Banyak Sengketa Merek, Siapa yang Sah Jadi Pengguna?

23 Mei 2022 21:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Webinar kumparan dengan tema 'Siapa Berhak Atas Merek?' diselenggarakan secara virtual, Senin (23/5).
 Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Webinar kumparan dengan tema 'Siapa Berhak Atas Merek?' diselenggarakan secara virtual, Senin (23/5). Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus sengketa atas merek menjadi rentetan isu yang terus terjadi dalam beberapa tahun ini. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, memberikan penjelasan terkait soal bagaimana keabsahan pemilik merek.
ADVERTISEMENT
Koordinator Pemeriksa Merek DJKI Kemenkumham, Agung Indriyanto, menjelaskan bahwa status keabsahan pemegang hak atas merek adalah pemohon yang mengajukan permohonan terlebih dahulu.
"Menurut pasal 21 1A Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang paling berhak adalah pemohon yang mengajukan permohonan lebih dahulu. Dengan pengecualian merek terkenal dan pemohon berdasarkan itikad yang tidak baik," kata Agung dalam webinar kumparan ‘Siapa Berhak atas Merek’, Senin (23/5).
Agung Indriyanto menuturkan secara singkat bahwa merek sendiri harus memiliki 3 unsur yang ditampilkan secara grafis seperti huruf, angka, gambar, serta logo baik dalam 2 dimensi maupun 3 dimensi.
Selain itu, menurut Agung merek juga memerlukan gaya pembeda atau kemampuan untuk membedakan produk lainnya di pasaran.
ADVERTISEMENT
“Dan yang terakhir diperlukannya tanda, ini digunakan untuk kegiatan perdagangan barang dan jasa,” tambahnya dalam webinar kumparan ‘Siapa Berhak atas Merek’, Senin (23/5).
Agung menjelaskan, ada dua prinsip yang mengatur hak cipta merek yakni prinsip speciality atau yang melindungi jenis barang atau jasa. "Misalnya jika merek tersebut adalah otomotif maka itu tidak terlindung pada produk restoran," katanya.
Kedua, adalah prinsip of theority atau merek yang didaftarkan di Indonesia tidak dapat diberikan di negara lain. Artinya, misalnya merek yang terdaftar di Amerika Serikat jika ingin dilindungi di Indonesia harus terdaftar di indonesia.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Regulasi dan Aplikasi Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad), Miranda Risang Ayu Palar, mengatakan batasan dalam acuan merek yang serupa dapat dilihat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2016 mengenai Merek dan Indikasi Geografis bahwa persamaan kemiripan disebabkan oleh unsur dominan antar merek satu dan lainnya.
ADVERTISEMENT
"Kita harus melihat unsur dominan atau kesan persamaan bentuk penempatan dan kombinasi atau sebagainya. Kemudian kita dapat diserap secara indrawi. Jadi ini harus dibandingkan dulu yang terdaftar atau yang belum," ungkap Miranda.
Miranda mengatakan, hal yang paling sulit dalam melihat persamaan adalah persamaan pokok bukan secara keseluruhan. Menurut dia, jika persamaan secara keseluruhan itu seluruhnya terakumulasi sama.
"Persamaan pokok itu yang paling banyak memicu sengketa," tambahnya.
Miranda menyebutkan terdapat Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property (TRIPS), atau perjanjian internasional yang terpopuler di dunia dengan dibidangi organisasi perdagangan dunia.
Webinar kumparan dengan tema 'Siapa Berhak Atas Merek?' diselenggarakan secara virtual, Senin (23/5). Foto: kumparan
Perjanjian tersebut ikut mengatur legalitas merek. Menurut dia, dalam perjanjian tersebut diatur tidak boleh ada kemiripan serta tidak boleh memperdaya konsumen dan menipunya.
ADVERTISEMENT
"Jadi memang dia sudah kesan cenderung konsumen itu memperkuat menipu konsumen itu yang tidak boleh. Ini bahayanya bukan hanya morality, tapi itu akan membajak konsumen. Diambil secara tidak adil oleh si pembajak karena konsumennya sendiri tidak tahu karena itu produk bajakan," jelasnya.
Adapun pengecualian dalam kasus sengketa yang menurut Miranda ini dapat keistimewaan, jika merek tersebut terkenal. Dalam melihat keterkenalan tersebut ada 3 tes yang perlu dilalui, serta tes lain khusus di Indonesia yang lebih ketat lagi.
Tiga elemen ini antara lain elemen Good Will atau reputasi yang melekat perlu diuji. Kedua Misinterpretation atau penggunaan yang kurang atau mengancam merek yang sudah ada. Terakhir adalah Damage yang dilihat berapa jumlah kerugiannya.
ADVERTISEMENT
"Di Indonesia aturan pelaksana ditambah dengan keterkenalan, harus ada konsumen mempersepsi merek itu terkenal atau tidak, dilihat sebagai merek yang sudah terdaftar di negara mana saja, sudah punya investasi di mana saja, dan publikasinya seberapa besar," tambah Miranda.