Potensi Ekonominya Besar, Ini 6 Poin Refleksi dan Proyeksi IOJI untuk Laut RI

10 Januari 2022 12:28 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
TNI AL saat mengamankan kapal asing Vietnam pencuri ikan di Perairan Natuna. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
TNI AL saat mengamankan kapal asing Vietnam pencuri ikan di Perairan Natuna. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas total perairan 6.400.000 km2, panjang garis pantai 108.000 km serta jumlah pulau yang mencapai 17.504 pulau, Indonesia memiliki sumber daya alam laut yang potensial untuk menopang ekonomi mayoritas masyarakatnya, juga keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Dalam menopang kehidupan masyarakat Indonesia, keadilan laut menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Keadilan laut merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam mewujudkan ekonomi kelautan yang berkelanjutan.
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pun memberikan catatan refleksi atas rekam jejak kebijakan pemerintah sepanjang tahun lalu dan proyeksi di tahun ini. Ada enam catatan yang diberikan.

1. Status Pengarusutamaan Pembangunan Ekonomi Laut Berkelanjutan (Sustainable Ocean Economy)

Untuk refleksi 2021, menurut IOJI, salah satu tantangan terbesar saat ini dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi kelautan secara berkelanjutan adalah ketidaktersediaan data yang akurat mengenai kekayaan laut (ocean wealth), kesehatan laut (ocean health), distribusi manfaat sumber daya kelautan secara berkeadilan (ocean equity), pembiayaan transformasi pembangunan kelautan (ocean finance) dan literasi kelautan (ocean knowledge).
ADVERTISEMENT
"Data yang akurat ini diperlukan untuk mengembangkan rencana pembangunan ekonomi nasional berkelanjutan sebagai penyempurnaan dari Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2017, dan diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Nasional (Jangka Panjang, Jangka Menengah dan Jangka Pendek)," kata Laporan IOJI yang diterima kumparan, Senin (10/1).
Untuk proyeksi 2022, arahan dan komitmen Indonesia di tingkat internasional harus ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh dengan menyusun Rencana Pembangunan Laut Berkelanjutan (RPLB) yang terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), bersama-sama dengan BAPPENAS, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Selanjutnya, RPLB, RPJPN, dan RPJMN perlu diterjemahkan dalam kebijakan- kebijakan yang bersifat operasional dan teknis, sehingga SOE dapat benar-benar dilaksanakan untuk mewujudkan triple win bagi masyarakat (people), alam (nature) dan ekonomi (economy).
ADVERTISEMENT
"Artinya, dalam setiap pengambilan keputusan kebijakan publik terkait dengan kelautan perlu dipertimbangkan ketiga kepentingan tersebut secara sama dan seimbang," kata IOJI,

Kedua, Pengelolaan Ekosistem Karbon Biru (Blue Carbon Ecosystem)

