Berlayar Menerjang Ombak: Nelayan Kecil di Tengah Pembangunan Laut Indonesia

25 Januari 2022 15:33 WIB
ยท
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nelayan memikul bahan pembuatan perangkap ikan ke atas perahu di Pantai Mamboro, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (16/6/2021). Foto: Basri Marzuki/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Nelayan memikul bahan pembuatan perangkap ikan ke atas perahu di Pantai Mamboro, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (16/6/2021). Foto: Basri Marzuki/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
April tahun ini, genap enam tahun Indonesia memiliki undang-undang yang secara khusus didesain untuk melindungi dan memberdayakan nelayan kecil, pembudidaya skala kecil dan petambak garam di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lahir dari inisiatif akar rumput, UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dibuat untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi nelayan, seperti kemiskinan, kurangnya akses terhadap sarana dan prasarana kunci dan pendanaan yang memungkinkan akses pasar, dampak kebijakan terhadap nelayan kecil, dan tingginya risiko yang melekat pada pencaharian sebagai nelayan.
Singkat kata, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan telah membayangkan pasar perikanan yang melindungi dan memberdayakan pemain skala kecil.
Dalam beberapa tahun terakhir, aspirasi nelayan tangkap skala kecil juga semakin mengemuka dalam media arus utama, termasuk dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi biru (blue economy) yang masih dilakukan beberapa tahun terakhir. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari dominasi nelayan tangkap skala kecil dalam sektor perikanan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Diperkirakan, 90 persen dari total 2,3 juta sampai 3,7 juta nelayan Indonesia merupakan nelayan skala kecil atau bergantung secara langsung dengan sektor perikanan skala kecil (FAOSTAT, 2018). Artinya, terdapat setidaknya 2 juta sampai 3,3 juta jiwa penerima manfaat dari UU Nomor 7 Tahun 2016, yang dalam kondisi ideal, terjamin kepastian usahanya dan berdaya dalam menjalankan mata pencahariannya.
Menyambut tahun keenam berlakunya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengingatkan pentingnya untuk objektif merefleksikan capaian, keterbatasan dan tantangan dalam implementasi UU ini.
"Dengan evaluasi objektif, kita dapat bersama-sama menentukan dan memprioritaskan pekerjaan rumah untuk memastikan UU ini memberikan manfaat sebesar-besarnya dalam segala keterbatasannya," tulis IOJI, Selasa (25/1).
ADVERTISEMENT

Memberdayakan Desa-Desa Nelayan

Pemerintah telah mengucurkan investasi yang cukup besar untuk melaksanakan mandat UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, dan dalam beberapa instrumen kunci telah membawa perubahan positif. Namun, perubahan positif tersebut masih jauh dari merata.
Sebagai contoh, akses pendanaan bagi nelayan kecil, yang merupakan salah satu instrumen kunci dalam pemberdayaan nelayan. Sekalipun kebijakan perbankan telah mengalami perbaikan signifikan dan lebih ramah nelayan, seperti Kredit Usaha Rakyat tanpa jaminan atau dengan alat tangkap sebagai jaminan, dinamika lokal sangat menentukan apakah nelayan kecil menikmati manfaat dari semakin terbukanya akses pendanaan ini.
Berdasarkan temuan IOJI di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, yang secara administratif merupakan bagian ibu kota negara, nelayan kecil masih mengandalkan tabungan pribadi untuk modal usahanya. Hal ini kontras dengan temuan IOJI di Desa Bulutui, Likupang, di mana hampir seluruh nelayan kecil memahami berbagai opsi pendanaan produktif dan memanfaatkannya untuk mengoptimalkan produktivitas pencahariannya.
Nelayan melintas di dekat ribuan ikan keramba jaring apung yang mati di Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Kamis (29/4). Foto: Muhammad Arif Pribadi/ANTARA
Contoh ketimpangan lainnya dapat dilihat dalam hal akses pasar. Di Pulau Tiga, Natuna, kehadiran pelaku perikanan swasta dapat menghasilkan harga beli yang baik bagi nelayan-nelayan kecil. Di sini, manfaat fasilitas perikanan yang dibangun pemerintah masih terbatas dirasakan masyarakat karena adanya pelaku usaha perikanan swasta yang kompetitif.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, IOJI menemukan kompetisi sehat tidak terjadi di Kota Kalabahi, Alor. Di sana, harga masih dimonopoli papalele sehingga nelayan kecil tidak memiliki pilihan lain selain menjual hasil tangkapannya kepada pihak-pihak tersebut. Dalam kondisi pasar seperti ini, harga patokan ikan nasional hampir tidak berpengaruh.
"Ironisnya, investasi fasilitas perikanan yang memungkinkan pasar yang kompetitif yang diharapkan masyarakat, seperti tempat pelelangan ikan, justru tidak dihadirkan di Alor," tulis IOJI.
Selain itu, pemahaman nelayan merupakan hal yang perlu melekat dalam desain program pemerintah dalam rangka menjamin dirasakannya manfaat langsung program tersebut. Asuransi nelayan merupakan studi kasus yang tepat untuk menunjukkan pentingnya pemahaman penerima manfaat agar sumber daya yang dialokasikan dapat menghasilkan manfaat yang berlanjut.
ADVERTISEMENT
Sepanjang 2016-2018, KKP dan DKP provinsi dan kabupaten menginvestasikan lebih dari Rp 381 Miliar untuk Bantuan Premi Asuransi Nelayan (BPAN) sebagai insentif awal bagi nelayan untuk kemudian memperpanjang asuransi secara mandiri (KKP, 2019). Namun, sekalipun tertarik untuk memperpanjang asuransi, penerima bantuan merasa tidak dibekali informasi yang cukup mengenai cara memperpanjang asuransinya secara mandiri.
Tidak hadirnya jasa penyedia asuransi di desa-desa nelayan untuk memfasilitasi perpanjangan asuransi dan kurangnya sosialisasi di awal mengenai manfaat asuransi semakin mengecilkan niat nelayan kecil untuk memperpanjang asuransinya.

