Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Banyak Kasus Gagal Bayar di Perusahaan Asuransi, Bagaimana Cara Penyelesaiannya?
29 April 2021 15:41 WIB

ADVERTISEMENT
Industri asuransi di Tanah Air saat ini menghadapi banyak tantangan. Salah satunya yakni kasus gagal bayar yang terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Bakrie Life, hingga Bumi Asih Jaya.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana penyelesaiannya?
Pakar Asuransi, Kornelius Simanjuntak, menilai program penyelamatan polis Jiwasraya melalui restrukturisasi bisa menjadi contoh terbaik dalam penyelesaian kasus gagal bayar di industri asuransi.
Sementara kasus gagal bayar lainnya dilakukan dengan cara melikuidasi atau mempailitkan perusahaan, seperti Bakrie Life dan Bumi Asih Jaya.
“Apa yang terjadi dengan mempailitkan perusahaan? pemegang polis tidak mendapatkan apa-apa, luntang lantung. Justru kurator yang makan uangnya. Soal restrukturisasi Jiwasraya yang terbaik,” terang Kornelius dalam webinar IFG Progress, Kamis (29/4).
Kornelius menyampaikan, restrukturisasi Jiwasraya sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 71 tahun 2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Melalui aspek hukum itu, lanjutnya, penyelesaian kasus gagal bayar di industri asuransi ada beberapa hal. Pertama, perusahaan asuransi yang mengalami likuiditas, pemegang saham menyetorkan modal kepada perusahaannya.
ADVERTISEMENT
“Kalau itu sudah dilakukan oleh pemegang saham. Itu artinya mereka tidak bisa di bawa ke ranah hukum. Kehadiran pemerintah di Jiwasraya ada dua fungsi, yakni sebagai pemegang saham dan penyelenggara negara,” jelasnya.
Kedua, likuidasi. Menurut Kornelius, opsi ini sangat memberatkan untuk Jiwasraya dan pemegang polis. Sebab, saat ini aset yang dimiliki oleh Jiwasraya sangat kecil atau hanya Rp 15,7 triliun, dengan pemenuhan kewajiban perusahaan kepada nasabah (liabilitas) yang mencapai Rp 54 triliunan.
“Kalau opsi ini yang dipilih, paling pengembalian dana nasabah hanya 20 persen dari nilai polis yang ada sekarang. Nasabah juga harus menunggu aset dijual, di mana dalam situasi sekarang kapan akan selesai itu pengembalian? Tidak jelas dan tidak ada kepastian,” kata Kornelius.
ADVERTISEMENT
Ketiga, purchase and assessment atau restrukturisasi. Kornelius bilang, hal inilah yang dilakukan jiwasraya dan IFG Life.
Restrukturisasi tersebut juga pernah dilakukan oleh Korea pada perusahaan asuransinya. Di mana, restrukturisasi tersebut bukan sebuah paksaan, melainkan negosiasi antara perusahaan dengan nasabah.
“Hukum memberikan dasar yang kuat pada program restrukturisasi ini karena tidak ada paksaan dan penekanan," katanya.
"Saya juga heran ternyata restrukturisasi ini sudah sedemikian maju. Dan bagaimana jalannya proses ini, sesuai dengan hukum dan sesuai dengan perjanjian pengalihan risiko,”tambahnya.