Banyak Tambang Batu Bara yang Tindih Kawasan Hutan

8 Juni 2017 18:25 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Perbaikan Tata Kelola Batu Bara di Indonesia (Foto: Edy Sofyan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Perbaikan Tata Kelola Batu Bara di Indonesia (Foto: Edy Sofyan/kumparan)
Aktivitas pertambangan di daerah meningkat signifikan sejak berlakunya otonomi daerah, atau desentralisasi. Hal ini membuat setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur perizinan di daerah masing-masing, namun pengawasan menjadi longgar.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan Yayasan Transparansi Sumber Daya Ekstraktif atau Pay What You Pay (PWYP), sejumlah masalah yang timbul karena tidak baiknya due diligence dalam perizinan, di antaranya terjadi tumpang tindih kawasan tambang dengan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi.
Peneliti PWYP Rizky Ananda menyebutkan jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada 2001 tercatat sebanyak 750. Namun dalam 10 tahun sejak dimulainya desentralisasi, jumlahnya melonjak hingga lebih dari 10.000 IUP di 2010.
"Dari 10.000 IUP, 40 persen di antaranya merupakan IUP batu bara dengan total mencapai 16,27 juta hektar," kata Rizky dalam dalam Diskusi Publik Perbaikan Tata Kelola Batu Bara di Indonesia di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Kamis (8/6).
ADVERTISEMENT
Menurut Rizky, perizinan pertambangan booming 2001 sampai 2010 karena tidak sinkronnya masa transisi menuju otonomi daerah.
Upaya pemerintah pusat menghimpun data IUP tambang pasca melonjaknya IUP disesuaikan dengan undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang dilakukan melakukan klasifikasi IUP menjadi Clean and Clear (CnC) dan non Clean and Clear (non-CnC). Namun, langkah ini kurang berjalan dengan baik karena adanya penolakan dari sejumlah daerah karena dianggap payung hukum dalam penentuan CnC dan non CnC belum jelas.
Rizky menambahkan, kawasan hutan juga ikut digunakan untuk kegiatan pertambangan dengan 102.000 hektare konsesi batu bara jenis PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) terdapat di hutan konservasi. Sementara yang berada di hutan lindung mencapai 123,8 ribu hektare.
ADVERTISEMENT
Proses dumping tambang batubara. (Foto: Sigid Kurniawan/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Proses dumping tambang batubara. (Foto: Sigid Kurniawan/Antara)
Untuk konsesi jenis IUP terdapat 194,8 ribu hektare di kawasan hutan konservasi dan 519,8 ribu hektare di kawasan hutan lindung. Sehingga izin batu bara yang masih ada di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi mencapai 940,4 ribu hektare atau 15 persen dari seluruh luasan konsesi minerba.
"Sebaran konsesi batu bara yang berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung di seluruh Indonesia sebagian besar berada di Papua, Kalimantan Timur, Papua Barat, dan Aceh," kata Rizky.
Sejak 2014 sampai April 2017 tercatat 776 izin tambang atau 3,56 juta hektare tambang batu bara dicabut atau diakhiri oleh kepala daerah karena diketahui berstatus non-CnC dan masih dalam tahapan eksplorasi.
IUP batu bara yang tersisa sampai April 2017 mencapai 2.966 di mana 52 persen atau 1.561 IUP diketahui telah habis masa berlakunya pada Desember 2016. Sedangkan sisanya sebanyak 1.405 IUP SK izinnya masih aktif, namun 217 izin masih berstatus IUP non-CnC.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya temuan tersebut, diharapkan dilakukan penertiban IUP batu bara yang masih bermasalah. Pemerintah daerah perlu bertindak tegas untuk mengatasi masalah ini.
"Pemerintah harus bersikap tegas dan konsisten melakukan pencabutan atau pengakhiran baik di tingkat pusat maupun daerah," papar Rizky.
Selain itu, perlunya integrasi data dari Kementerian ESDM sangat penting untuk melakukan sinkronisasi izin yang telah ada hingga mengawasi kegiatan pertambangan. Penerimaan negara secara online pun perlu dikembangkan, seperti database perusahaan, data spasial, data rencana produksi, anggaran, hingga izin ekspor.
"Hal ini agar pemerintah bisa melakukan pengawasan dan meningkatkan kepatuhan pajak bagi para pelaku usaha pertambangan," pungkas Rizky.