Bapanas Akui Harga Beras di RI Tinggi, Ini Biang Keroknya

20 September 2024 14:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ragam beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (4/7/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ragam beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (4/7/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengakui tingginya harga beras di Tanah Air. Hal ini sebelumnya diutarakan oleh World Bank Country Director for Indonesia and Timor-Leste, Carolyn Turk. Menurut dia harga beras di RI lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
ADVERTISEMENT
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas, Rachmi Widiarini, menuturkan penyebab tingginya harga beras di Indonesia adalah biaya produksi yang tinggi. Sehingga harga yang tinggi ini memungkinkan petani untuk mendapatkan margin.
“Kalau kita perhatikan memang betul harga beras di dalam negeri saat ini tinggi, tapi memang biaya produksinya juga sudah tinggi. Dan saat ini sebetulnya saat-saat yang membahagiakan petani, karena harga gabah mereka dibeli di atas HPP (harga penjualan/Pembelian),” tutur Rachmi usai acara Indonesia International Rice Conference (IIRC) di Nusa Dua, Bali, Kamis (19/9).
Menurut dia, petani seharusnya saat ini tengah berbahagia, sebab Nilai Tukar Petani (NTP) sedang tinggi. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) NTP Juli 2024 sebesar 119,61 atau naik 0,70 Persen. Selain itu, harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani naik 5,28 Persen.
ADVERTISEMENT
“Jadi kita juga lihat NTP petani, khususnya tanaman pangan, saat ini juga bagus. Mungkin dalam 10 tahun terakhir, saat ini NTP petani untuk tanaman pangan tinggi,” tambahnya.
Meski demikian, Rachmi memandang pemerintah masih perlu melakukan sederet perbaikan atau efisiensi dalam hal ini. Sebab, seharusnya pemerintah dapat menciptakan harga yang seimbang antara petani dan konsumen.
Salah satu efisiensi yang harus dilakukan adakah perbaikan benih. Menurut dia, selain meningkatkan kualitas padi yang dihasilkan, perbaikan benih juga dapat menambah pendapatan petani.
“Kalau benihnya bagus, nanti produktivitasnya meningkat, maka produksi satuan lahan itu juga meningkat, petani akan mendapatkan gen atau hasil dari penjualannya lebih bagus,” jelas Rachmi.
Lalu perbaikan lainnya adalah cara pemupukan. Hal ini menyangkut inovasi dan teknologi.
ADVERTISEMENT
“Kemarin kebetulan kami mendampingi Pak Kepala Badan (Bapanas) untuk panen benih di Sang Hyang Seri. Di sana dicobakan untuk pemupukan menggunakan drone, ternyata lebih hemat 30 persen daripada manual,” tutur Rachmi.
Selain itu, sebaran pupuk juga lebih merata. Sehingga sebaran tanaman yang tumbuh juga lebih merata daripada metode pemupukan manual.
Di sisi lain, pemupukan menggunakan drone juga dapat membantu mengefisienkan biaya produksi. “Jadi dengan efisiensi, produktivitas naik, petani akan mendapatkan dua keuntungan, harga bagus, kemudian penghasilan yang bagus, produksinya tinggi,” terang Rachmi.
Sebelumnya, World Bank Country Director for Indonesia and Timor-Leste, Carolyn Turk menuturkan pihaknya memperkirakan masyarakat Indonesia membeli beras dengan harga 20 persen lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras di pasar global.
ADVERTISEMENT
“Harga eceran beras internasional di Indonesia secara konsisten lebih tinggi dibandingkan negara-negara besar ASEAN. Kami memperkirakan konsumen Indonesia membayar hingga 20 persen lebih banyak untuk makanan mereka dibandingkan di pasar bebas,” tutur Carolyn dalam sambutannya di acara Indonesia International Rice Conference (IIRC) di Nusa Dua, Bali, Kamis (19/9).
Carolyn memandang hal ini disebabkan oleh beberapa kebijakan yang diteken oleh pemerintah, salah satunya terkait dengan pembatasan impor non-tarif. Meskipun dengan maksud melindungi sektor pertanian, kebijakan pembatasan impor non-tarif ini justru dipandang menjadi biang kerok melejitnya harga beras dalam negeri.