BEI Dukung OJK Beri Sanksi Direksi Perusahaan Publik yang Rugikan Investor

19 Maret 2021 20:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dirut Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djayadi. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dirut Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djayadi. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Aturan tersebut diperuntukkan bagi para petinggi emiten yang tindakannya dapat memberikan kerugian buat emiten maupun investor. Melalui POJK 3/2021 itu, petinggi emiten mesti bertanggung jawab atas kerugian yang diderita perusahaan.
ADVERTISEMENT
Pasal 89 beleid tersebut menjelaskan, direksi dan atau komisaris emiten mesti bertanggung jawab atas kerugian yang dialami jika kerugian terjadi akibat secara langsung atau tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan emiten untuk kepentingan pribadi, terlibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan emiten, dan secara melawan hukum menggunakan aset emiten yang mengakibatkan kewajiban keuangan emiten gagal terpenuhi.
“Kami tentu saja menyambut baik regulasi ini, karena akan meningkatkan aspek good governance corporate (GCG) bagi emiten, termasuk dorongan bagi para direksi dan komisaris untuk mendorong GCG tersebut,” ungkap Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Inarno Djajadi dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (19/3).
Dalam beleid tersebut juga diatur, emiten yang hengkang dari bursa mesti melakukan pembelian saham kembali alias buyback kepada investor ritel. OJK kini memang tengah gencar memperketat pengawasan terhadap pasar modal guna melindungi investor publik. Maklum belakangan banyak investor yang merasa dirugikan atas tindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan Tbk.
ADVERTISEMENT
Salah satunya, bursa saham sedang menghadapi skandal besar yang dilakukan mantan direksi PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA). Dua direksi AISA yaitu joko Mogoginta dan Budhi Istanto diduga memalsukan laporan keuangan perseroan 2017. Dengan melebihkan nilai (overstatement) piutang kepada enam distributor yang ditulis sebagai pihak ketiga, padahal nyatanya merupakan afiliasi perseroan. Aksi ini dilakukan untuk memoles fundamental perseroan guna melejitkan harga saham.
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Padahal kondisi perseroan nyatanya tengah bermasalah, ini terbukti misalnya saat Tiga Pilar pada 2018 gagal membayar bunga obligasi dan sukuk ijarah. Ini yang kemudian membuat Tiga Pilar dibekukan selama dua tahun dari perdagangan bursa. Pun diketahui saat diaudit ulang (restatement) laporan keuangan 2017, Tiga Pilar mencatat rugi bersih Rp5,23 triliun sepanjang 2017. Nilai tersebut lebih besar Rp 4,68 triliun dari laporan keuangan versi sebelumnya yang hanya rugi Rp 551,9 miliar.
ADVERTISEMENT
Adapun saat ini Joko dan Budhi telah ditetapkan sebagai terdakwa dan dalam proses menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya kepada Tiga Pilar. Adapun yang mengajukan gugatan dua mantan direksi tersebut ke pengadilan adalah Forum Investor Ritel AISA (Forsa) yang di dalamnya ada ribuan investor ritel.
Potensi-potensi fraud seperti ini pula yang coba dicegah oleh OJK via aturan baru tersebut. Dewan Kehormatan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Theo Lekatompessy pun menyambut baik ketentuan anyar ini, meskipun masih ada beberapa kelemahan sehingga masih perlu disempurnakan.
Ia mencontohkan soal masih disamaratakannya sanksi buat direksi dan komisaris, padahal kedua posisi ini punya porsi tanggung jawab dan kewajiban yang berbeda sehingga tidak bisa sanksi untuk keduanya disamakan.
ADVERTISEMENT
“Fungsi, wewenang, komisaris dan direksi itu berbeda, gaji dan bonus juga jauh berbeda, sehingga beban tanggung jawab jika ada masalah juga tidak bisa disamaratakan. Berat jika sanksi untuk komisaris disamakan dengan sanksi direksi,” katanya.
Lebih lanjut, ia menambahkan, perlu adanya mekanisme pemeriksaan awal bagi emiten yang diduga melakukan tindakan fraud. Hal ini berguna untuk menginventarisasi kesalahan-kesalahan masing-masing pihak, sehingga tanggung jawab masing-masing pihak jelas.