Arcandra Ungkap Ironi Eropa Kembali ke Energi Fosil dan Meroketnya Harga Minyak

14 Maret 2022 10:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Arcandra Tahar. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Arcandra Tahar. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Harga minyak dunia (Brent) mencapai angka USD 95 per barel pada Februari 2022. Ini merupakan harga tertinggi sejak Oktober 2014. Perkiraan banyak orang bahwa harga minyak dunia tidak akan pernah lagi mencapai USD 90 barel buyar sudah. Pandemi COVID-19 juga tidak terbukti menurunkan kebutuhan dunia akan minyak bumi. Bahkan tahun 2022 ini permintaan minyak diperkirakan lebih tinggi dari sebelum pandemi.
ADVERTISEMENT
"Kenapa harga minyak bisa setinggi ini? Seperti biasa tidak ada yang mampu menjawabnya secara pasti. Namun dengan mengenali beberapa faktor yang berkorelasi dengan naiknya harga minyak, mungkin kita bisa memahami dan mempelajarinya," kata Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar seperti dikutip dari akun Instagram resminya, Senin (14/3).
Apa saja faktor-faktor tersebut?
Pertama, hukum permintaan and penawaran. Sejak tahun 2021 di mana penanganan pandemi mulai membaik, kebutuhan akan energi juga tumbuh seiring dengan aktivitas manusia yang meningkat. Ini ditandai dengan dimulainya lagi proyek-proyek infrastruktur dan makin meningkatnya perpindahan barang antar negara. Dengan permintaan meningkat lebih tinggi dari kemampuan pasokan, maka harga minyak akan naik.
Ilustrasi Pengeboran Migas Pertamina. Foto: Dok. Istimewa
Kedua, kekhawatiran akan supply minyak yang terganggu akibat gejolak politik dalam negeri di Kazakhstan dan krisis politik antara Rusia dan Ukraina. "Seperti yang kita tahu, Kazakhstan dan Rusia adalah negara produser minyak dunia yang cukup signifikan. Dengan produksi sekitar 11 juta bbl/day, Rusia adalah negara dengan produksi terbesar ketiga setelah Arab Saudi dan Amerika Serikat (AS)," ungkap Arcandra.
ADVERTISEMENT
Ketiga, inflasi yang cukup tinggi terjadi di negara-negara maju terutama di Amerika Serikat. Pada bulan November 2021, inflasi (year-on-year) di AS mencapai 6,8 persen yang merupakan inflasi tertinggi sejak tahun 1982. Penyumbang terbesar dari angka inflasi ini adalah naiknya harga komoditas energi terutama batubara dan LNG. Dengan inflasi yang tinggi di AS, USD akan melemah, sehingga harga minyak dalam USD menjadi naik.
"Pertanyaan menariknya, apakah inflasi tinggi yang mengakibatkan harga minyak naik atau harga minyak yang tinggi mengakibatkan inflasi menjadi naik?" kata Arcandra.
Keempat, berkurangnya investasi di energi fosil terutama migas. Dengan strategi diversifikasi usaha dari energi fosil ke energi terbarukan, perusahan migas Eropa seperti BP, Shell dan Total mulai meninggalkan bisnis migas. Akibatnya produksi dari lapangan-lapangan tua semakin tidak optimal dan terus menurun.
ADVERTISEMENT
"Investasi yang bertujuan menaikkan produksi seperti IOR dan EOR banyak yang dibatalkan. Kondisi ini diperparah dengan berkurangnya kegiatan eksplorasi yang bertujuan untuk mencari cadangan baru. Komplit sudah penderitaan industry migas kalau menggunakan strategi diversifikasi usaha," Arcandra menjelaskan.
Pekerja melakukan perawatan panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
Kelima, beralihnya pengguna gas ke minyak. Sepertinya telah terjadi kebingungan dalam menerapkan strategi menuju net zero emisi. Energi terbarukan yang diharapkan mampu mengurangi ketergantungan manusia akan energi fosil masih mencari jalan terbaik karena harga yang tinggi dan pasokan yang tidak stabil.
Persoalannya, di saat energi terbarukan dibutuhkan pada musim dingin di Eropa justru pasokannya berkurang. Energi dari batu bara terpaksa dihidupkan kembali dan penggunaan gas bumi menjadi naik signifikan. Akibatnya harga batu bara dan gas bumi menjadi sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Mampukah rakyat Eropa untuk membeli harga energi yang tinggi dari batubara dan gas bumi? Kalau lah mampu misalnya lewat program subsidi dari pemerintah, seberapa lama kemampuan keuangan negara menopang program subsidi ini? Di tengah masa pandemi yang membutuhkan banyak dana untuk program pemulihan kesehatan masyarakat dan ekonomi, sangat sukar bagi program subsidi bertahan lama.
"Kalau begitu apa skenario yang mungkin terjadi? Banyak negara mulai berpikir untuk berpaling menggunakan kombinasi dari batu bara, gas dan minyak dalam rangka mencari solusi termurah. Dengan harga LNG spot yang tinggi maka pelaku usaha kembali menggunakan minyak karena bisa lebih hemat (gas-to-oil switching). Atau PLTU Kembali mendapat tempat untuk dioperasikan," tutur Arcandra.
"Sebuah ironi di tengah maraknya usaha untuk meninggalkan energi fosil, justru skenario yang ada memaksa banyak negara untuk beralih ke energi fosil. Keterjangkauan biaya (affordability) menjadi salah kunci menuju net zero emisi," tutupnya.
ADVERTISEMENT
******
Kuis kumparanBISNIS hadir lagi untuk bagi-bagi saldo digital senilai total Rp 1,5 juta. Kali ini ada kuis tebak wajah, caranya gampang! Ikuti petunjuknya di LINK INI. Penyelenggaraan kuis ini waktunya terbatas, ayo segera bergabung!