Untuk refleksi 2021, seiring dengan semakin pentingnya penanganan masalah dampak perubahan iklim dunia, Pemerintah Indonesia telah mengembangkan kebijakan terkait ekosistem karbon biru (EKB) khususnya mangrove dan padang lamun.
Dalam pengelolaan EKB, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi, di antaranya:
1. Duplikasi dan ketidakjelasan kewenangan antara dan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), KKP dan BRGM perlu diatasi agar pelaksanaan, pengawasan, serta pengelolaan EKB menjadi semakin efektif;
2. Kebijakan penataan ruang yang berpotensi untuk melindungi EKB perlu menyelesaikan beberapa masalah, yaitu penyusunan tata ruang harus berdasarkan inventarisasi lingkungan dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), percepatan penggabungan antara tata ruang darat dan tata ruang laut yang dimandatkan oleh UU Cipta Kerja, pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten terhadap pelanggaran kebijakan tata ruang;
ADVERTISEMENT
3. Konflik tenurial yang erat kaitannya dengan kepemilikan lahan masyarakat penjaga EKB akan menghambat efektivitas perlindungan EKB dan pemberian manfaat ekonomi;
4. Selain mangrove, data total luasan dan kondisi padang lamun di Indonesia belum tersedia sampai saat ini karena memang belum mendapat perhatian secara khusus dari pemerintah.
Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Indonesia, mengatakan bahwa ancaman kerusakan mangrove selain karena adanya perusakan secara langsung, ancaman juga datang dari driver lain seperti pertumbuhan populasi manusia, penataan ruang yang tidak tepat, serta pembangunan infrastruktur maupun alih guna lahan.
Proyeksi 2022, beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia dalam pengelolaan EKB adalah:
1. Koordinasi pengelolaan EKB perlu ditingkatkan antara Kemenko Marves, KLHK, KKP, BAPPENAS dan BRGM. Optimalisasi pengelolaan EKB memerlukan sinergi antar sektor dan K/L, serta integrasi database, perencanaan, pengelolaan, pengawasan, kelembagaan, hingga pemberian manfaat ekonomi bagi Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Prof. Satyawan menjelaskan bahwa permasalahan tumpang tindih kewenangan adalah hal yang perlu dibenahi.
2. Pengembangan insentif ekonomi terutama bagi masyarakat lokal untuk memotivasi keterlibatan mereka, sehingga resiliensi sosial dan ekologis dapat tercapai.
3. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon harus ditindaklanjuti dengan prosedur menghitung efektivitas penyerapan dan penyimpanan karbon, serta mekanisme pemberian dan pendistribusian manfaat antara Pemerintah Pusat dan Daerah sehingga dalam pelaksanaannya dapat memberikan manfaat yang sebesar besarnya bagi kepentingan masyarakat, khususnya ocean-dependent people.
Bakamla berhasil usir kapal Coast Guard China di Laut Natuna Utara, Senin (13/9). Foto: Bakamla

Ketiga, Keamanan Maritim Antara Ancaman Kedaulatan Kapal Asing dan Penanganan Sampah Plastik di Kapal

Refleksi 2021: Effective protection perlu difasilitasi oleh keamanan laut agar laut dapat dikelola secara berkelanjutan (sustainable production) dan mendatangkan kemakmuran yang berkeadilan (equitable prosperity).
ADVERTISEMENT
Ancaman yang menjadi perhatian utama terhadap hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di tahun 2021 meliputi hak eksplorasi dan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) hayati dan non hayati dan Penelitian Ilmiah Kelautan seperti ancaman Illegal Fishing oleh Kapal Ikan Asing (KIA) Vietnam di Laut Natuna Utara di wilayah non sengketa (masuk hingga 30 mil laut dari pulau terluar) masih marak terjadi. Juga ancaman terhadap hak berdaulat oleh kapal-kapal Tiongkok;
1. Ancaman Kapal Ikan, China Coast Guard, Kapal Riset/Survei Geologi bahkan Kapal Militer dengan tingkat ancaman yang semakin meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, berlangsung dari Mei hingga November 2021 (7 bulan). 2. Tiongkok melakukan protes dan meminta Indonesia menghentikan eksplorasi SDA di ZEE. 3. Ancaman terhadap hak berdaulat terhadap SDA migas dan penelitian ilmiah kelautan di ZEE Indonesia Laut Natuna Utara belum pernah terjadi sebelumnya sebagai satu kesatuan langkah politik Tiongkok di kawasan untuk menegaskan klaim wilayah tidak berdasar hukum internasional, UNCLOS 1982. Pemerintah RI belum menyampaikan tanggapan secara terbuka.
ADVERTISEMENT
"Untuk ancaman plastik, selama ini belum ada kajian dan evaluasi secara mendalam dan menyeluruh di tingkat nasional," tulis IOJI.
Proyeksi 2022: ancaman intrusi kapal-kapal berbendera Vietnam dan Tiongkok berpotensi terjadi kembali bahkan dengan intensitas yang meningkat pada tahun 2022, menimbang (1) situasi geopolitik kawasan, (2) rencana pengelolaan sumber daya alam Pemerintah Indonesia di wilayah laut Indonesia, khususnya Laut Natuna Utara, dan (3) ambisi Tiongkok untuk menguasai secara de facto klaim nine-dash line.

