Asal Usul Lahan Depo LRT Jabodebek di Bekasi yang Menjadi Sengketa

21 Februari 2019 13:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana di Kampung Jati Terbit, Kelurahan Jati Mulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, RT/01 RW/07. Foto: Abdul Latif/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Kampung Jati Terbit, Kelurahan Jati Mulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, RT/01 RW/07. Foto: Abdul Latif/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lahan depo Light Rail Transit (LRT) di Bekasi masih menjadi sengketa antara warga dan pemerintah. Adapun total lahan yang menjadi sengketa seluas 10,5 hektare (ha) yang berlokasi di RT 01 RW 07 Kampung Jati Terbit, Kelurahan Jati Mulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
ADVERTISEMENT
Bagian pertama, yaitu tanah yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dengan luas sekitar 4 hektare yang dihuni oleh 150 kepala keluarga (KK). Sedangkan bagian kedua, yaitu tanah yang tidak memiliki SHM dengan luas sekitar 6 hektare dan dihuni sekitar 300 KK.
Ketua RT/01 Kampung Jati Bersih, Nassanuddin, menyampaikan seluruh tanah tersebut pada awalnya merupakan lahan milik warga. Warga sudah puluhan tahun turun temurun hidup bersama di Kelurahan Jati Mulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
"Tanah tersebut pertama dihuni memang dari orang tua kita dulu dari tahun 40-an udah di sini. Sebetulnya itu (seluruh bagian tanah) gelaran yang sama itu satu gelaran yang sama," katanya kepada kumparan, Kamis (21/2).
Nassanuddin membuktikan bahwa lahan tersebut awalnya merupakan tanah satu kesatuan yaitu dengan SHM yang dimiliki oleh sebagian warga. Hanya saja, semenjak adanya pembangunan Sungai Kalimalang dan proyek rol ruas Jakarta-Cikampek, tanah tersebut terbagi menjadi dua bagian.
Suasana di Kampung Jati Terbit, Kelurahan Jati Mulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, RT/01 RW/07. Foto: Abdul Latif/kumparan
ADVERTISEMENT
"Seri C itu satu, itu letter C (atau) surat absah kepemilikan lahan. Itu masing-masing orang pada punya kepemilikan lahan. Tapi karena ada pembangunan (sungai) Kalimalang akhirnya terpecah tanah warga. Ya terbengkalai yang memang lama," terangnya.
Sementara itu, sebagian warga lain yang tidak memiliki SHM lantaran pada dahulu para orang tua tidak mengurus status kepemilikan tanah setelah pemerintah membangun sungai.
"Ya memang kebodohan orang tua kita dulu, ketika mau dipakai negara (sungai) Kalimalang kan. Enggak mau ngurusin akhirnya terbengkalai," sambungnya.
Sebelumnya, Dirjen Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Arie Yuriwin, mengatakan tanah tersebut adalah milik negara yang telah diduduki dan dimanfaatkan oleh warga sejak lama.
"Sampai sekarang itu tanah di atas tanah itu ada. Tanah milik negara, penggarapan kurang lebih 239 kepala keluarga (KK). Nah itu KK sebagian besar menolak untuk diinventarisasi," timpalnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Pandjaitan menambahkan, hingga saat ini status tanah tersebut masih dalam tahap pembebasan. Ia mengungkapkan, jika memang tanah tersebut milik perusahaan atau pemerintah, harusnya disertifikasi dari dulu agar tidak menimbulkan sengketa.
"Jadi ada beberapa tanah yang belum beres terutama Adhi Karya yang ternyata diisi orang. Karena dari hak dia, ada di tanah pemerintah. Konyol juga kenapa enggak disertifikasi, nanti kita selesaikan," ucapnya.
Suasana di Kampung Jati Terbit, Kelurahan Jati Mulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, RT/01 RW/07. Foto: Abdul Latif/kumparan
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Operasi PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) Pundjung Setya Brata menegaskan, dalam hal ini Kementerian ATR/BPN yang akan mengatur seluruh urusan lahan. Pihaknya hanya sebagai kontraktor pembangunan depo.
“Kita sebagai pendengar aja melaporkan progres dan sebagainya,” tegasnya.
ADVERTISEMENT