnal Muhammad Rifqi berjudul Pencapaian dan Persoalan Swasembada Beras Masa Orde Baru (2023) serta Sumber Sejarah Lisan Revolusi Hijau di Indonesia (2017) terbitan Kemendikbud, nyatanya konsep revolusi hijau mengundang sejumlah dampak negatif. Seperti beban utang kepada perusahaan asing yang digandeng untuk menyediakan input pertanian.
Masalah lain ialah peningkatan kuantitas beras yang tidak diimbangi dengan kualitas, sehingga mengakibatkan penurunan harga beras di pasar. Lalu bibit padi jenis baru yang dikembangkan di kemudian hari memunculkan hama wereng yang sulit dibasmi. Hingga dampak ekologis penggunaan bahan kimia untuk pupuk atau pestisida telah menyebabkan berkurangnya kesuburan lahan pertanian.
Soeharto pun berupaya lagi meningkatkan produksi beras dengan proyek food estate Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar pada 1996 di Kalimantan Tengah. Hasilnya proyek itu gagal dan malah menimbulkan polusi udara yang parah pada 1997 imbas kebakaran lahan gambut selama 6 bulan.

Revitalisasi Pertanian Era SBY

Mimpi swasembada pangan pasca-reformasi dilanjutkan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut catatan Guru Besar Pertanian IPB Prof Dwi Andreas Santosa, selama 10 tahun memerintah, kebijakan swasembada SBY ialah program revitalisasi pertanian.
SBY panen raya padi di Yogyakarta. Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Selain swasembada beras, program itu juga mengetkan swasembada jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Adapula program ambisius feed the world.
Khusus beras, merujuk jurnal berjudul Genealogi Kebijakan Beras Indonesia 1998-2021 yang ditulis Dzaky Yusuf Muhammad dan Bayu Dardias Kurniadi, SBY sampai menerbitkan 7 Instruksi Presiden (Inpres) agar swasembada tercipta.
Kebijakan SBY berfokus pada peningkatan produktivitas pertanian melalui penggunaan bibit unggul, rehabilitasi dan pembangunan embung dan waduk, rehabilitasi daerah tangkapan air, serta bantuan dan penggunaan pupuk organik dan anorganik secara berimbang.
Menurut jurnal itu, hasil berbagai kebijakan itu berbuah pada 2008 ketika Indonesia mencapai swasembada dan tidak perlu impor beras. Namun capaian itu hanya bertahan 1 tahun lantaran pemerintahan SBY disebut permisif dalam menyikapi perdagangan beras di pasar bebas, khususnya di periode kedua SBY pada 2009-2014.
Seperti pada Februari 2011 ketika semula pemerintahan SBY menyampaikan target surplus beras, namun enam bulan kemudian justru mengimpor beras dari Vietnam sejumlah 500 ribu ton dengan kerja sama G to G. Alhasil impor pangan pada 2009-2014 meningkat 60,03% dari 12,36 juta ton pada 2009 menjadi 19,78 juta ton pada 2014.
Ilustrasi Food Estate atau lumbung pangan. Foto: Dok. Kementerian Pertanian
Saat berkuasa, SBY juga mencoba ekstensifikasi lahan dengan program food estate. Menurut Prof Dwi, ada 3 proyek food estate di era SBY yakni Merauke Integrated Food and Energy Estate seluas 1,23 juta hektar pada 2008; food estate Bulungan, Kaltim seluas 298 ribu hektare; dan food estate Ketapang, Kalbar seluas 100 ribu hektare pada 2013.
Namun seluruhnya, kata Dwi, gagal. Menurutnya, produksi padi di era SBY hanya tumbuh 0,16% per tahun di tengah pertumbuhan penduduk 1,3-1,4% per tahun. Impor beras pun cukup jor-joran sebanyak 5 kali, termasuk swasta, pada 2007 (1,41 juta ton); 2010 (690 ribu ton); 2011 (2,7 juta ton); 2012 (1,93 juta ton); dan 2014 (840 ribu ton).
