Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Rencana Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik membuang 20 ribu ton Cadangan Beras Pemerintah (CBP) direspons cepat pemerintah. Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas bersama sejumlah menteri untuk membahas persoalan Bulog ini pada Rabu, (4/12) di Istana Presiden.
Dalam rapat itu presiden secara khusus meminta manajemen penyaluran beras Bulog diperbaiki. “Saya minta manajemennya segera dibereskan dan dibuat pola-pola baru sehingga tidak menjadi beban bagi Bulog,” kata Jokowi.
Sebelumnya, Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog, Tri Wahyudi Saleh mengatakan bahwa Bulog berencana melakukan disposal terhadap 20 ribu ton beras yang berasal dari stok Cadangan Beras Pemerintah senilai Rp 160 miliar.
Kebijakan disposal yang merujuk pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dimaksud untuk melepas beras yang sudah tersimpan terlalu lama, dengan beberapa tahapan atau opsi.
Tahap pertama adalah menjual dengan harga di bawah Harga Eceran Tertinggi (HET). Kedua, pengolahan kembali untuk memperbaiki mutu beras.
Ketiga, menukar dengan CBP berkualitas lebih baik. Keempat, dihibahkan untuk bantuan sosial dan kemanusiaan.
Menurut Tri, stok beras baru bisa dimusnahkan bila sudah tak dapat diolah, tidak bisa diperbaiki kualitasnya, atau tak bisa dikonsumsi manusia atau hewan. Tri juga membantah bahwa Bulog berencana memusnahkan stok CBP.
“Bulog tidak pernah dan tidak berencana memusnahkan atau membuang stok,” jelas Tri, Senin, (2/12).
Untuk memahami lebih dalam terkait persoalan disposal beras Bulog ini, kumparan mewawancarai dua ahli pangan: Husein Sawit dan Dwi Andreas.
Husein Sawit merupakan Peneliti Utama di Kementerian Pertanian. Ia berpengalaman menjadi senior advisor terlama di Bulog dan terlibat dalam perumusan kebijakan Raskin atau Beras untuk Rumah Tangga Miskin pada tahun 2003.
Sementara Dwi Andreas merupakan Guru Besar di Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia juga menjadi Ketua sekaligus pendiri Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI). Berikut petikan wawancara kami dengan kedua pakar ini.
Kenapa disposal beras bisa terjadi?
Husein Sawit: Stok beras disposal itu terjadi karena pengadaan terlalu besar sementara penyaluran kecil. Kelebihan stok di akhir tahun itulah yang disebut disposal.
Disposal itu sebetulnya masih bisa digunakan. Di India, beras disposal diekspor. Tapi ada juga negara yang menggunakan beras disposal untuk dijadikan bahan tepung beras.
Selain beras sisa, beras disposal juga termasuk beras busuk. Mungkin stok beras sisa yang busuk itulah yang dimaksud Bulog. Pada 2018, stok akhir beras Bulog sangat tinggi, sekitar 2,2 juta ton. Padahal normalnya 1 sampai 1,2 juta ton.
Stok yang tinggi itu terjadi karena pengadaan beras impor tahun 2018 besar, sampai sekitar 1,8 juta ton. Karena pengadaan besar itulah pemerintah merancang program penyaluran lewat operasi pasar yang ditargetkan dilakukan setiap hari.
Operasi pasar merupakan upaya stabilisasi harga dengan sasaran masyarakat umum. Dilakukan melalui satuan tugas untuk langsung dijual ke masyarakat melalui pedagang eceran dan pedagang grosir. Pedagang-pedagang tersebut wajib menjual beras OP Cadangan Beras Pemerintah pada harga eceran tertinggi yang telah ditetapkan.
Tiap hari beras Bulog ditargetkan terserap antara 2 sampai 5 ribu ton. Kalau itu terealisasi penyaluran sampai akhir tahun bisa mencapai 1,4 juta ton. Tapi sampai Desember ini, penyaluran lewat operasi pasar hanya 470 ribu ton.
Penyerapan tidak berlangsung dengan baik karena harga beras memang stabil sekali. Sehingga masyarakat merasa tidak ada bedanya membeli beras hari ini, besok, atau bahkan bulan depan.
Di samping itu, ada perubahan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Dulu pemerintah menganggarkan dana untuk Bulog sebesar Rp 2,5 triliun. Dana itu digunakan untuk membeli Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 250 ribu-300 ribu ton. Tapi sekarang tidak seperti itu.
Cadangan Beras Pemerintah merupakan sejumlah beras tertentu milik pemerintah yang sumber dananya berasal dari APBN dan dikelola oleh Bulog yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan beras dan dalam rangka mengantisipasi masalah kekurangan pangan, gejolak harga, keadaan darurat akibat bencana dan kerawanan pangan serta memenuhi kesepakatan Cadangan Beras Darurat ASEAN (ASEAN Emergency Rice Reserve, AERR).
Sekarang pemerintah menggunakan sistem penggantian. Dengan sistem ini, pemerintah baru membayar bila berasnya terserap. Masalahnya penyerapan dari operasi pasar sedikit. Jadi penggantiannya juga sedikit. Itulah yang membebani Bulog hingga Bulog disebut terancam bangkrut.Padahal Bulog sedang menjalankan fungsi publik.
