Apindo Mau Kirim Petisi ke Jokowi & Prabowo, Minta Setop Penerapan PP Kesehatan

11 September 2024 16:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pernyataan sikap Apindo dan 20 asosiasi lintas sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) terkait PP No 28 Tahun 2024 dan RPMK, Rabu (11/9/2024). Foto:  Fariza/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pernyataan sikap Apindo dan 20 asosiasi lintas sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) terkait PP No 28 Tahun 2024 dan RPMK, Rabu (11/9/2024). Foto: Fariza/kumparan
ADVERTISEMENT
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berencana mengirimkan petisi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menghentikan pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Apindo beserta 20 asosiasi lintas sektor menolak beberapa poin bermasalah dalam PP Kesehatan, khususnya Pengamanan Zat Adiktif, serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Wakil Ketua Umum Apindo, Franky Sibarani, mengatakan pasal-pasal bermasalah dalam PP 28 dan RPMK dikhawatirkan dapat menciptakan ketidakstabilan di berbagai sektor terkait, termasuk ritel, pertanian, dan industri kreatif yang bergantung pada ekosistem industri hasil tembakau (IHT).
"PP 28 ini imbasnya ke multi sektor, tidak hanya dari pengelola bangunan tapi juga pedagang, kemudian sampai ke petani tembakau, cengkeh, dan pekerja, yang tidak bersuara adalah negara sendiri, negara berpotensi turun pendapatan dari cukai dan pajak," tegas Franky saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (11/9).
ADVERTISEMENT
Seiring dengan berbagai poin bermasalah dalam PP Kesehatan, Apindo akan mendesak pemerintah menghentikan pembahasan dan pemberlakuan beleid tersebut berserta aturan turunannya yang berkaitan dengan rokok.
"Kami akan bersama-sama mengirimkan petisi ini bersama surat tentunya kepada Presiden Jokowi dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto untuk menghentikan atau menyetop dulu pemberlakuan PP 28," ujar Franky.
Pernyataan sikap Apindo dan 20 asosiasi lintas sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) terkait PP No 28 Tahun 2024 dan RPMK, Rabu (11/9/2024). Foto: Fariza/kumparan
Menurutnya, dampak pemberlakuan PP 28 bisa lebih dahsyat dari pandemi COVID-19 yang menyebabkan penurunan pendapatan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan karena pembatasan aktivitas.
"Kalau COVID pendapatan kita turun di berbagai perusahaan mungkin masih bisa mengatur sheet-nya, atau mengatur dengan bekerja dari rumah, pendapatan memang berkurang selain ada PHK, tapi kalau kali ini tidak. Jadi industrinya yang dihentikan," jelas Franky.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, Apindo bersama lebih dari 20 elemen industri hasil tembakau dan pemangku kepentingan lainnya mendesak agar proses penyusunan dan pelaksanaan PP 28 dan RPMK lebih terbuka dan melibatkan seluruh pihak terdampak secara komprehensif, guna mewujudkan kebijakan yang berimbang dan berbasis pembuktian (evidence-based policy).
"Kami tidak menolak regulasi, tetapi regulasi ini harus disusun dan diterapkan secara adil dan berimbang, mengingat perkembangan perekonomian terkini serta kompleksitas posisi industri hasil tembakau dalam menopang ekonomi nasional," tutur Franky.
"Kami juga mendukung komitmen pelaku usaha industri hasil tembakau untuk mencegah akses pembelian rokok oleh anak-anak dan Apindo mengajak seluruh stakeholder untuk bisa bersama-sama meningkatkan edukasi dan literasi pencegahan merokok kepada kelompok usia di bawah 21 tahun," tambahnya,
ADVERTISEMENT
Para asosiasi lintas sektor juga menyoroti bahwa kebijakan yang diambil tanpa mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan dampak ekonomi dapat mengganggu kestabilan perekonomian nasional.
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji, menyoroti dampak besar yang akan dialami petani tembakau jika ketentuan ini diterapkan secara ketat.
"Petani tembakau menggantungkan hidupnya pada industri ini. Peraturan yang tidak memperhitungkan keberlanjutan sektor pertanian akan memukul keras para petani beserta yang telah berkontribusi besar terhadap perekonomian lokal," ujar Agus.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Nayoan, turut menyuarakan kekhawatirannya terhadap dampak kebijakan yang terlalu ketat akan berdampak pada maraknya rokok ilegal.
"Rokok ilegal akan semakin menjamur jika regulasi yang diterapkan justru menekan industri formal. Kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang bukanlah solusi efektif untuk menurunkan prevalensi merokok, tetapi hanya akan membuka jalan bagi produk ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai," jelas Henry.
ADVERTISEMENT
Adapun beberapa poin penting yang menjadi aspirasi utama pelaku usaha terkait PP Kesehatan dan RPMK yakni sebagai berikut:
1. Pembatalan ketentuan mengenai standarisasi kemasan atau kemasan polos (plain packaging), yang tidak sejalan dengan dan melampaui mandat pengaturan standarisasi di PP No 28 untuk produk tembakau dan rokok elektronik. Apindo menegaskan bahwa kebijakan ini berpotensi mengurangi daya saing produk lokal dan justru membuka peluang bagi peningkatan rokok ilegal.
2. Penolakan terhadap pembatasan kadar tar dan nikotin dalam produk tembakau, yang dinilai tidak efektif dalam menurunkan konsumsi rokok, tetapi justru akan memukul industri secara signifikan. Penetapan ambang batas yang terlalu rendah untuk tar dan nikotin akan berdampak negatif pada seluruh rantai pasok industri, mulai dari petani tembakau hingga pabrik rokok. Ini berisiko meningkatkan impor tembakau dan merugikan produksi dalam negeri, sekaligus memicu munculnya produk ilegal dengan kadar yang tidak terkontrol.
ADVERTISEMENT
3. Penolakan terhadap larangan zonasi penjualan produk tembakau dan rokok elektronik dalam radius 200 meter serta larangan iklan luar ruang dalam radius 500 meter dari fasilitas pendidikan dan tempat ibadah untuk pelaku usaha yang sudah beroperasi saat ini. Pembatasan usia pembelian yang ketat sudah diberlakukan.
Apindo menilai zonasi tambahan ini hanya akan menambah beban pelaku usaha yang sudah ada tanpa memberikan dampak nyata terhadap pengendalian konsumsi. Melarangnya secara total tanpa mempertimbangkan konteks hanya akan mengurangi visibilitas dan keuntungan industri legal, sementara rokok ilegal akan mendapatkan pangsa pasar lebih besar.