Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Bank Indonesia Kurangi SRBI, Beri Ruang pada Likuiditas Bank
7 Mei 2025 16:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia (BI) mulai menurunkan outstanding Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) secara bertahap dan memfokuskan pada instrumen likuiditas perbankan yang berdampak lebih permanen.
ADVERTISEMENT
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, mengatakan alasan kebijakan tersebut yaitu untuk mendorong ekspansi likuiditas secara konsisten dan terukur.
"Untuk SRBI secara bertahap Bank Indonesia melakukan penurunan outstanding, dan itu sudah mulai kita kerjakan. Karena SRBI ini jumlah likuiditasnya banyak, Rp 923 triliun di akhir 2024, makanya penurunannya kita lakukan secara gradual," jelasnya saat Taklimat Media BI, Rabu (7/5).
BI mencatat outstanding SRBI pada akhir 2024 mencapai Rp 923 triliun, sementara posisi terakhir pada 21 April 2025 berada di Rp 881,86 triliun, artinya sudah ada penurunan Rp 41,14 triliun atau sekitar 4,5 persen.
"Kalau kita bandingkan antara akhir 2024 sama sekarang, berarti kita sudah melepas likuiditas dari operasi SRBI itu Rp 40 triliun. Kita sudah release," ungkap Erwin.
ADVERTISEMENT
SRBI merupakan instrumen yang digunakan BI untuk menarik arus modal masuk (capital inflow) ke Indonesia. Dengan peningkatan transaksinya terutama di pasar sekunder, hal ini menunjukkan instrumen ini diminati oleh pelaku pasar sebagai moda baru dalam mengelola likuiditas di pasar sekunder.
"Untuk SRBI dapat kami sampaikan bahwa instrumen ini juga disediakan bagian dari upaya kita untuk menarik capital inflows, karena non-resident cukup lumayan komposisinya di SRBI, sekarang komposisi itu berada di sekitar angka 24 persen," ujar Erwin.
Nantinya, kata Erwin, BI akan memberikan ruang lebih besar kepada instrumen likuditas yang dampaknya lebih permanen kepada perbankan. Sebab menurutnya, SRBI yang merupakan instrumen di pasar uang, dampaknya cenderung sementara.
"Jadi ini menunjukkan bahwa Bank Indonesia mencoba merilis likuiditas yang ada untuk bisa digunakan oleh perbankan menyalurkan kredit," kata Erwin.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, terdapat likuiditas residual atau tersisa yang beredar di pasar uang dan belum disalurkan bank, sehingga BI menyediakan instrumen untuk penempatan yang bersifat sementara.
"Kalau likuiditas itu tidak disediakan tempat temporer untuk penempatan sesuai dengan tenornya, likuiditas itu akan sifatnya excess yang berpotensi untuk digunakan kegiatan-kegiatan yang memang bisa menimbulkan risiko," tutur Erwin.
Menurutnya, intervensi likuiditas di satu sisi bisa menambah pasokan dolar AS kepada pasar uang Indonesia, namun di sisi lain berdampak kontraktif terhadap Rupiah. Untuk itu, operasi tersebut perlu disterilisasi.
Upaya tersebut salah satunya dengan melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN), yang dampaknya kepada likuiditas perbankan lebih permanen.
Erwin mencatat BI sudah memborong SBN sebesar Rp 81 triliun sejak awal 2025, yakni mencakup Rp 23 triliun di pasar primer, dan Rp 58 triliun di pasar sekunder.
"Pembelian SBN itu dampak likuiditasnya permanen. Kita mengambil surat berharga, kita supply Rupiah ke pasar. Di luar itu, operasi BI, SRBI, swap, repo, itu dampak likuiditasnya temporer, karena instrumen-instrumen ini punya jangka waktu," ujar Erwin.
ADVERTISEMENT
Selain itu, BI juga berkomitmen mendorong pertumbuhan ekonomi dengan instrumen likuiditas lain yang langsung terasa kepada masyarakat, seperti Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan Giro Wajib Minimum (GWM).
"KLM itu permanen, KLM atau GWM itu kalau terjadi penurunan rasio itu dampaknya permanen, karena kuncinya dilonggarkan. Likuiditasnya akan mengalir ke industri itu lebih banyak," kata Erwin.