Kementerian PKP Bakal Perluas Akses Rumah Subsidi, Sasar Pekerja Informal

16 April 2025 19:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Maruarar Sirait usai pembekalan oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto di Pendopo Garuda Yaksa, Hambalang, Rabu (16/10/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Maruarar Sirait usai pembekalan oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto di Pendopo Garuda Yaksa, Hambalang, Rabu (16/10/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait tengah menyusun kebijakan strategis untuk memperluas akses kepemilikan rumah bersubsidi.
ADVERTISEMENT
Pria yang akrab disapa Ara itu menegaskan definisi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) tidak boleh kaku dan eksklusif. Ia ingin memastikan kelompok masyarakat yang selama ini tertinggal dalam kebijakan perumahan, termasuk pekerja sektor informal, dapat memperoleh hak atas hunian layak.
Salah satu fokus utama adalah revisi batas penghasilan untuk penerima manfaat program MBR. Malam ini, Kementerian Perumahan akan menggelar pertemuan dengan Kementerian Hukum untuk membahas perubahan regulasi yang mengatur syarat-syarat MBR.
Ia menyebut, selama ini terjadi kesalahpahaman di lapangan terkait siapa saja yang berhak membeli rumah subsidi. Banyak yang mengira hanya masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp 7 juta per bulan yang bisa mengaksesnya. Padahal, pemerintah menetapkan batas penghasilan hingga Rp 14 juta untuk wilayah tertentu, tergantung klasifikasi dan harga rumah.
ADVERTISEMENT
“Batas penghasilan. Jadi yang kalian pahami itu orang yang berpenghasilan Rp 14 juta baru beli rumah MBR, atau sampai Rp 14 juta boleh? Sampai 14 juta kan. Berarti kebijakan saya pro rakyat atau tidak? Pro rakyat,” kata Ara di Kantor Kementerian PKP, Jakarta, Rabu (16/4).
Menurut Ara, kebutuhan rumah layak tidak hanya milik mereka yang memiliki slip gaji tetap. Banyak kepala keluarga yang memiliki penghasilan stabil, namun berasal dari sektor informal, seperti pedagang kaki lima, sopir ojek, atau tukang bangunan. Mereka kerap tertinggal karena sistem pembiayaan yang mengandalkan potongan gaji tetap sebagai jaminan.
“Pada waktu itu kan saya janji, minggu depan saya umumkan. Kita terbuka. Kalau gaji Rp 7 juta punya istri satu, anak dua, mau berapa nih? Kita tingkatkan dong, supaya kesempatan dapat rumah MBR makin banyak,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut, perluasan batas penghasilan hanya satu bagian dari strategi besar yang sedang disusun. Pemerintah juga tengah merancang mekanisme khusus agar wong cilik, kelompok masyarakat kecil yang tidak memiliki slip gaji, bisa tetap mengakses KPR bersubsidi. Mereka termasuk para tukang bakso, pedagang ayam, penjual sayur, buruh harian, dan pelaku usaha mikro lainnya.
“Nanti akan tambah lagi, saya akan pikirkan tambahan-tambahan lagi ‘Wong Cilik’, tapi saya lagi matangkan. Intinya informal, karena presiden luar biasa, karena kita harus juga berikan banyak kepada sektor informal kita yang non gaji,” ujar Ara.
Menteri PKP Maruarar Sirait dan Aguan di Kantor Kementerian PKP, Jakarta, Rabu (15/4/2025). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
Ia menyadari, kelompok ini menghadirkan tantangan tersendiri bagi sektor perbankan, karena tidak adanya penghasilan tetap yang bisa dijadikan dasar potongan kredit. Namun justru di sinilah, menurutnya, negara harus hadir. Sistem perbankan memang lebih nyaman melayani pegawai negeri, TNI, atau pegawai BUMN yang gajinya bisa langsung dipotong tiap bulan.
ADVERTISEMENT
“Karena apa? Karena mereka harus diberikan keadilan. Bagi bank itu lebih sulit, karena motong gaji jauh lebih mudah, lebih gampang motong gaji tentara, pegawai negeri, pegawai BUMN, jauh lebih gampang. Tapi kalau bakso, ayam, tukang ayam, sayur, tapi mereka adalah rakyat kita. Mereka juga harus memberikan akses kepada perbankan walaupun lebih sulit, karena tidak punya slip gaji,” kata Ara.
Langkah ini bukan tanpa risiko. Pemerintah dan sektor perbankan harus mencari sistem penjaminan baru, dan mungkin perlu menggandeng lembaga lain dalam pelaksanaannya. Namun bagi Ara, ini bukan soal mudah atau sulit, melainkan soal keberanian negara untuk menghadirkan keadilan sosial secara nyata.
Ia menegaskan, jika negara hanya memilih kebijakan yang mudah dilakukan, maka keadilan tidak akan pernah menjangkau mereka yang paling membutuhkan. Ia meminta semua pihak, termasuk lembaga keuangan, ikut membuka hati dalam merancang sistem yang inklusif.
ADVERTISEMENT
“Tapi bagaimana saudara-saudara kita yang gak punya slip gaji? Tentu itu berisiko. Berisiko bagi bank, bagi segalanya. Tapi kalau kita gak mau menyentuh itu, kapan mereka mau tersentuh? Ini nurani kita di mana? Kita kan punya nurani semua ini,” pungkasnya.