Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Bahlil akan Tata Ulang Impor BBM Usai Kasus Pertamina di Kejagung
26 Februari 2025 14:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia buka suara soal kasus dugaan perubahan standar BBM dari Research Octane Number (RON) 90 menjadi RON 92 yang dilakukan subholding PT Pertamina (Persero), broker, dan swasta. Menurutnya, perlu ada penataan ulang dalam sektor ini memang diperlukan.
ADVERTISEMENT
"Menyangkut dengan RON 90, RON 92, memang kita, saya kan jujur katakan dari awal, bahwa begitu saya masuk ke Kementerian ESDM, saya melihat ini, maka penting perlu adanya perbaikan penataan,” katanya di Kementerian ESDM, Rabu (26/2).
Sebagai langkah konkret, Kementerian ESDM telah mengubah kebijakan impor BBM agar lebih fleksibel dalam evaluasi kualitas dan kebutuhan energi nasional. Mulanya, izin impor BBM dilakukan per tahun, namun sekarang per enam bulan. Dengan evaluasi per tiga bulan.
Selain itu, kebijakan ekspor minyak mentah yang sebelumnya diperbolehkan kini telah dihentikan di bawah kepemimpinannya. “Sekarang, dari seluruh produksi minyak yang tadinya itu diekspor, di zaman kami sekarang, sudah nggak kita izinin ekspor,” tegasnya.
Sebagai solusi terhadap keterbatasan kilang dalam negeri dalam mengolah minyak mentah berkualitas rendah, pemerintah mengupayakan metode pencampuran atau blending.
ADVERTISEMENT
“Nanti yang bagus, kita suruh blending. Nanti yang tadinya itu enggak bisa diolah di dalam negeri, sekarang kita minta harus diolah di dalam negeri. Dengan cara bagaimana? Mem-blending antara kualitas minyak bagus dengan minyak yang setengah bagus. Itu di-blending agar spek di revenue kita itu masuk,” jelasnya.
Dia juga akan menyusun tim untuk memberikan kepastian agar masyarakat membeli minyak berdasarkan spesifikasi dan harganya.
Awal Mula Kasus
Sebelumnya, Kejagung menetapkan 7 orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang pada PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), pada 2018-2023.
Ketujuh tersangka itu terdiri dari 4 orang petinggi anak perusahaan BUMN tersebut, yakni RS, SDS dan YF dan AP. Sedangkan tiga tersangka lainnya yakni; MKARselaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
ADVERTISEMENT
Direktur Penyidikan Jampidsus (Dirdik) Kejagung, Abdul Qohar, menerangkan perkara ini bermula ketika pada periode 2018-2023 pemerintah mencanangkan agar pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari dalam negeri.
Saat itu, perusahaan BUMN tersebut kemudian diwajibkan untuk mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor. Hal itu telah diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018.
Namun ternyata, tersangka RS, SDS, dan AP, diduga melakukan pengkondisian dalam rapat organisasi hilir (ROH). Hasil rapat dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga hasil produksi minyak bumi dalam negeri tidak sepenuhnya terserap.
Pada saat yang sama, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS juga dengan sengaja ditolak. Alasannya, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harganya masih sesuai harga perkiraan sendiri (HPS).
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, produksi minyak mentah dari KKKS juga dinilai tidak sesuai spesifikasi. Faktanya, minyak yang diproduksi masih dapat diolah sesuai dengan spesifikasi.
Dua anak perusahaan BUMN itu lalu melakukan impor minyak mentah dan produk kilang. Di mana, perbedaan harga pembelian minyak bumi impor sangat signifikan dibandingkan dari dalam negeri.
Salah satunya dilakukan oleh tersangka RS dalam pembelian produk kilang. RS diduga melakukan pembelian untuk RON 92, namun nyatanya yang dibeli adalah RON 90 yang diolah kembali.