Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
ADVERTISEMENT
Kebutuhan ikan kaleng sarden selama pandemi COVID-19 melonjak, baik untuk pasar dalam negeri maupun luar negeri. Lonjakan permintaan di dalam negeri ditopang penyaluran bantuan sosial (bansos). Ketua Harian Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) Ady Surya mengatakan tren kenaikan permintaan terus meningkat karena penyaluran bansos terus dilakukan.
ADVERTISEMENT
"Permintaan ikan kaleng saat ini sangat tinggi, terutama untuk kebutuhan bansos,” ungkap Ady dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Selasa (8/9).
Ady menceritakan, awal tahun 2020 pihaknya sudah menghitung stok untuk Lebaran tahun ini. Pada April 2020, stok produk ikan kaleng terkonfirmasi mencapai 25-30 juta kaleng.
“Begitu program bansos jalan, itu stok habis semua. Sampai pertengahan Mei sudah selesai. Jadi kita kalang kabut,” ujarnya. Kemudian selama masa pandemi COVID-19 ini, Ady melaporkan bahwa tingkat produksi digenjot agar sebisa mungkin full capacity terutama untuk produksi ikan sarden
“Ada yang minta 3 juta kaleng, 5 juta kaleng, kita juga bingung. Katanya untuk bansos,” ujarnya.
Di sisi lain, industri harus menghadapi tantangan ketika demand naik secara drastis. Dalam masa pandemi ini, pabrik sarden juga harus tetap menerapkan social distancing.
ADVERTISEMENT
Sehingga jumlah karyawan yang terlibat di dalam pabrik hanya 60 persen. Menurut Ady, pihaknya memberlakukan sistem gilir untuk jam kerja. Selain tetap bisa berproduksi maksimal mengikuti permintaan yang naik, sistem ini diklaim juga berhasil membuat industri pengalengan ikan tak harus melakukan PHK.
Tantangan lainnya adalah harga bahan baku yang melonjak. Bahan baku ikan kaleng berupa ikan lemuru (Sardinella balinensis) bersumber terutama dari Selat Bali, Muncar (Jawa Timur), dan Pangambengan (Bali). Selain itu, dari Laut Jawa serta perairan selatan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
“Harga bahan baku ikan lokal awalnya Rp 5.000- Rp 7.000 per kg, sekarang sampai menyentuh Rp 11.000 per kg, kami kalang kabut juga kalau segini. Baik buat nelayan tapi enggak baik buat industri,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu Ady berharap, pemerintah juga memperhatikan industri ikan kaleng terlebih produknya disebut-sebut penting bagi bansos. Salah satu yang diharapkan industri adalah adanya penentuan harga ikan kaleng yang digunakan untuk bansos. Tujuannya agar margin antara produsen dan pedagang bisa adil.
Saat ini menurut Ady, pihaknya khawatir margin di pedagang terlalu besar. Padahal menurutnya, margin yang diperoleh industri hanya tipis meski permintaan naik tinggi.
“Kami dapat order bukan berarti kami untung banyak. Margin itu tipis sekali. Karena harga ikan meningkat, harga kaleng meningkat. Masak beli ikan kaleng mintanya Rp 4.000-5.000 gimana itu. Kami minta untuk bansos, kapan termin waktu dibutuhkan dan sebenarnya berapa plafon harga,” tandasnya.