Begini Penjelasan Bank Indonesia Kenapa Rupiah Terus Melemah

21 Juni 2024 10:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas menghitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menghitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
Nilai tukar rupiah yang terus melemah menembus 16.400 per dolar AS, merupakan yang terendah sejak 4 tahun terakhir.⁠ Rupiah pernah anjlok ke posisi Rp 16.400 per dolar AS pada 30 Maret 2020.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut menjadi perhatian khusus Presiden Jokowi. Kamis kemarin, Jokowi menggelar rapat terbatas membahas kondisi tersebut bersama Menteri Keuangan, Ketua OJK, Ketua LPS, dan Gubernur Bank Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menjelaskan melemahnya nilai tukar rupiah selalu dipengaruhi dua faktor utama, yakni faktor fundamental dan sentimen jangka pendek.
Faktor fundamental yang dimaksud di antaranya adalah kondisi makroekonomi Indonesia seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan kredit. Dari sisi faktor fundamental, seharusnya rupiah bisa menguat.
Sebab, inflasi Indonesia masih terkendali di 2,8 persen pada Mei 2024 dan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,1 persen pada triwulan 1 tahun ini. Begitupun dari sisi pertumbuhan kredit yang menyentuh 12,5 persen pada Mei 2024.
"Demikian juga kondisi ekonomi kita, termasuk juga imbal hasil investasi Indonesia yang baik. Itulah faktor-faktor fundamental yang mestinya mendukung rupiah itu akan menguat," kata Perry usai rapat dengan Presiden di Istana Negara, Jakarta, Kamis kemarin.
ADVERTISEMENT
Sentimen Global
Gubenur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan laporan hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) I Tahun 2024 di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (30/1/2024). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Adapun faktor yang mempengaruhi pelemahan rupiah saat ini lebih kepada faktor teknikal jangka pendek, seperti ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Selain itu, berubahnya arah angin kebijakan bank sentral Amerika Serikat atau the Fed, yang sebelumnya diproyeksi akan menurunkan suku bunganya hingga 3 kali pada tahun ini, ternyata tak kunjung dilakukan dan kemungkinan penurunan suku bunga hanya terjadi satu kali hingga akhir tahun nanti.
Untuk mengantisipasi berubahnya arah kebijakan Fed, Bank Indonesia meresponsnya bukan hanya dengan intervensi, tapi juga menaikkan suku bunganya menjadi 6,25 persen pada Mei 2024, hingga kemudian rupiah sempat menguat dari Rp 16.600 menjadi Rp 15.900 per dolar AS.
Saat ini, rupiah kembali melemah dengan pengaruh faktor global yang masih dominan, yakni belum jelasnya kebijakan the Fed soal rencana penurunan suku bunganya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, faktor lain adalah kenaikan suku bunga obligasi pemerintah Amerika yang tempo hari hanya 4,5 persen saat ini naik menjadi 6 persen karena memang untuk membiayai utang di Amerika.
Demikian juga bank sentral Eropa sudah mulai menurunkan suku bunga. Ini yang menyebabkan kenapa sentimen-sentimen global memberikan dampak kepada pelemahan nilai tukar.
Sementara dari sentimen domestik, pada triwulan II khususnya bulan Juni, Bank Indonesia mencatat terjadi kenaikan permintaan corporate terhadap dolar AS, di antaranya untuk repatriasi dividen dan untuk membayar utang.
Rupiah Masih Tangguh?
Konferensi pers KSSK di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa (30/1/2024). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
Perry Warjiyo mengaku optimistis rupiah ke depan akan menguat. Hanya saja, gerakan rupiah setiap bulannya akan sangat bergantung pada sentimen-sentimen yang sudah dijelaskan tadi.
Menurut dia, hampir semua mata uang negara melemah, kecuali Rusia. Jika dilihat dari Desember 2023, rupiah hingga saat ini melemah hanya 5,92 persen.
ADVERTISEMENT
Sementara Won Korea melemah hingga 6,78 persen, Baht Thailand melemah 6,92 persen, Peso Meksiko 7,89 persen, Real Brasil melemah 10,63 persen, dan Yen Jepang 10,78 persen.
Jika dilihat dari perbandingan tersebut, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memang relatif masih lebih baik. Namun apakah itu akan bertahan lama?
Perry mengatakan stabilisasi rupiah dilakukan dengan memastikan keberadaan bank sentral di pasar melalui penggunaan cadangan devisa.
Saat ini, Bank Indonesia memiliki cadangan devisa senilai USD 139 miliar. Menurut Perry, akan sangat wajar cadangan devisa tersebut digunakan untuk menstabilkan rupiah ketika terjadi capital outflow.
"Dan itu intervensi, dari tunai, forward, maupun juga berkoordinasi dengan bu menteri keuangan bagaimana ini terhadap stabilitas SBN. Kami juga bisa beli SBN dari pasar sekunder. Itu langkah-langkah yang kami lakukan," ujarnya.
ADVERTISEMENT