Adapun total volume impor 8 komoditas pangan yakni gandum, kedelai, gula, beras, jagung, bawang putih, ubi kayu, dan kacang tanah melonjak 13,45 juta ton dari 8,50 juta ton pada 2004 menjadi 21,95 juta ton pada 2014.
Bahkan di akhir periode kedua, Mentan era SBY, Suswono, mengakui kegagalan program swasembada. Menurutnya, program swasembada tak didukung kementerian lain maupun pemda.

Limbung Pangan Jokowi

Impian mencapai swasembada pangan ditargetkan Jokowi di periode pertamanya terhadap beberapa komoditas yakni beras, jagung, kedelai, bawang putih, daging sapi, dan gula.
Presiden Joko Widodo didampingi Mentan Amran Sulaiman menyapa para petani usai meninjau pompa air untuk pengairan sawah di Tumpukan, Karangdowo, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (19/6/2024). Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
Untuk komoditas beras, jagung, dan kedelai bahkan dibuat program khusus yakni Upsus Pajale (Upaya Khusus Padi, Jagung, Kedelai) pada 2015-2017. Kemudian swasembada bawang dengan target 2019, dan swasembada gula 2019.
Namun, menurut Prof Dwi, seluruhnya gagal. Pada periode pertama Jokowi, produktivitas padi turun rata-rata 1,48% per tahun, sedangkan jumlah penduduk bertambah rata-rata 1,31% per tahun. Begitu di periode kedua (2020-2023), produksi padi masih turun rata-rata 0,29%, sementara jumlah penduduk naik 1,11% per tahun.
Turunnya produksi padi membuat pemerintah impor beras, termasuk swasta, sebesar 0,86 juta ton (2015), 1,28 juta ton (2016), 2,25 juta ton (2018), 3,06 juta ton (2023), dan 4 juta ton (perkiraan 2024). Total impor beras di era Jokowi, kata Dwi, mencapai 13,15 juta ton. Angka ini lebih tinggi dari era SBY sebesar 9,21 juta ton.
Walau demikian, pada periode pertama Jokowi, Mentan Amran mengeklaim tercipta swasembada karena tak ada impor beras medium pada 2016-2017. Namun menurut catatan BPS, pada 2016 terdapat impor beras 1,2 juta ton dan 305 ribu ton pada 2017.
“Pada 2016 dan 2017 tidak ada impor, kalau impor 2016 itu limpahan impor 2015," ujar Amran pada Februari 2019.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Foto: Muhammad Ramdan/ANTARA
Klaim swasembada juga sempat disampaikan Mentan Syahrul Yasin Limpo untuk periode 2019-2022 lantaran tak ada impor. Khudori menyatakan periode itu memang tak ada impor oleh Bulog, namun bukan berarti tak ada impor sama sekali. Sebab tetap ada impor beras khusus oleh swasta sebesar 350 ribu-450 ribu ton per tahun.
Sementara impor komoditas pangan lain di luar beras, menurut Prof Dwi, juga setali tiga uang. Menurutnya Indonesia kini mengimpor gandum 100%, bawang putih 100%, kedelai 97%, susu 82%, gula 70%, daging sapi/kerbau 50%, dan jagung 10%.
Di periode kedua, Jokowi mencoba cara lain dengan lebih fokus pada proyek food estate. Walau dianggap gagal saat proyek rice estate di Merauke seluas 1,2 juta hektare pada 2015, Jokowi tetap melakukan cetak sawah di daerah lain seperti Kalteng, Sumut, dan NTT.
Seperti di Gunung Mas Kalteng, lahan seluas 30 ribu hektare yang ditanami singkong gagal, lalu diubah menjadi jagung. Uniknya, jagung ditanam di atas polybag hingga menimbulkan kritik luas. Namun Mentan Amran menyebut hal itu hanya percobaan.
Lantas bagaimana dengan periode Prabowo kini?
