Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Benarkah Ada Kepentingan Bisnis Luhut di Balik Kebijakan Wajib PCR?
8 November 2021 11:37 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kebijakan pemerintah yang sempat mewajibkan tes PCR untuk penumpang pesawat pun dipertanyakan. Ada dugaan kebijakan itu terkait dengan kepentingan bisnis Luhut. Benarkah demikian?
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, menyatakan bahwa setiap kebijakan yang diambil Luhut sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali didasari oleh analisis atas data dan situasi di lapangan.
"Ketika Pak Luhut menjadi Koordinator PPKM Jawa-Bali, setiap keputusan yang diambil didasarkan kepada usulan kami atas analisis data dan situasi. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam hati saya terkait hal ini. Tidak ada satu pun keputusan yang diambil oleh Pak Luhut yang kami usulkan, karena mengedepankan kepentingan GSI, termasuk usulan mengenai PCR untuk penumpang pesawat," kata Seto dalam keterangan resmi, Senin (8/11).
Ia menambahkan, Luhut ditunjuk menjadi Koordinator PPKM Jawa-Bali pada Juli 2021, jauh setelah pendirian GSI Lab. Alasan penggunaan PCR untuk penumpang pesawat, ia menekankan, diberlakukan karena peningkatan risiko kasus. Lalu, pada bulan September ketika tren kasus mulai menurun diiringi dengan pelaksanaan prokes yang baik, pihaknya juga mengusulkan menurunkan syarat untuk penumpang pesawat dari PCR menjadi Antigen asalkan penumpang sudah 2 kali vaksin.
ADVERTISEMENT
"Kalau memang Pak Luhut ingin menguntungkan GSI, buat apa syarat tersebut diubah? Sebagai tambahan, di kantor kami, biasanya PCR atau antigen dilakukan oleh Medistra, RS Pertamina, RS Bunda, dan SpeedLab. Tidak pernah GSI," ia menuturkan.
Tapi mengapa kewajiban test PCR beberapa waktu lalu diberlakukan kepada penumpang pesawat di tengah kasus yang menurun?
Seto memaparkan, kebijakan itu dia dan timnya usulkan berdasarkan data yang menunjukkan ada peningkatan risiko penularan. Satu hingga dua minggu sebelum kebijakan PCR untuk penumpang pesawat ini diberlakukan, ada peningkatan risiko tersebut. Indikator mobilitas yang digunakan menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Contohnya di Bali, data mobilitas minggu ketiga Oktober 2021 menunjukkan level yang sama dengan liburan Nataru tahun 2020. Lalu, hasil pengecekan tim yang dikirim Seto, terjadi penurunan disiplin protokol kesehatan yang luar biasa. Peduli lindungi hanya sebagai pajangan, terutama di tempat-tempat wisata dan bar.
ADVERTISEMENT
"Bahkan salah satu tim saya berhasil memfoto pasangan yang bebas berciuman di dalam salah satu bar/cafe di Bandung," katanya.
"Jadi, ketika kami melihat ada risiko peningkatan kasus, kami ingin ada langkah preventif, bukan reaktif seperti yang dilakukan sebelumnya. Karena kalau ada peningkatan kasus dan harus ada pengetatan macam PPKM Darurat, biayanya sangat besar. Hasil hitungan kami, biaya langsung untuk perekonomian setiap 1 minggu dilakukan PPKM Darurat, adalah sekitar Rp 5,2 triliun. Itu belum termasuk korban jiwa yang tidak bisa dihitung secara moneter," tutupnya.