Bahlil Jawab Faisal Basri yang Sebut Hilirisasi Nikel Sesat dan Untungkan China

14 Februari 2024 20:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Investasi Indonesia/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia menjadi narasumber program Info A1 kumparan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Investasi Indonesia/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia menjadi narasumber program Info A1 kumparan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, menanggapi pernyataan Ekonom Senior INDEF Faisal Basri yang menyebut hilirisasi nikel kebijakan sesat.
ADVERTISEMENT
Salah satu poin kritik yang disampaikan Faisal Basri adalah mayoritas pengusaha smelter berasal dari China. Sehingga keuntungan dan nilai tambah yang didapat dari konsep hilirisasi tersebut masuk ke kantong China.
Bahlil mempertanyakan kenapa kritik itu datang ketika Indonesia sudah mulai mendapat investor hilirisasi nikel. Padahal sebelumnya, ekspor nikel mentah tidak dilarang dan Indonesia rajin mengekspor bahan mentah ke luar negeri.
"Halah, ini yang sesat ini terlalu banyak Abang-abang gua. Emang begini ya, aku mau tanya kalian, logikanya begini. Emang dulu, waktu dulu ambil bahan baku kita, kita kirim, kenapa itu enggak dibilang sesat. Tapi ketika ada investor yang masuk itu dianggap sesat. Jadi maksudnya apa?" kata Bahlil saat ditemui usai mencoblos di TPS 4 Duren Tiga, Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan hari ini, Rabu (14/2).
ADVERTISEMENT
Bahlil mencoba menafsirkan makna sesat yang dimaksud Faisal Basri, yakni merujuk pada banyaknya smelter-smelter nikel buah investasi dari China. Menjawab hal itu, Bahlil mengatakan kalau tidak mau seperti itu harusnya perbankan nasional berani membiayai pembangunan smelter dalam negeri.
"Yang dimaksud oleh Bang Faisal itu adalah kenapa pabriknya investasinya lebih banyak orang China. Kasih tau ke perbankan nasional kita agar segera biayai pengusaha nasional yang melakukan pembangunan smelter," ujar Bahlil.
Bahlil menjelaskan, 80 persen Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Indonesia adalah milik Indonesia. Akan tetapi pihak yang banyak berinvestasi untuk smelter nikel adalah dari luar negeri, investor asal China.
"Kenapa investor China paling banyak? Karena dia yang menyiapkan pembiayaannya. Kalau mau begitu Indonesia bisa, tapi pakai perbankan karena itu bukan intervensi dana APBN," tutur Bahlil.
ADVERTISEMENT
Faisal Basri. Foto: Antara
Sebelumnya, Faisal Basri mengatakan konsep hilirisasi di Indonesia sesat. Faisal menyebutkan, hilirisasi yang digencarkan hanya gimmick dan tidak membahas kebijakan industrialisasi. Konsep yang sesat tersebut termasuk larangan ekspor bijih nikel.
"Hilirisasi itu adalah konsep yang sesat, ndak ada yang bilang sesat itu, ndak ada. Sungguh konsep yang sesat itu," tegas Bahlil saat Diskusi Publik Tanggapan INDEF terhadap Debat Pemilu Kelima, Senin (5/2).
Dia menilai, larangan ekspor nikel membuat pasokan nikel dunia menyusut dan menyebabkan harganya melesat. Hal ini membuat wajar perusahaan kendaraan listrik mencari alternatif nikel untuk bahan baku baterai.
Selain Lithium Ferro Phosphate (LFP) yang digencarkan di China dan sudah dipakai oleh Tesla, Faisal mengungkapkan ada alternatif bahan baku lain yaitu sodium fosfat.
ADVERTISEMENT
Faisal melanjutkan, karena mayoritas pengusaha smelter berasal dari China, maka keuntungan dan nilai tambah yang diraih konsep hilirisasi tersebut masuk ke kantong China.
"Pengusaha 100 persen Tiongkok, ya labanya 100 persen Tiongkok orang perusahaan punya dia. Teknologinya 100 persen Tiongkok, patent fee-nya 100 persen Tiongkok. Modalnya dari Bank China 100 persen, bunganya lari ke China," terang dia.
Masalah tenaga kerja juga tak luput dari kritik Fasial Basri. Dia menilai ndustri smelter yang padat modal tersebut terlalu timpang dalam memberikan upah kepada pekerja lokal dan asing, tak tanggung-tanggung bedanya bisa puluhan juta.
"Pekerja Indonesia gajinya rata-rata Rp 7 juta, pekerja China Rp 12-54 juta. Anda hitung 95 persen, nilai tambah itu lari ke China. Indonesia cuma 5 persen tobat, dek, tobat," tutur Faisal.
ADVERTISEMENT