Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Membeli saham-saham berisiko tinggi atau yang lazim dikenal saham gorengan, memang tak mudah. Saham ini bisa mendatangkan untung dalam sekejap, namun bisa pula jadi petaka yang melenyapkan duit apabila lengah.
ADVERTISEMENT
Cerita pengalaman soal berkecimpung dalam trading saham gorengan datang dari Yanuar Riezqi. Kala itu, ia bukan kepalang senang, saham-saham yang ia beli sejak November 2018, terus merangkak naik.
Karyawan salah satu perusahaan media di Jakarta itu memutuskan menambah portofolio dari Rp 10 juta ke Rp 30 juta untuk trading di pasar saham pada Januari 2019. Dua bulan setelahnya, ia bisa meraup untung tak kurang dari Rp 8 juta per bulan. Setidaknya ada empat saham yang ia transaksikan kala itu.
“Beberapa saham dipilih waktu itu di antaranya MABA, CPRI, NUSA, dan POSA. Keempatnya bergerak seakan terus naik hingga puluhan persen,” ujar Yanuar saat bercerita kepada kumparan, Senin (2/3).
Yanuar tak begitu cemas kala itu. Ia yang baru mencoba pasar modal kurang dari setahun masih merasakan euforia serunya ‘bermain’ saham. Sehingga, saat valuasi saham mulai turun ia masih optimistis ada celah mengerek lagi harga sahamnya.
ADVERTISEMENT
Tak disangka, saham-saham yang ia koleksi itu ternyata merosot. Semakin hari kian dalam. Valuasi pun tergerus pelan-pelan dari Maret sampai puncaknya Mei 2019. Uang yang ia putar di pasar modal itu akhirnya ludes.
Anjloknya harga saham kala itu bertepatan dengan perang dagang AS-China yang memukul seluruh bursa saham dunia, termasuk Indonesia.
"Akhirnya uang senilai Rp 30 juta tersebut semuanya hilang sekira Juni 2019," kata dia.
Setelah kejadian itu, Yanuar memutuskan keluar sementara waktu dari pasar saham. Tak kapok, beberapa bulan kemudian dia kembali masuk pasar saham. Sudah punya pengalaman pahit, kali ini dia lebih mawas diri.
Berbekal modal Rp 10 juta dari uang JHT BPJS Ketenagakerjaan dan hasil menjual barang-barang koleksi dan emas, pria 27 tahun itu pun kembali trading di pasar modal. Ia mulai tekun mempelajari kesalahan-kesalahannya dalam trading kala itu.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, berinvestasi di saham gorengan tak bisa asal dan emosional. Harus dipelajari sentimen-sentimennya hingga manajemen waktu yang baik.
Misalnya, kata dia, saat trading saham itu harus lebih cermat untuk membaca peluang sentimen yang sedang terjadi, hingga lebih akurat dalam melakukan aksi beli atau jual.
Dengan kecermatan itu, kini saham-saham yang ditransaksikan meskipun tak signifikan meraup keuntungan besar, secara bertahap mampu memberikan keuntungan hingga jutaan rupiah.
“Ketika mulai investasi lagi, tidak hanya berbekal nekat seperti semula. Belajar dulu selama 1 tahun, pagi siang sore malam baca-baca tentang investasi saham dan mencermati polanya,” ucapnya.
Saham Gorengan dan Sikap OJK
Persoalan saham gorengan tak hanya terjadi di kalangan individu, namun bisa juga kelembagaan. Berbicara soal pengalaman terperosok saham gorengan, kita bisa belajar pada kasus Jiwasraya dan ASABRI.
ADVERTISEMENT
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, kasus gagal bayar polis asuransi JS Saving Plan Jiwasraya karena salahnya penempatan portofolio investasi. Jiwasraya menyebar investasi pada instrumen saham dan reksa dana yang berkualitas rendah dan berisiko tinggi alias saham gorengan. Begitu pun pada kasus yang terjadi pada ASABRI.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai eksistensi saham gorengan sudah ada sejak lama. Saham gorengan itu, masih tetap ada hingga saat ini karena adanya permintaan dan penawaran. Meskipun OJK telah memperingatkan investor, namun saham yang bergerak tak wajar itu terus saja menjadi incaran investor ritel.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Hoesen, mengatakan para investor kecil atau pemula memang mengincar saham gorengan untuk memperoleh keuntungan singkat atau capital gain.
ADVERTISEMENT
"Diskusi goreng menggoreng. Ada enggak? (Saya) 25 tahun di sini (pasar modal), pasti ada. Goreng-gorengan (saham) itu setuju karena investor beragam (permintaan terhadap saham gorengan)," kata Hoesen.
Hoesen menjelaskan, OJK dan BEI telah memperingatkan aktivitas saham gorengan melalui pengumuman di website bursa, yakni berupa informasi Unusual Market Activity (UMA). Saat informasi UMA dipublikasikan, investor kecil atau ritel bukannya menghindar, tapi justru memburu saham gorengan itu. Mereka tergiur pergerakan harga yang bisa naik drastis.
"Bukannya aware, itu pasti naik lagi (harga saham gorengan). UMA itu bisa cek. Saat di-suspend (saham gorengan), broker dan investor teriak. Mereka tahu risiko, ketika kejadian (saham anjlok dan tak liquid) tanya, itu pengawas mana?" tambahnya.
Saham gorengan tak melulu identik dengan perusahaan kecil dan perusahaan swasta. Saham emiten BUMN yang terdaftar di bursa juga jadi bahan permainan para ‘bandar’.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut saham BUMN farmasi seperti PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) dan PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF). Kedua saham itu sudah masuk radar dan diperingkatkan otoritas karena menjadi komoditas gorengan.
