Bank Indonesia: Kejatuhan Perbankan di AS Bisa Jadi Pembelajaran untuk RI

10 Mei 2023 18:00 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Silicon Valley Bank (SVB). Foto: Sundry Photography/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Silicon Valley Bank (SVB). Foto: Sundry Photography/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia (BI) mengungkapkan alasan jatuhnya sejumlah bank di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, seperti Silicon Valley Bank (SVB) dan Credit Suisse. BI melihat kegagalan ini dapat menjadi pembelajaran bagi implementasi kebijakan moneter di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Deputi Gubernur BI, Juda Agung, mengatakan siklus pengetatan moneter yang agresif dan berlangsung lama menimbulkan komplikasi pada stabilitas sistem keuangan.
"Penyebabnya sebenarnya bukanlah hal yang baru, classic bank run. Yaitu terjadinya risk mis-management dalam pengelolaan sisi asset dan liabilities, di tengah kenaikan suku bunga global," ujar Juda pada peluncuran Kajian Stabilitas Sistem Keuangan (KSK) No.40, Rabu (10/5).
Akhirnya, masalah sistemik SVB diikuti oleh Sovereign Bank dan First Republic Bank. Alhasil, kerentanan ini memicu dilema besar bagi the Fed yang kini memutuskan berbalik arah menjadi dovish. The Fed diyakini akan menurunkan tone kebijakannya ke depan. Artinya, kenaikan suku bunga the Fed akan segera berakhir.
Ilustrasi kantor Credit Suisse. Foto: AFP/Fabrice Coffrini
Juda melihat kegagalan perbankan AS bisa jadi pembelajaran bagi Indonesia. Pertama, ia menekankan pentingnya bauran kebijakan dalam pengelolaan makroekonomi, terutama ketika otoritas dihadapkan pada dilema kebijakan. Ketergantungan pada satu kebijakan saja, seperti kenaikan suku bunga, mengharuskan kenaikan suku bunga menjadi eksesif.
ADVERTISEMENT
"Kedua, jangan pernah meng-underestimate risiko dari bank non-sistemik. Bank sekecil apa pun harus tetap memiliki buffer yang kuat baik dari sisi likuiditas maupun permodalan," ungkapnya.
Deputi Gubernur BI itu mengatakan pada era media sosial seperti sekarang ini, kejatuhan bank non-sistemik juga dapat dengan cepat menimbulkan risiko sistemik pada sistem keuangan. Ia melihat sosial media bisa menjadi katalis terjadinya bank run, atau penarikan dana besar-besaran oleh nasabah.
"Ketiga, munculnya model bisnis baru, terutama di tengah digitalisasi ekonomi dan keuangan harus tetap disikapi dengan hati-hati dalam mengelola risiko yang mungkin belum pernah kita kenal, termasuk risiko siber," ujarnya.