Langkah ke depan:

1. Pemerintah perlu memperkuat koordinasi patroli dan melaksanakan penegakan hukum yang efektif. Patroli perlu diikuti dengan langkah shadowing dan pengusiran terhadap kapal perang dan kapal pemerintah lain untuk kepentingan non-komersial yang memiliki imunitas yang diduga mengancam keamanan laut, mengganggu hak berdaulat, dan/atau kedaulatan Indonesia.
ADVERTISEMENT
2. Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif perlu disertai dengan upaya diplomasi yang robust terhadap negara-negara yang rutin memberikan ancaman terhadap keamanan laut Indonesia, termasuk Vietnam dan Tiongkok.
3. Pemerintah Indonesia perlu melanjutkan dan meningkatkan political will dalam penanganan sampah plastik di laut dari aktivitas kapal melalui kajian efektivitas kebijakan penanganan sampah plastik di laut, termasuk port reception facilities dan pendaftaran serta pelaporan alat tangkap ikan.

Empat, Pelindungan HAM Terhadap Pekerja Migran Pelaut Perikanan Indonesia

Refleksi 2021: Pemerintah Indonesia belum memiliki kesepahaman dalam mengatur otoritas yang memiliki kewenangan dalam mengatur Pelindungan dan penempatan Pekerja Migran Indonesia Pelaut Perikanan (PMI PP). Hal ini tercermin dari lemahnya political will pemerintah untuk menerbitkan peraturan pemerintah yang dimandatkan UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) sejak tahun 2017.
ADVERTISEMENT
Rendahnya political will ini juga tercermin dari banyaknya ketentuan UU PPMI yang hingga saat ini belum dapat dilaksanakan dan kurangnya koordinasi internasional dengan negara penerima PMI PP, antara lain ketentuan zero cost, efektivitas Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), dan peran Pemerintah Daerah hingga Pemerintah Desa.
Taat (baju oranye), nelayan di TPI Larangan Tegal Foto: Angga Sukmawijaya/kumparan
"Lemahnya pelindungan PMI PP juga disebabkan oleh ketiadaan bilateral arrangement antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah dari Negara Bendera Kapal di mana PMI ditempatkan, yaitu negara Taiwan dan Tiongkok," kata IOJI.
Proyeksi 2022:
1. Pemerintah harus mengakselerasi penerbitan PP tentang Pelindungan dan Penempatan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan untuk menunjukan komitmennya dalam pelindungan PMI PP dan Perpres tentang Atase Ketenagakerjaan.
2. Dalam masa transisi sudah harus dilakukan penyesuaian perizinan sesuai dengan UUPPMI dan sejak masa transisi, penempatan PMI PP hanya boleh ditempatkan melalui sistem perizinan yang dimiliki oleh Kemenaker dan BP2MI.
ADVERTISEMENT
3. Pemerintah Indonesia membuat bilateral agreement dengan Pemerintah Taiwan dan Pemerintah Tiongkok terkait pelindungan dan penempatan PMI PP.
4. Perwakilan RI di negara penempatan perlu mempererat koordinasi dengan jaringan maupun perkumpulan PMI PP maupun organisasi/serikat pekerja di negara penempatan karena merupakan metode yang paling efektif untuk mengetahui kondisi riil pelindungan PMI di luar negeri.

