Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Aspek Administrasi dan Hukum Masih Jadi Momok Program Peremajaan Sawit Rakyat
28 April 2025 17:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi hal tersebut, IPOSS menginisiasi forum strategi guna menyalakan kembali harapan, bahwa PSR bukan sekadar program, melainkan pijakan masa depan industri sawit Indonesia.
Topik optimalisasi Program PSR menjadi fokus utama dalam focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan IPOSS pada 22 April 2025 di Hotel Le Meridien, Jakarta.
FGD bertajuk “Perumusan Kebijakan Peningkatan Program PSR dalam Konteks Percepatan, Kebermanfaatan, Kebersinambungan, dan Keberlanjutan” itu mempertemukan beragam pemangku kepentingan dari kementerian/lembaga terkait, asosiasi petani, akademisi, hingga para pelaku industri kelapa sawit.
Sebagai salah satu instrumen kebijakan strategis, Program PSR memegang peran penting dalam memperkuat ketahanan industri sawit nasional, terutama dari sisi keberlanjutan produksi dan kesejahteraan petani. Namun, dalam implementasinya, PSR masih dihadapkan pada sejumlah tantangan mendasar, mulai dari aspek regulasi, kelembagaan, hingga teknis administrasi.
ADVERTISEMENT
Dalam sesi pembuka, Ketua Dewan Pengawas IPOSS, Dr. Darmin Nasution, menyampaikan catatan kritis mengenai perlunya inovasi kebijakan yang dapat mengakselerasi PSR.
Dia menyoroti bahwa pemerintah Malaysia dalam batasan tertentu menerapkan kebijakan-kebijakan lebih brilliant dalam mendorong program serupa, sementara di Indonesia, persoalan seperti kualitas dan sertifikasi benih saja masih menjadi penghambat utama.
“Program PSR ini adalah hal strategis yang harus didorong bersamaan dengan kebijakan lain, seperti B-40. Namun kita juga harus sadar, permasalahan seperti bibit palsu dan sertifikasi yang tidak jelas adalah masalah pelik yang perlu diselesaikan secara sistemik,” tegas Dr. Darmin.
Dalam sesi pemaparan, Bisuk Abraham Sisungkunon, Peneliti Bina Swadaya Konsultan (BSK), menyampaikan hasil kajian empiris yang menunjukkan bahwa PSR terbukti meningkatkan produktivitas serta kesejahteraan petani. Lebih dari itu, PSR diproyeksikan mampu mempertahankan siklus tanaman sawit hingga tahun 2060 serta berperan sebagai kebijakan mitigasi konversi lahan hutan.
ADVERTISEMENT
Namun, hasil penelitian lapangan IPOSS dan BSK yang dipaparkan Bisuk juga mendapati kendala implementasi yang masih signifikan, terutama dalam aspek administrasi.
"Ketidaksesuaian format antarinstansi, keterbatasan kapasitas kelompok tani, hingga proses verifikasi dokumen yang belum optimal menjadi penghambat utama. Bahkan, proses pengajuan PSR masih dianggap terlalu lama," katanya.
Sementara itu, Dida Gardera, Deputi Menko II Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis oleh Kemenko Perekonomian, menekankan pentingnya pendekatan jemput bola oleh pemerintah untuk mempercepat penyelesaian isu teknis, khususnya bagi pekebun swadaya.
"Pemerintah akan memperkuat sinergi antarkementerian dan mendorong dukungan selama masa replanting, misalnya melalui program tumpang sari seperti padi gogo dan jagung," ujarnya.
Senada, Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), Normansyah Hidayat Syahruddin, menegaskan bahwa peningkatan dana PSR menjadi Rp 60 juta, dalam enam bulan terakhir terbukti telah meningkatkan minat para petani sawit.
ADVERTISEMENT
Pihak BPDP terus mendorong akselerasi PSR dengan mengintensifkan sosialisasi-sosialisasi kepada para petani. Ia juga menambahkan bahwa penyaluran dana kini tengah diupayakan dapat dilakukan secara bulanan dan telah terkoordinasi dengan Ditjenbun.
Di sisi lain, sejumlah pakar serta perwakilan asosiasi dan organisasi masyarakat menyoroti kompleksitas legalitas lahan serta kendala pada proses perizinan dan pengajuan.
Seperti Dr. Sadino, pakar hukum lingkungan Universitas Al Azhar Indonesia menyoroti kerap terjadinya perbedaan persepsi aparat hukum. Selain itu ia menekankan pentingnya penyelesaian aspek legalitas melalui pendekatan kebijakan yang lebih inklusif. “PSR ini hal mudah, tapi dipersulit,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan Dr. Tri Chandra, Sekjen Lembaga Pengembangan Pertanian (LPP) PBNU yang mempertanyakan konsistensi data capaian PSR yang dipublikasikan oleh pemerintah. Ahli sejarah perkebunan itu juga mengingatkan berbagai pihak bahwa koordinasi antarentitas dalam ekosistem sawit masih sangat lemah. “Entitas dalam sawit masih berjalan sendiri-sendiri,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Diskusi diakhiri dengan argumen Anggota Dewas IPOSS, Duta Besar Yuri O. Thamrin, yang mengajak para pihak untuk memperkuat sinergi kelembagaan, meningkatkan transparansi, dan mendorong pendekatan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan pekebun di lapangan.
Menurut Dubes Yuri, keberhasilan Program PSR menjadi kunci untuk memastikan transformasi industri sawit nasional menuju arah yang lebih berkelanjutan.
Dengan semangat kolaborasi, FGD diharapkan mampu mendorong lahirnya rumusan kebijakan PSR yang solutif-implementatif demi masa depan industri kelapa sawit Indonesia yang tangguh, berdaya saing, serta berwawasan lingkungan.