Memeratakan Manfaat

Jika kita melihat hanya dari kacamata UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, prakondisi pertama yang memampukan nelayan kecil mengakses manfaat yang dijamin UU adalah tanda pengenal, dalam hal ini berupa Kartu Nelayan, yang kini bernama KUSUKA. Statistik resmi terakhir menunjukkan bahwa baru 719.309 nelayan kecil yang memiliki KUSUKA, atau 36 persen-50 persen dari total nelayan kecil Indonesia.
CEO IOJI Dr Mas Achmad Santosa mengikuti webinar 'Tantangan Indonesia untuk Mengakhiri Praktik Illegal Fishing'. Foto: screenshot/zoom
Dari jumlah tersebut, pengamatan lapangan menunjukkan sebagian besar nelayan kecil tidak mengetahui manfaat atau fungsi dari kartu nelayan tersebut selain sebagai pengenal identitas nelayan. Selebihnya, yaitu 50 persen sampai dengan 64 persen nelayan yang belum memiliki KUSUKA belum memenuhi syarat minimum untuk mengakses program-program perlindungan dan pemberdayaan nelayan yang dijamin UU.
ADVERTISEMENT
"Seperti mengajukan proposal untuk mendapatkan sarana prasarana perikanan mulai dari kapal, mesin, sarana pendinginan), mengakses BBM bersubsidi, mendaftarkan diri dalam asuransi nelayan, bahkan untuk membela diri jika terjerat masalah hukum," papar IOJI.
Namun, di luar itu, terdapat permasalahan yang lebih fundamental lagi dalam menjalankan UU ini. Pertama, pemerataan manfaat memerlukan strategi besar yang dapat menjangkau berbagai program perlindungan dan pemberdayaan nelayan yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga.
Dalam strategi ini, KKP bersama Pemerintah Daerah perlu memetakan wilayah-wilayah di mana kehadiran pemerintah untuk mewujudkan manfaat konkret yang dijamin UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, seperti akses infrastruktur dan akses pendanaan, paling dibutuhkan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk memetakan lokasi-lokasi ini adalah angka kemiskinan nelayan di lokasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Kedua, kebijakan perlindungan dan pemberdayaan nelayan perlu menjangkau ancaman-ancaman sektoral yang berada di luar jangkauan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Koordinasi antar sektor diperlukan untuk mencegah kebijakan yang kontraproduktif.
Anggaran belanja negara yang telah dialokasikan dan kerja keras berbagai pihak dalam memberdayakan nelayan dapat hilang apabila keamanan tenurial nelayan kecil terancam, seperti ancaman kapal ikan asing di Natuna dan konflik tenurial di Pulau Pari.
Salah satu ruang untuk memastikan harmonisasi kebijakan ini adalah melalui instrumen rencana zonasi dan rencana pengelolaan dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang perlu dioptimalkan penggunaannya dalam memastikan perlindungan hak-hak nelayan kecil.
"Pada akhirnya kebijakan perlindungan dan pemberdayaan nelayan harus dapat memberikan kepastian bahwa negara hadir dalam menciptakan keamanan maritim bagi nelayan kecil," kata IOJI.
ADVERTISEMENT
Ketiga, perlu diingat bahwa salah satu instrumen dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan adalah jaminan kepastian usaha untuk melindungi wilayah tangkap nelayan dari berbagai ancaman, termasuk penurunan kualitas lingkungan; dan jaminan perlindungan atas risiko akibat bencana alam dan dampak perubahan iklim.
Jaminan ini merupakan hak nelayan kecil, yang pelaksanaannya didukung anggaran pemerintah. Tanpa memastikan kebijakan di sektor lain mendukung terlaksananya jaminan-jaminan dalam UU ini, biaya pelaksanaan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan akan terus meningkat, sementara manfaatnya yang sudah ada terhapus sia-sia.
Pada akhirnya, pemberdayaan nelayan kecil tidak terlepas dari ikhtiar restorasi dan rehabilitasi pesisir, karbon biru, dan terumbu karang, yang perlu dilihat sebagai peluang diversifikasi pencaharian nelayan tangkap. Nelayan kecil merupakan garda terdepan yang juga berpeluang memainkan peran kunci dalam menjaga ekosistem biru, dan seharusnya tidak hanya menjadi penerima dampak, namun juga penerima manfaat ekonomi maupun non ekonomi dari konservasi laut, mitigasi perubahan iklim, dan pariwisata.
Diskusi panel memperkuat upaya pemberantasan ilegal, unreported, dan unregulated fishing (IUU) dan kejahatan transnasional di kelautan IOJI dan WRI. Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dalam segala keterbatasannya telah membangun perahu bagi pembangunan sektor perikanan skala kecil yang adil dan berdaya.
ADVERTISEMENT
"Namun, perahu ini hanya dapat menghasilkan tangkapan jika ia tidak rusak diterjang ombak. Adalah tugas kita bersama untuk memastikan ombak pembangunan laut tidak terlalu beriak, agar perahu ini dapat terus berlayar dan menghidupi mereka," tegas IOJI.