Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama buka suara terkait rencana pemerintah menaikkan tarif Commuter Line atau KRL pada 2023. Menurutnya, saat ini belum waktu yang tepat untuk menaikkan tarif KRL.
ADVERTISEMENT
Adapun pertimbangan pemerintah menaikkan tarif KRL ini adalah terkait tingkat kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membayar tiket KRL, sekaligus menimbang beban operasional KRL dan kebutuhan subsidi yang akan dianggarkan. Berbeda, Suryadi menganggap masyarakat belum sepenuhnya pulih dari pandemi.
"Tarif dasar KRL Commuter Line belum saatnya dinaikkan. Pengguna jasa KRL sendiri banyak yang menolak kenaikan tarif ini dan meminta agar kenaikan itu dikaji ulang. Sebab saat ini masyarakat masih berjuang untuk bangkit dari pandemi COVID-19," kata Suryadi kepada kumparan, Jumat (17/12).
"Apalagi Presiden Jokowi sendiri mengatakan bahwa pada tahun 2023 mendatang akan terjadi krisis, tentunya kenaikan tarif KRL akan memperberat beban masyarakat," sambung dia.
BPS mencatat, jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 mencapai 26,16 juta orang atau 9,54 persen dari total penduduk Indonesia. Menurutnya angka itu masih sangat tinggi. Ditambah lagi inflasi yang terjadi secara global turut mengkerek naiknya harga bahan-bahan pokok kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Anggap KRL Sudah Untung Tanpa Naikkan Tarif
Selain melihat persoalan sosial ekonomi, Suryadi juga menyoroti masih adanya penumpukan penumpang KRL di jam-jam sibuk. Menurutnya, hal itu menjadi pundi-pundi keuntungan bagi pengelola.
"Dan tentunya akibat overload tersebut seharusnya KRL Commuter Line sudah bisa mengambil keuntungan yang cukup besar tanpa perlu menaikkan tarif KRL," tegasnya.
Sedangkan dari sisi pemasukan, Suryadi mencatat bahwa Kementerian Perhubungan telah menggelontorkan Rp 3,2 triliun lebih untuk mensubsidi pengguna kereta api pada tahun 2022. Belum lagi PMN juga telah diberikan pada PT KAI sebesar Rp 6,9 triliun pada akhir 2021, dan memberikan lagi PMN sebesar Rp 3,2 triliun pada tahun 2022.
"Seharusnya PT Kereta Commuter Indonesia sebagai salah satu anak perusahaan di lingkungan PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang mengelola KA Commuter Jabodetabek dan sekitarnya turut mendapatkan manfaat dari besarnya dana yang diberikan oleh pemerintah kepada PT KAI," kata dia.
ADVERTISEMENT
Dengan alasan itu semua, menurutnya tarif KRL tidak perlu naik. "Dengan berbagai fakta di atas kita perlu menolak rencana kenaikan tarif dasar KRL menjadi Rp 5.000, karena sangat memberatkan masyarakat," pungkas dia.
Opsi Tarif yang Disiapkan Pemerintah
Sebelumnya, Plt Kasubdit Penataan dan Pengembangan Jaringan Ditjen Perkeretaapian Kemenhub, Arif Anwar, mengatakan pihaknya telah melakukan survei Ability To Pay (ATP) atau kemampuan seseorang untuk membayar dan Willingness To Pay (WTP) atau kemauan seseorang untuk membayar.
Total respondennya dari semua lintas, yaitu Bogor, Bekasi, Serpong, dan Tangerang sejumlah 6.841 orang yang terbagi responden pria 51 persen dan wanita 49 persen.
Hasilnya, di Bogor rata-rata ATP Rp 8.572 dan WTP Rp 6.000. Di Bekasi rata-rata ATP Rp 9.327 dan WTP Rp 4.000. Di Serpong rata-rata ATP Rp 7.439 dan WTP Rp 4.000. Di Tangerang rata-rata ATP Rp 7.606 dan WTP 4.500. Sehingga total rata-rata ATP adalah 8.486 dan WTP 4.625.
ADVERTISEMENT
Hasil survei tersebut juga dinilai masih berada pada tahap diskusi. Oleh karena itu, ia akan mengusulkan penyesuaian tarif kurang lebih sebesar Rp 2.000 untuk 25 km pertama.
"Jadi kalau yang semula berdasarkan Peraturan Menteri tarif semula sebesar Rp 3.000 per 25 km pertama ini akan dinaikkan menjadi Rp 5.000. Kemudian per 10 km selanjutnya tetap kenaikan Rp 1.000. Nah ini yang masih kami diskusikan,” tutur Arif.