Apindo Minta UMP 2025 Diputuskan Secara Bipartit

26 November 2024 21:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah buruh berjalan pulang di salah satu pabrik di Kota Tangerang, Jumat (17/11/2023). Foto: Sulthony Hasanuddin/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah buruh berjalan pulang di salah satu pabrik di Kota Tangerang, Jumat (17/11/2023). Foto: Sulthony Hasanuddin/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam menyikapi rencana kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025. Menurutnya, UMP 2025 semestinya dilakukan secara bipartit, yakni perundingan atau kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
ADVERTISEMENT
"Penerapan kebijakan upah di tingkat perusahaan hendaknya dilakukan dengan mengedepankan komunikasi bipartite berdasarkan asas hubungan industrial Pancasila yaitu dengan musyawarah mufakat, bukan dengan aksi-aksi sepihak yang menganggu ketertiban masyarakat serta mengancam kelangsungan dunia usaha," ujar Bob dalam diskusi dengan media di Roemah Kuliner, Jakarta, Selasa (26/11).
Dia menjelaskan, dalam sepuluh tahun terakhir telah terjadi 4 kali perubahan aturan pengupahan. Kebijakan yang selalu berubah ini membuat iklim usaha di Indonesia semakin dipenuhi ketidakpastian. Hal ini membuat investor cenderung menahan diri untuk berinvestasi atau meningkatkan jumlah investasinya. Kesempatan kerja baru yang seharusnya diharapkan muncul dari peningkatan investasi tersebut pun menjadi lebih kecil.
"Apindo berpendapat bahwa situasi yang tidak menguntungkan tersebut akan membuat iklim usaha di Indonesia menjadi semakin sulit di tengah tantangan mengembalikan kepercayaan investor asing dalam meningkatkan investasinya di Indonesia," jelasnya.
Direktur PT TMMIN, Bob Azam saat ditemudi di KBRI Hanoi, Vietnam Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
Selain itu, keputusan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di tahun depan juga semakin berat menjelang periode penyesuaian upah tahun 2025.
ADVERTISEMENT
Upaya Pemerintah untuk mendorong peningkatan daya beli melalui peningkatan upah minimum perlu didalami lebih lanjut. Secara periodik, penyesuaian upah minimum dilakukan untuk mempertahankan daya beli agar tidak tergerus inflasi.
"Meski demikian, kenaikan upah minimum yang tinggi dapat memicu terjadinya inflasi lebih lanjut dan pada akhirnya justru menghambat peningkatan kesejahteraan pekerja. Kenaikan upah minimum yang tidak rasional akan berdampak terhadap iklim usaha dan berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kerja di sektor formal," kata Bob.
Apindo pun meminta penetapan UMP mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Ini harus bebas dari upaya politisasi demi kepentingan politik pencitraan ataupun kepentingan politik sesaat yang malah berseberangan dengan kepentingan buruh dan dunia usaha.
⁠Penetapan upah minimum perlu mengakomodasi berbagai kepentingan dari seluruh stakeholders termasuk buruh, perusahaan pemberi kerja, dan pencari kerja yang belum bekerja. Menurut Bob, upah minimum bukanlah instrumen yang tepat dalam meningkatkan daya beli masyarakat melainkan treshhold atau batas bawah upah yang membedakan sektor formal dan sektor informal.
ADVERTISEMENT
"Kebijakan upah minimum yang tepat akan membuka kesempatan bekerja di sektor formal, memberikan perlindungan buruh yang lebih baik, serta menjamin kelangsungan dunia usaha," kata dia.
Agar kenaikan upah minimum dapat sejalan dengan peningkatan kesejahteraan pekerja, diperlukan perhitungan yang tepat agar kenaikan upah minimum tersebut dapat mendorong peningkatan daya beli. ⁠Peningkatan daya beli yang berkelanjutan dapat di tempuh dengan menerapkan meritokrasi yaitu upah berdasarkan kompetensi, produktivitas, dan daya saing usaha.
"Apindo berharap pemerintah dapat membangun ekosistem dunia usaha yang kondusif dengan memperlancar birokrasi, tidak memberikan perlindungan atau perlakuan istimewa terhadap barang import yang bersifat dumping dan tidak membayar pajak yang merupakan pendapatan negara," tambahnya.