Dwi Andreas: Pertama, disposal itu hal yang wajar karena komoditas pertanian sifatnya mudah rusak dan ada umurnya. Apalagi stok beras Bulog saat ini mencapai sekitar 2,19 juta ton.
Kebijakan disposal juga bukan yang pertama kali dilakukan Bulog. Setiap tahun Bulog melakukan disposal. Caranya beras kualitas buruk dijual kembali ke penggilingan padi untuk diproses. Lalu, beras yang sudah diproses itu dibeli lagi oleh Bulog.
Apakah kebijakan disposal ini terkait dengan stok beras Bulog yang berlebih karena kebijakan impor tahun 2018?
Husein Sawit: Pada tahun 2018 pengadaan dalam negeri kecil. Tapi pengadaan luar negeri sangat besar, sampai 1,8 juta ton. Itu karena di sekitar awal tahun 2018 harga beras bergejolak. Gejolak itu dianggap karena kurangnya produksi. Walaupun pada saat itu Mentan Amran Sulaiman mengklaim produksi cukup tapi kenyataannya harga naik.
Pemerintah ingin meredam itu dengan mengimpor beras. Tapi rupanya, produksi tahun 2018 memang baik. Tidak seperti yang diprediksi. Tapi impor itu tidak salah. Sebab lebih baik rugi daripada menghadapi instabilitas politik.
Saat itu memang menjelang pemilu. Sementara harga pangan harus stabil. Jika tidak akan menjadi bumerang untuk pemerintah. Tapi pengadaan besar itu jangan disalahkan atau dibebankan ke Bulog .
Bulog itu melaksanakan dua fungsi. Fungsi publik dan bisnis. Kalau fungsi bisnis memang urusannya Bulog. Tapi fungsi publik ini harus sepenuhnya jadi tanggung jawab pemerintah. Jangan pemerintah membebani konsekuensi pengadaan besar itu hanya ke Bulog. Bisa kolaps nanti.
Dwi Andreas: Kalau saya jawabannya tidak. Karena ada beberapa perubahan kebijakan yang terjadi juga. Misalnya perubahan kebijakan Beras Sejahtera (Rastra) menjadi Bantuan Pokok Non-Tunai (BPNT). Perubahan kebijakan itu berdampak pada Bulog.
Kebijakan bantuan sosial Rastra adalah kebijakan pemerintah kepada keluarga dengan kondisi sosial ekonomi 25% terendah di wilayah kabupaten/kota pelaksana Bansos Rastra yang terdaftar dalam Daftar Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial. KPM Bansos Rastra berhak mendapatkan bantuan sosial berupa beras berkualitas medium dengan jumlah/kuantum sejumlah 10 kg setiap bulannya tanpa dikenakan harga/biaya tebus.
Berbeda dengan Rastra, lewat kebijakan BPNT masyarakat diberi bantuan tunai (direct payment) sehingga bisa membeli beras dengan kualitas yang mereka kehendaki. Karena perubahan kebijakan itu porsi untuk Bulog berkurang menjadi 15 persen. Di era kebijakan Rastra, Bulog bisa mengeluarkan sekitar 200-230 ribu ton per bulan.
BPNT merupakan bantuan sosial pangan senilai Rp110.000 yang disalurkan dalam bentuk nontunai dari Pemerintah kepada masing-masing Keluarga Penerima Manfaat setiap bulan melalui mekanisme uang elektronik. Pada 2019, BPNT digunakan hanya untuk membeli beras dan/atau telur di e-warong. E-warong adalah agen bank, pedagang dan/atau pihak lain yang telah bekerja sama dengan bank penyalur dan ditentukan sebagai tempat pemanfaatan BPNT.
Terkait dengan impor beras tahun 2018, kalau kita melihat data Bulog terakhir, beras impor sisa di Bulog ini tersisa 980 ribu ton. Sementara total impor 1,8 juta ton. Itu berarti beras impor sudah berkurang sekitar 50 persen.
Nah, karena sudah diimpor sejak tahun 2018, sudah pasti kualitas beras tersebut berubah. Beras impor ini walaupun kategorinya beras medium tapi kualitasnya premium.
Yang jadi permasalahan adalah soal penyimpanan. Kalau penyimpanannya bagus bisa tahun satu tahun. Tapi kalau gudangnya bocor atau kebanjiran ya pasti akan turun juga kualitasnya. Tapi memang, salah satu sumber beras disposal memang beras eks impor.
Selain impor, ada juga beras serapan dalam negeri. Beras serapan dalam negeri ini dilematis. Karena diserap saat puncak musim panen yang bertepatan dengan musim hujan.
Selain itu Bulog juga terikat dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Dalam aturan itu Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah sebesar Rp 3.700. Dari mana mendapat gabah kualitas bagus dengan harga itu?
Kalau Bulog terpaksa menyerap beras atau gabah dengan kualitas kurang bagus ada risiko disposal yang sangat tinggi. Tidak perlu tunggu 6 bulan, tapi 2 bulan saja sudah mulai ada tanda-tanda rusak berasnya.
