Asosiasi Fintech Minta DPR Bikin UU yang Bisa Mempidana Pinjol Ilegal

15 Januari 2021 17:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi fintech. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi fintech. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) meminta DPR membuatkan undang-undang (UU) yang bisa mempidana Fintech ilegal. Selama ini keberadaan pinjaman online atau pinjol ilegal bebas beroperasi dan dirasakan mengganggu anggota AFPI yang sudah mengantongi izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
ADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal AFPI, Sunu Widyatmoko, menyampaikan permintaan itu dalam rapat dengan Komisi XI DPR. Payung hukum berupa undang-undang, menurutnya bisa dibuat tersendiri sebagai UU Fintech atau disisipkan ke dalam Omnibus Law.
"Kami ingin ada peraturan yang tegas menyatakan, bahwa hanya Fintech berizin yang boleh beroperasi. Anggota kami yang masih berstatus terdaftar, agar segera mengurus proses perizinan OJK. Hal ini agar tidak ada celah bagi pihak pinjol illegal bermain, jika tetap beroperasi, pinjol ilegal ini melakukan tindak pidana,” kata Sunu melalui keterangan tertulis, diterima kumparan, Jumat (15/1).
Hingga saat ini, lanjut Sunu, AFPI mengidentifikasi bahwa pinjol atau fintech ilegal dengan berbagai karakteristiknya ini merugikan industri dan masyarakat. “Pinjol ilegal ini tidak terdaftar dan tidak diawasi OJK dengan bunga atau biaya pinjaman yang tak terbatas,” lanjutnya.
Peresmian AFPI ditandai Peluncuran Jendela di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (8/3). Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
Sunu menjelaskan AFPI terus berkoordinasi dengan berbagai pihak termasuk Google untuk menutup akses pinjol ilegal, namun Google butuh dasar hukumnya.
ADVERTISEMENT
“Itulah sebabnya kita butuh regulasi berbentuk UU untuk mengatur industri fintech. Saat ini yang menjadi tantangan bersama industri adalah mengedukasi dan sosialisasi ke masyarakat untuk berhati-hati akan keberadaan pinjaman online atau fintech illegal,” ujar Sunu.
Sementara itu Juru Bicara AFPI, Andi Taufan, mengungkapkan di masa pandemi ini Fintech pendanaan telah ikut berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pembiayaan yang disalurkan. Sepanjang 2020, ujar Taufan, Fintech pendanaan menyalurkan pinjaman hingga Rp 73 triliun, naik 25 persen dibandingkan 2019.
“Fintech pendanaan akan terus mendukung perekonomian nasional dengan mengisi credit gap dari total kebutuhan kredit nasional," ujarnya.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Mengutip data Bank Dunia, dia menjelaskan kebutuhan pendanaan di Indonesia mencapai 1.649 triliun per tahun. Sementara yang bisa dipenuhi oleh industri keuangan tradisional, hanya Rp 660 triliun. Sehingga masih ada kekurangan sekitar Rp 988 triliun per tahun. Dari kekurangan sebesar itu, Fintech pendanaan pada 2020 baru mengisi 7 persen credit gap tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif AFPI, Kuseryansyah, mengatakan AFPI mendorong anggotanya untuk mengelola tingkat kredit bermasalah (Non-performing Loan/NPL) atau tingkat wanprestasi pengembalian (TWP). Dia mengakui sempat ada kenaikan TWP sebagai dampak pandemi, namun kondisi pada kuartal IV 2020 mulai membaik.
Hingga Desember 2020, terdapat 149 perusahaan Fintech yang terdaftar di OJK, 37 perusahaan yang telah memiliki izin usaha. Keseluruhan anggota AFPI ini terbagi dalam tiga sektor pembiayaan, yakni produktif, multiguna (konsumtif) dan syariah.