Anies Larang Pajang Kemasan Rokok di Minimarket, Penerimaan Negara Terancam?

29 September 2021 18:25 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Satuan Polisi Pamong Praja (PP) Jakarta Barat menyambangi minimarket d wilayah Kembangan, Jakarta Barat. Foto: Pemprov DKI Jakarta
zoom-in-whitePerbesar
Satuan Polisi Pamong Praja (PP) Jakarta Barat menyambangi minimarket d wilayah Kembangan, Jakarta Barat. Foto: Pemprov DKI Jakarta
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperketat aturan rokok di Wilayah DKI Jakarta. Mulai dari memasang tanda larangan merokok di setiap pintu gedung, tidak menyediakan asbak/pembuangan puntung rokok, hingga melarang memajang kemasan/bungkus rokok di tempat penjualan seperti minimarket.
ADVERTISEMENT
Hal itu tertuang dalam Seruan Gubernur (Sergub) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Rokok.
Sejumlah pihak menganggap seruan tersebut dapat menekan industri hasil tembakau. Tak hanya itu, seruan itu juga dinilai mengancam penerimaan negara.
Ekonom Universitas Padjadjaran Irsyad Kamal memberikan pandangannya terkait hal tersebut. Dikutip dari keterangannya, Rabu (29/9), ia menilai Sergub tersebut tak relevan dengan tujuannya untuk menurunkan penyebaran COVID-19. Menurutnya, hal itu justru mematikan ekonomi masyarakat dan penerimaan cukai.
"Dalam tataran makroekonomi, pembatasan yang ketat terhadap industri bukan hanya berdampak terhadap pelaku usaha kecil, melainkan juga berimbas kepada perusahaan rokok," ujar Irsyad dalam keterangannya, Rabu (29/9).
Menurut dia, pembatasan-pembatasan terhadap industri hasil tembakau itu juga mengganggu dunia usaha, terutama industri rokok dan pelaku usaha ritel, baik modern atau tradisional seperti warung.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebijakan industri tembakau juga tak sepenuhnya bisa sekadar meniru sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat maupun Singapura. Negara-negara tersebut, melarang penjualan rokok secara eceran lantaran penerimaan pajaknya sudah tinggi. Sementara Indonesia, masih mengandalkan cukai rokok sebagai penerimaan negara.
“Saat ini penerimaan cukai rokok itu menjadi salah satu yang paling besar, kemudian kalau dibatasi secara ketat, perusahaan-perusahaan rokok pasti akan melakukan layoff terhadap pekerjanya,” jelas dia.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachyudi juga menyatakan bahwa Sergub DKI itu mengancam industri tembakau. Apalagi, pada Oktober mendatang pemerintah berencana akan menaikkan tarif cukai rokok di 2022.
"Industri hasil tembakau bisa makin terpuruk dari hulu ke hilir. Semua terdampak pandemi dari mulai kenaikan cukai hingga sekarang diperparah dengan Sergub ini," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kementerian Keuangan mencatat penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok mencapai Rp 111,1 triliun per akhir Agustus 2021. Jumlah ini naik 17,8 persen dibandingkan Agustus 2020 senilai Rp 94,4 triliun.