Jadi menurut saya, beras disposal ini kemungkinan besar banyak disumbang oleh beras hasil serapan dalam negeri. Karena beras yang terserap tidak berkualitas bagus.
Jadi disposal beras ini bukan karena kebijakan impor?
Dwi Andreas: Impor di atas 1 juta ton itu sudah jadi kebijakan rutin pemerintah. Empat tahun terakhir rata-rata impornya 1,17 juta ton. Jadi saya kira disposal beras ini lebih terkait ke tata kelola beras oleh Bulog dan perubahan kebijakan Rastra ke BPNT.
Kenapa perubahan kebijakan dari Rastra ke BPNT berdampak ke penyerapan beras Bulog?
Husein Sawit: BPNT itu kebijakan yang bagus. Masyarakat jadi bisa memilih beras kualitas baik. Tapi kelemahannya, Bulog tidak diberi prioritas di kebijakan itu. Alasannya kualitas beras Bulog rendah. Padahal itu karena pemerintah, lewat kebijakan HPP, melakukan pengadaan beras berkualitas rendah.
Dwi Andreas: Kita perlu lihat dulu apakah kebijakan BPNT itu tepat. Saya ikut terlibat merancang program itu di tim transisi Jokowi tahun 2014. Kami yang mengusulkan mengalihkan subsidi Rastra ke subsidi direct payment BPNT.
Rastra yang nilainya sekitar Rp 18-20 triliun per tahun kini dialihkan ke kebijakan BPNT. Hasilnya, dalam Susenas BPS pada Maret dan September 2018, penerima manfaat BPNT bisa membeli beras 46 persen lebih tinggi volumenya. Artinya program BPNT tersebut luar biasa bagus.
Sementara saat kebijakan Rastra dan Raskin, Bulog berada di zona nyaman. Karena pengelolaan in-out beras sudah jelas. Mereka menyerap beras dalam negeri dan kalau kurang akan impor.
Mereka menyalurkan Rastra sekitar 200-230 ribu ton beras per bulan. Karena perubahan kebijakan dari Rastra ke BPNT, Bulog punya stok beras yang demikian besar tapi belum tersalurkan. Data terakhir, stok mereka masih 2,19 juta ton beras.
Bulog ini perusahaan. Mereka harus berpikir keras untuk melewati situasi ini. Kemensos juga sudah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 01/MS/K/07/2019 tentang Perum Bulog Sebagai Penyedia Komoditas Bantuan Pangan Nontunai.
Surat itu menyebut Bulog sebagai satu-satunya pemasok program BPNT. Totalnya sekitar 700 ribu ton, tapi Bulog baru bisa memasok 122 ribu ton. Itu persoalannya. Jadi Bulog harus benar-benar berubah dan keluar dari zona nyaman ketika mereka masih menjalankan program Rastra.
Artinya manajemen Bulog perlu berbenah?
Dwi Andreas: Memang ada hambatan-hambatan untuk Bulog. Misalnya Inpres yang mengatur tentang HPP itu tadi. Inpres itu membatasi Bulog menyerap beras petani dengan kualitas yang lebih baik.
Tapi di sisi lain Bulog harus kreatif membangun jaringan dan pasar. Karena sistem pangan di Indonesia itu sistem pangan liberal. Komoditas pangan yang dikuasai pemerintah itu amat kecil.
Misalnya, beras itu hanya 10 persen yang dikuasai pemerintah. Data konsumsi beras nasional sebesar 33 juta ton per tahun. Sementara Bulog hanya menguasai kurang dari 3 juta ton. Itu artinya penguasa pasar beras itu swasta.
Apa yang perlu dilakukan pemerintah terhadap Bulog?
Husein Sawit: Buatlah kebijakan yang terintegrasi antara pengadaan beras, penyaluran, penyimpanan, dan pendanaan. Semuanya harus terintegrasi. Pemerintah juga harus tetap mempertahankan Bulog bila masih mau melindungi petani dan berperan dalam menstabilkan harga pangan
Dwi Andreas: Langkah jangka pendek harus ada perubahan manajemen di Bulog. Bulog perlu lebih profesional. Bulog harus menghindari pernyataan yang merenggangkan hubungan pemerintah dengan swasta. Karena pihak swasta itu yang akan membantu memasarkan beras Bulog.
Lalu persoalan beras disposal ini terkait dengan mutu. Sedangkan mutu beras ditentukan HPP. Sekarang ini, HPP sudah sangat tidak wajar. Sudah sangat mencederai petani. Karena HPP hanya naik 12 persen sejak 2012 ke 2015. Padahal inflasi sudah naik 34 persen. Apa petani kita ini disuruh makin miskin sementara masyarakat kota mendapat harga pangan yang terjangkau?
Jadi Bulog dan pemerintah yang harus berbenah. Yang mutlak adalah merevisi HPP sehingga Bulog lebih leluasa mendapatkan beras dengan kualitas yang baik. Sehingga disposal bisa ditekan di masa mendatang.