Presiden Prabowo didampingi Mentan Andi Amran Sulaiman mengoperasian alat berat saat meninjau lahan pertanian di Desa Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, Minggu (3/11/2024). Foto: Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
Sejauh ini, Kementan baru mempublikasikan peta jalan untuk swasembada beras. Dalam peta jalan itu, Kementan menetapkan Indonesia menjadi lumbung pangan dunia pada 2029. Dimulai dengan pompanisasi 1 juta hektare, optimasi lahan rawa, dan cetak sawah 1 juta hektare pada 2025. Sehingga diharapkan produksi beras bertambah 2,5 juta ton.
Lalu pada 2026, Kementan melanjutkan etak sawah dan perbaikan irigasi seluas 1 juta hektare dengan target produksi beras naik hingga 5 juta ton. Kemudian cetak sawah dan perbaikan irigasi di area yang sama pada 2027 sehingga diharapkan meningkatkan produksi beras 10 juta ton. Pada tahun tersebut, Kementan berharap telah mencapai swasembada penuh.
Selanjutnya pada 2028, Kementan menargetkan produksi beras bertambah 10 juta ton dan mulai mengekspor. Pada 2029, Kementan menargetkan produksi beras bertambah 12,5 juta ton, termasuk dari cetak sawah, sehingga bisa menjadi lumbung pangan. Dalam program cetak sawah, Kementan membuka rekrutmen petani milenial.
Khudori berpendapat dengan melihat iklim serta dukungan penuh pemerintah terhadap program swasembada beras, ia menilai target produksi beras 32,3 juta ton pada 2025 bisa tercapai. Bahkan TNI AD sampai mengusulkan pembentukan batalion khusus untuk mendukung swasembada.
Pelaksanaan program lumbung pangan atau food estate. Foto: Kemhan
Prof Dwi Andreas mendorong Prabowo agar lebih mendorong intensifikasi pertanian, ketimbang ekstensifikasi atau cetak sawah.
“Kita kok tidak belajar dari 26 tahun terakhir. Food estate misalnya itu gagal terus dan kita menghambur-hamburkan anggaran luar biasa besar, puluhan triliun,” ucap Dwi.
Dwi menyebut program intensifikasi bisa dilakukan dengan perbaikan irigasi yang kondisinya 50% sudah rusak. Lalu mendampingi petani terkait varietas apa yang cocok ditanam di lahan itu, berapa dosis pupuk yang diperlukan, sampai penanganan hama. Inilah yang disebut dengan pertanian presisi.
Dwi menerapkan praktik pertanian tersebut saat ia mendampingi PT Sang Hyang Seri menggarap lahan padi 1.000 ha di Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Dengan pengeringan lahan yang tergenang terus-menerus hingga penggantian pupuk dengan kombinasi tertentu, Dwi mengklaim ada peningkatan produksi 31%.
Ia juga mencontohkan di Thailand terdapat dokter tanah yang masuk ke desa-desa untuk menganalisis tanah serta memberi rekomendasi dosis pupuk yang diperlukan. Sementara di India, pemerintahnya menganalisis jutaan sampel tanah dan membuat bagannya (soil chart). Bagan itu menjadi rekomendasi bagi para petani terkait rekomendasi pupuk di masing-masing wilayah tanam.
Pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa di ICBB Bogor, Rabu (4/12). Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
“Di Indonesia kita tahu sendiri apa yang terjadi, dosis rekomendasi [pupuk] itu tidak ada. Pemerintah perlu mengembangkan apa yang disebut sebagai pertanian presisi. Wilayah-wilayah [tanam] dikaji kebutuhan pupuknya berapa, NPK-nya berapa,” kata Dwi.
Sementara itu Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebut pemerintah telah menyiapkan dana ketahanan pangan senilai Rp 139 triliun pada 2025. Mengenai berbagai kritik terkait kebijakan swasembada, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengaku tak ambil pusing.
“Sekarang kita berusaha keras dulu semua. Harusnya ini mendapat dukungan, bukan mendapatkan kritikan, iya dong?” kata Arief.
Presiden Prabowo meninjau lahan pertanian di Desa Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Foto: Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten