Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Berkaca dari Sri Lanka, DPR Ingatkan Sri Mulyani: Jangan Anggap Remeh Resesi
15 Juli 2022 18:26 WIB
·
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk tidak meremehkan ancaman resesi ekonomi yang terjadi saat ini. Pasalnya, negara mutiara dari Samudera Hindia alias Sri Lanka sudah terkena dampak resesi.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, meski Indonesia memiliki struktur dan fundamental ekonomi yang cukup kuat, bukan berarti Indonesia terbebas dari ancaman resesi.
“Krisis Sri Lanka dipicu salah satunya oleh krisis utang. Rasio utang to PDB mencapai 117 persen. Sementara rasio utang Indonesia saat ini 38 persen terhadap PDB. Meski demikian, di tengah pelemahan nilai tukar rupiah, rasio ini bisa meningkat.” ujar Kamrussamad dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/7).
Dia melanjutkan, International Monetary Fund (IMF) memprediksi ke depannya,ekonomi global akan semakin suram. Bahkan, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bloomberg, Indonesia masuk ke dalam 15 negara di dunia yang terancam resesi.
Kelima belas negara tersebut antara lain, Sri Lanka, New Zealand, Korea Selatan, Jepang, China, Hongkong, Australia, Taiwan, Pakistan, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, Indonesia, dan yang terakhir India. "Indikator ekonomi Indonesia saat ini memang lebih baik. Tapi trajectory nya mirip dengan lintasan negara-negara yang mengalami resesi," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Kamrussamad menuturkan, pertumbuhan ekonomi yang positif tidak menjadi jaminan. Ia mencontohkan, pada 1996 pertumbuhan ekonomi sangat tinggi, sekitar 8 persen lebih, tetapi pertengahan 1997 terjadi krisis.
“Saat ini, cadangan devisa kita sudah berkurang sekitar 12 miliar dolar AS sejak September 2021 dan terus berkurang dalam 4 bulan terakhir ini. Apalagi ditambah tren capital outflow akibat kenaikan suku bunga The Fed. Belum lagi trend harga komoditas mulai menurun sekarang. Ini berpotensi mempercepat krisis valuta,” pungkas dia.