Hoesen menambahkan, bukan manajemen perusahaan saja yang bermain, investor bermodal jumbo juga turut mempermainkan supply dan demand. Mereka bisa membeli saham dengan harga tinggi, kemudian menjualnya dengan harga murah untuk menarik minat investor. Kemudian banyak investor pemula masuk dan terperangkap.
"Auto reject (dengan skema UMA). Kenapa enggak dibuang saham (gorengan)? Itu enggak bisa (dihilangkan dari bursa). Perusahaan tahu? (perusahaan yang sahamnya dipermainkan) belum tentu. BUMN contoh Indofarma, Kimia Farma. Itu (ada) pemain komoditi, tapi bukan dia (perusahaan BUMN) yang main," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Mengenai ini, Hoesen mengatakan, OJK tengah menyiapkan ‘tato’ untuk memperingatkan adanya saham gorengan. OJK melakukan beberapa hal pencegahan, di antaranya membuat notasi khusus atau memberikan 'tato' pada setiap saham atau emiten. Notasi khusus tersebut menggambarkan soal kepatuhan terhadap regulasi (compliance) dan kinerja perusahaan (performance) dengan tujuh notasi.
Contohnya, notasi E, menggambarkan ekuitas negatif atau notasi A menginformasikan Opini Tidak Wajar (adverse) dari Akuntan Publik. Notasi khusus selama ini sudah dilakukan uji coba.
"Perdagangan nanti akan ada note. Banyak tato (saham) enggak perlu dibeli. Itu logika dibangun. Investor pemula gampang, itu ada note yang banyak dan enggak masuk," tambahnya.
Saat ini, ada 7 notasi khusus yang baru disampaikan otoritas pada website IDX dan ditampilkan beberapa sekuritas. Ke depan, OJK akan mewajibkan seluruh sekuritas mencantumkan notasi atau peringatan dini saham-saham berkualitas jelek pada aplikasi mobile trading saham.
ADVERTISEMENT
"Kami akan buat mandatory itu bagian dari perlindungan konsumen dengan 7 notasi. (Ke depan) enggak perlu UMA, tapi (cukup) notasi," tambahnya.
Tips Membeli Saham Gorengan
Bermain saham gorengan memang berisiko, tapi ada juga yang menikmatinya. Selain adrenalin, jika untung akan langsung selangit. Analis Binaartha Sekuritas, Muhammad Nafan Aji, memberikan ciri soal saham gorengan.
Menurut dia, praktik saham gorengan bisa dilihat dari berbagai tanda. Misalnya saham yang likuiditas (keaktifan di perdagangan) bergerak tak terduga dan tiba-tiba. Saham gorengan bisa naik dengan cepat, begitu pula bisa anjlok super kilat.
"Saham tersebut ketika sebelumnya tidak terjadi likuid, kemudian terjadi likuidasi yang begitu tinggi. Itu memang patut dicurigai sebagai saham gorengan," ujar Nafan.
Selain itu, praktik saham gorengan ini juga terjadi dengan naiknya harga saham yang besar meskipun kinerja fundamentalnya tak positif. Saham-saham yang terindikasi gorengan biasanya bisa dilihat pergerakannya ke dalam daftar UMA.
ADVERTISEMENT
"Biasanya didorong, akan dipantau oleh bursa efek dalam kategori UMA, yaitu ketika pergerakan saham tersebut mengalami kenaikan tetapi tidak menggambarkan kinerja fundamental yang positif," terang dia.
Analis senior CSA Research, Reza Priyambada, mengatakan keberadaan saham-saham berisiko tinggi memang tak dipungkiri menarik bagi investor.
Pasalnya, saham gorengan bisa menghasilkan keuntungan besar. Meski begitu, investor sering abai pada risiko tinggi yang mengintai.
“Problemnya, mereka (investor) ingin untung cepat tapi tak mempertimbangkan risiko tinggi. Karena ketidaktahuan mereka atau ada momen, mereka lose,” kata Reza kepada kumparan.
Reza menekankan, selain belajar seputar pengetahuan pasar modal, seorang trader atau pebisnis saham perlu meluangkan tenaga dan pikiran untuk melakukan pengamatan yang jeli.
“Karena saham seperti itu model trading cepat. Saham-saham itu kayak bola, semakin keras jatuh ke bawah membalnya juga cepat,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, ia mewanti-wanti agar investor memiliki keseriusan dan konsentrasi yang tinggi bila ingin terjun ke pasar saham berisiko tinggi. Utamanya, soal manajemen waktu yang baik.
“Jadi yang mesti dikuasai pelaku pasar, kemampuan ekstra pengawasan tadi. Time management. Punya waktu enggak,” katanya.
Di sisi lain, investor perlu memahami bila bermain saham yang berisiko tinggi tidak hanya perlu penguasaan teori dari segi fundamental kinerja emiten, namun juga memperhatikan momentum.
Menurut dia, kebanyakan investor saham pemula masih relatif idealis, hanya mau masuk ke saham yang fundamentalnya bagus saya. Padahal, dia menilai untuk dunia perdagangan saham, hal itu tidak selalu berlaku baik.
"Even fundamentalnya jelek tapi kalau banyak ditradingkan, itu naik. Kan kalau saham itu teorinya fundamentalnya bagus, harga saham naik, fundamentalnya jelek harga saham turun. Tapi realitanya enggak seperti itu. Realitanya, even fundamentalnya jelek tapi kalau lagi likuid (ya bisa naik)," kata dia.
ADVERTISEMENT