Bappenas Susun Regulasi Pembiayaan Alternatif Non-APBN untuk Transisi Energi

24 November 2024 13:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keliki, Bali, Desa Energi Berdikari Pertamina Berbasis Energi Terbarukan. Foto: Dok. Pertamina
zoom-in-whitePerbesar
Keliki, Bali, Desa Energi Berdikari Pertamina Berbasis Energi Terbarukan. Foto: Dok. Pertamina
ADVERTISEMENT
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut Indonesia tak bisa hanya mengandalkan pembiayaan APBN atau APBD untuk melakukan transisi energi.
ADVERTISEMENT
Deputi Sarana dan Prasarana, Kementerian PPN/Bappenas, Ervan Maksum, mengatakan Bappenas sedang menyusun pembiayaan alternatif dari sumber non-pemerintah dan melibatkan swasta untuk transisi energi. Menurutnya, pemerintah menyiapkan kerangka regulasi dan kebijakan untuk memobilisasi pendanaan dan investasi swasta tersebut.
“Kolaborasi dengan berbagai perusahaan swasta dan lembaga pemilik modal sangat diperlukan. Salah satu inisiatif yang dapat ditawarkan kepada perusahaan adalah penggunaan dana environment, sustainability and governance (ESG) yang diarahkan untuk mendukung proyek energi terbarukan di desa, sebagai kewajiban perusahaan untuk menurunkan emisi karbon dari aktivitas bisnis yang dilakukan,” ujar Ervan dalam keterangannya, Minggu (13/11).
Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Bappenas, Taufiq Hidayat Putra, menyatakan bahwa perencanaan sektor ketenagalistrikan di Indonesia mencakup akses listrik yang berkualitas, tidak hanya ke industri, tapi juga untuk seluruh lapisan masyarakat, terutama di desa.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah Indonesia dan seluruh pemangku kepentingan harus bahu-membahu untuk mencapai transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Kita harus mendukung saudara-saudari kita yang berada di desa khususnya untuk menikmati listrik yang bersih, aman dan terjangkau dengan potensi energi terbarukan di daerah masing-masing," jelasnya.
Taufiq mengatakan, dengan listrik yang berkualitas, masyarakat desa bisa menerima berbagai manfaat di berbagai bidang, salah satunya modernisasi dalam aktivitas pertanian atau yang sering disebut dengan electrifying agriculture. Sedangkan di desa nelayan, akses listrik berkualitas memungkinkan penyediaan cold storage untuk menyimpan hasil tangkapan ikan segar lebih lama.
Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid (PLTH) di Dusun Bondan, Desa Ujung Alang, Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (28/10/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Untuk menghasilkan listrik yang andal di desa, tantangan terkait spatial mismatch antara lokasi sumber energi terbarukan listrik dengan lokasi pusat industri dan kegiatan ekonomi dan masyarakat, menurut Taufiq perlu dijawab melalui perencanaan yang holistik, integratif, dan komprehensif dengan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi listrik yang terintegrasi dengan rencana pembangunan pembangkit listrik terbarukan.
ADVERTISEMENT
Menurut Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan di Indonesia sebesar mencapai 3.686 GW. Bahkan kajian IESR (2022) mengindikasikan adanya potensi Walaupun rasio elektrifikasi telah mendekati 100 persen, namun saat ini masih terdapat beberapa tantangan. Antara lain kualitas layanan ketenagalistrikan yang tidak merata antar wilayah, ketergantungan terhadap energi fosil yang tinggi, rendahnya pemanfaatan sumber energi terbarukan setempat, serta jauhnya jarak antara sumber daya energi terbarukan dengan pusat beban/ permintaan energi listrik (spatial mismatch).
Hingga November 2024, masih ada sekitar 86 desa yang belum memiliki akses listrik. Maka dari itu, perlu didorong pembangunan pembangkit listrik terbarukan sesuai potensi energi setempat dan dedieselisasi, pembangunan jaringan distribusi dan terisolasi serta pengembangan listrik pedesaan.
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan mencapai lebih dari 7.800 GW, dengan lebih dari 75 persen merupakan sumber energi surya. Namun, besarnya potensi energi terbarukan itu belum termanfaatkan secara optimal, khususnya di daerah pedesaan.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menegaskan Pemerintah Indonesia perlu mempersiapkan peta jalan transisi energi dengan pilihan biaya yang paling murah, menjamin keandalan pasokan yang optimal, dan berkeadilan. Menurut Fabby, lewat transisi energi terbarukan Indonesia dapat meningkatkan ambisi penurunan emisi GRK yang selaras dengan target 1,5 derajat celcius yang disasar oleh Persetujuan Paris.
“Penurunan emisi menjadi hal sangat penting bagi Indonesia, karena sebagai negara kepulauan, masyarakat di daerah 3T sangat rentan terhadap-dampak yang disebabkan oleh peningkatan suhu bumi," kata Fabby.
Deni Gumilang, Project Lead Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE for SEA) di Indonesia, GIZ Energy Program for Indonesia/ASEAN, mengatakan untuk meningkatkan daya tarik bagi investor, pemerintah perlu membuat instrumen policy derisking yang bertujuan untuk memitigasi risiko transaksi, mengingat tantangan dalam kebijakan dan regulasi masih dianggap sebagai hambatan utama dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, instrumen mitigasi risiko keuangan juga perlu dikembangkan secara paralel untuk menciptakan momentum yang memungkinkan optimalisasi penyaluran pendanaan dari para investor, guna mendorong pertumbuhan pasar energi terbarukan.
"Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan yang menarik minat banyak investor. Namun, tingginya risiko dalam proyek-proyek energi terbarukan menjadi hambatan bagi masuknya investasi. Penerapan instrumen-instrumen policy and finance derisking diharapkan dapat membuka peluang implementasi pembiayaan yang real bagi Indonesia," jelas Deni.