Aturan Baru Jonan Diprotes Pengguna PLTS Atap

27 November 2018 11:50 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga surya (Foto: REUTERS/Tyrone Siu)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga surya (Foto: REUTERS/Tyrone Siu)
ADVERTISEMENT
Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero) baru saja ditandatangani oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan.
ADVERTISEMENT
Namun aturan yang tujuannya untuk mendorong masyarakat menggunakan panel surya atap (solar PV rooftop) ini justru dinilai kontra produktif oleh Perkumpulan Pengguna Surya Atap (PPLSA).
Ketua PPLSA Bambang Sumaryo menyoroti ketentuan soal perhitungan ekspor dan impor listrik dari sistem PLTS atap. Dalam Pasal 6 Permen ini, diatur bahwa listrik dari surya atap yang masuk ke jaringan PLN (ekspor) hanya dihargai sebesar 65 persen dari tarif listrik PLN.
Padahal di aturan PLN yang ada sebelum Permen ini terbit, listrik yang diekspor ke PLN dihargai sama dengan listrik PLN yang diimpor pelanggan.
Panel surya Mercusuar Klirong (Foto: Garin Gustavian Irawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Panel surya Mercusuar Klirong (Foto: Garin Gustavian Irawan/kumparan)
Sebagai gambaran, tadinya listrik dari PLTS atap yang diekspor ke PLN dihargai Rp 1.400 per kWh sesuai tarif listrik PLN. Sekarang berdasarkan aturan baru Jonan hanya dihargai Rp 910 per kWh.
ADVERTISEMENT
Kalau dulu dalam sebulan tagihan listrik pengguna PLTS atap bisa berkurang Rp 140.000 per bulan karena mengekspor 100 kWh ke PLN, kini penghematannya turun jadi Rp 91.000 per bulan.
"Kami kecewa karena kena dampak dari perubahan ketentuan ekspor-impor listrik PLTS atap. Ekspor kita per kWh hanya dihargai 65 persen (dari tarif listrik PLN)," kata Bambang kepada kumparan, Selasa (27/11).
Dampaknya, biaya investasi yang dikeluarkan pengguna surya atap membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk balik modal.
"Jadi tambah lama untuk pengguna rumah tangga. Kalau dulu 8 tahun sudah balik modal, sekarang mungkin jadi 12 tahun," paparnya.
Panel surya di pedalaman Hutan Amazon. (Foto: CARL DE SOUZA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Panel surya di pedalaman Hutan Amazon. (Foto: CARL DE SOUZA / AFP)
Selain itu, Bambang menambahkan, kini pemasangan PLTS atap jadi lebih birokratis karena harus meminta izin kepada PLN terlebih dahulu. Vendor yang menyediakan jasa pemasangan solar PV rooftop pun syaratnya lebih ketat, harus berbentuk Badan Usaha. Hal-hal ini diatur dalam Pasal 7 sampai 11 di Permen ESDM No. 49/2018.
ADVERTISEMENT
"Vendor skala kecil sudah enggak boleh melakukan pemasangan lagi. Padahal kalau hanya pasang 1-2 panel surya di atap itu kan simpel saja, sekarang jadi ribet," ujarnya.
Karena itu, Bambang meminta aturan ini ditinjau kembali supaya benar-benar dapat menarik minat masyarakat memasang PLTS atap. "Kalau seperti ini, tujuan akselerasi (PLTS atap) itu enggak tercapai," tutupnya.