Arcandra Tahar Beberkan Rahasia di Balik Komitmen China soal Emisi

14 Desember 2021 10:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar terlihat di Kementerian ESDM, Selasa (22/10/2019). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar terlihat di Kementerian ESDM, Selasa (22/10/2019). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar bicara soal pelajaran dari komitmen China untuk mencapai nol emisi atau net-zero emission pada tahun 2060. China adalah negara penghasil emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar di dunia. Setelahnya disusul Amerika Serikat dan India diperingkat kedua dan ketiga.
ADVERTISEMENT
Walaupun berada di peringkat ketiga, jumlah emisi GRK yang dihasilkan India hanya seperempat dari yang dihasilkan oleh China. Sementara emisi GRK Indonesia hanya sekitar 5 persen dari yang dihasilkan China. Begitu lah kira-kira besarnya emisi GRK yang dihasilkan oleh negara China.
"Dengan jumlah emisi GRK yang sangat besar, adalah wajar jika Presiden China membuat komitmen untuk mencapai net-zero emisi sebelum tahun 2060. Hal ini disampaikan dalam sidang tahunan PBB di bulan September 2021. Niat baik ini dibarengi dengan komitmen yang tidak kalah pentingnya untuk tidak lagi mendukung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di luar China dan mendorong pengembangan energi hijau dan rendah karbon," kata Arcandra seperti dikutip kumparan dari akun Instagram resminya, Selasa (14/12).
ADVERTISEMENT
Mampukah China mewujudkan komitmen ini secara konsisten ditinjau dari sisi tantangan industri dalam negeri China yang membutuhkan energi murah? Salah satu cara untuk melihat komitmen ini adalah dengan mengamati penambahan kapasitas pembangunan PLTU di China.
Menurut data dari Global Energy Monitor, tahun 2020 kapasitas PLTU China bertambah sebanyak 38 GigaWatt (GW) sementara diluar China hanya bertambah sekitar 12 GW. Artinya China membangun tiga kali lipat PLTU lebih banyak daripada yang dibangun oleh negara-negara diluar China. "Ini terjadi pada saat ekonomi dunia mengalami kontraksi (perlambatan) yang sangat dalam," ungkap Arcandra.
Ilustrasi PLTU. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Untuk lima tahun ke depan (2021-2025), akan ada penambahan kapasitas PLTU sebesar 200 GW di China dengan nilai investasi sekitar USD 200 miliar. "Perlu dicatat, ada sekitar 2000 GW PLTU yang beroperasi di seluruh dunia. Dari jumlah ini, ada sekitar 1100 GW yang beroperasi di China dan 42 GW di Jerman," Arcandra menjelaskan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan komitmen China dengan pengembangan energi terbarukan? Sampai akhir 2019, total kapasitas energi terbarukan yang sudah terbangun di China sekitar 790 GW yang berasal dari PLTA, PLTB dan PLTS. Angka ini akan terus tumbuh sesuai dengan komitmen China akan energi hijau.
"Dengan data-data yang disampaikan di atas ada beberapa hal yang mungkin bisa pelajari. Pertama, kebutuhan China akan sumber energi murah belum bisa digantikan oleh energi terbarukan ataupun dengan energi berkarbon rendah. Inilah salah cara agar produk yang berasal dari China bisa lebih kompetitif dibandingkan dengan negara lain," papar Arcandra.
Kedua, China akan berusaha memanfaatkan kekayaan alamnya semaksimal mungkin sebelum beralih ke energi terbarukan. "Seperti yang kita tahu, China punya cadangan batubara keempat terbesar di dunia atau sekitar 13% dari total cadangan dunia. Dengan jumlah cadangan batubara yang besar ini, China punya lebih dari 50 persen PLTU di dunia," kata Arcandra.
ADVERTISEMENT
Emisi Karbon Perkotaan Foto: Aly Song
Ketiga, dengan komitmen net-zero emission di tahun 2060 sepertinya China merasa tidak memberikan sinyal yang negatif dengan tetap membangun PLTU dalam masa transisi ini. "Dengan kata lain, walaupun PLTU menghasilkan CO2 yang besar, ada banyak cara yang mungkin bisa dilakukan China untuk menetralkannya. Inilah harapan masyarakat dunia kepada China untuk bisa berbagi dan memberi contoh agar peningkatan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat di akhir abad ini," Arcandra menuturkan.
"Kadang-kadang harapan dan kenyataan menjadi dua hal yang tidak sejalan. Harapannya, negara-negara dengan penghasil emisi GRK terbesar punya komitmen lebih tinggi untuk menguranginya. Kenyataannya, mereka justru membutuhkan lebih banyak energi murah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi negaranya," Arcandra menjelaskan.
"Tidak lah mudah membuat komitmen dan menjalankan secara konsisten. Strategi yang tepat, cermat dan teliti dibutuhkan dalam masa transisi menuju energi hijau. Semoga kita punya kesadaran yang sama. Aamiin," tutupnya.
ADVERTISEMENT