Kelima, Kebijakan Pengelolaan Penangkapan Ikan Terukur

Refleksi 2021: Pemanfaatan sumber daya ikan (SDI) sebagai bagian dari sumber daya alam pengelolaannya memerlukan kehadiran negara. Negara tidak boleh kehilangan fungsi pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan dalam pemanfaatan SDI.
Sistem Kontrak dalam pemanfaatan SDI akan mendegradasi peran negara dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengedepankan pemenuhan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
ADVERTISEMENT
Rencana untuk mengizinkan Penanaman Modal Asing (PMA) dan badan usaha asing mendapatkan kontrak pemanfaatan SDI di ZEE Indonesia perlu disikapi dengan sangat hati-hati. Berkaca pada pengalaman yang lalu, saat kapal asing dan eks-KIA diperbolehkan menangkap ikan di ZEE Indonesia, pada 2000 - akhir 2014 tingkat kepatuhan pelaku usaha sangat rendah, pengawasan kepatuhan sulit dilakukan, ditemukan praktik penggandaan izin, banyak terjadi underreported dan transshipment ilegal, serta marak terjadinya tindak pidana lainnya.
Proyeksi 2022: Sistem kontrak serta pelibatan PMA dan badan usaha asing dalam pemanfaatan SDI perlu dipertimbangkan kembali. Jika tujuannya adalah untuk menambah pendapatan negara dari pajak dan PNBP sektor perikanan, maka yang secara konstitusional dapat dilakukan adalah:
Buruh menata sejumlah keranjang berisi ikan saat berlangsung proses lelang di Pelabuhan Perikanan Samudera. Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa
1. Mengoptimalkan peran BUMN Perikanan
ADVERTISEMENT
2. Meningkatkan kualitas data dan laporan pendaratan ikan, yang termasuk namun tidak terbatas pada memastikan bahwa target PNBP yang ditetapkan harus berdasarkan scientific data stock assessment ikan yang dimanfaatkan oleh industri perikanan (Prof. La Sara, 2022)
3. Memanfaatkan data dan memastikan kebenaran materiil atas laporan tersebut (pengawasan), sehingga tidak ada ikan yang tidak dilaporkan (unreported)
4. Melakukan pertukaran data dengan Kementerian Keuangan dan koordinasi intensif untuk meningkatkan penerimaan pajak dan PNBP sektor perikanan.
"Rencana diperbolehkannya PMA dan badan usaha asing dalam pemanfaatan SDI harus diimbangi dengan kualitas dan intensifikasi pengawasan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Saat ini Indonesia belum mampu melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal ikan di WPPNRI dengan optimal karena keterbatasan kemampuan operasional, jumlah armada patroli, serta belum terlaksananya koordinasi yang efektif antara lembaga penegak hukum laut," tulis IOJI.
ADVERTISEMENT
Prof. La Sara menegaskan, ancaman Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing tidak saja dapat berasal dari praktik pencurian ikan oleh kapal ikan asing, tetapi dapat juga berasal dari praktik perikanan terukur yang mulai diterapkan tahun 2022 apabila kondisi-kondisi tertentu tidak terpenuhi.
Kondisi tersebut antara lain, (i) pengawasan yang ketat, (ii) penegakkan hukum yang kuat, (iii) tingkat kepatuhan pelaku usaha penangkapan yang tinggi terhadap peraturan perundang-undangan, (iv) pemahaman yang dalam oleh Pemerintah tentang bahaya jangka Panjang IUU Fishing dan (v) pemerataan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan untuk masyarakat.

Keenam, Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Kecil

Refleksi 2021: Pemerintah bersama DPR telah mengundangkan UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam tanggal 14 April 2016 (UU Nelayan Kecil). Permasalahan yang dihadapi oleh nelayan kecil nampaknya belum bisa diselesaikan oleh UU Nelayan Kecil.
Sejumlah nelayan memilah kerang hijau untuk segera dijual di kawasan Cilincing, Jakarta Utara, Minggu (5/12). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Dalam penelitian lapangan yang dilakukan oleh IOJI di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu; Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau; Kabupaten Minahasa Utara (Desa Bulutui), Sulawesi Utara; dan Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur ditemukan beberapa masalah utama yang dihadapi oleh nelayan kecil, di antaranya adalah: (1) Sulitnya mengakses bantuan; (2) Kurangnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan; (3) Sarana dan prasarana yang tidak memadai; (4) Tidak efektifnya program pemberian kartu nelayan/KUSUKA (Kartu Pelaku Usaha Bidang Kelautan dan Perikanan) dan Asuransi Nelayan; (5) Kurangnya sosialisasi dan pelatihan; (6) Akses pasar di beberapa wilayah masih terbatas; dan (7) Opsi sumber permodalan yang terbatas.
ADVERTISEMENT
Dedi Adhuri, Ph.D., Peneliti Senior Pusat Riset Masyarakat dan Budaya di BRIN menambahkan, nelayan kecil seringkali termarjinalkan dalam konteks (i) perikanan maupun (ii) persaingan skala usaha lintas sektor kelautan.
Dalam konteks perikanan, 10 perikanan skala kecil seringkali tidak diatur (unregulated). Hal ini berdampak pada kontribusi riilnya underestimated dan kontribusi terhadap penerimaan negara yang rendah. Sehingga, apabila dibandingkan dengan medium and large-scale fisheries, perikanan skala kecil dianggap kurang penting, bukan prioritas utama, dan kurang dilindungi meskipun ada UU Nomor 7 tahun 2016.
Kapal Hiu Macan 01 yang ditumpangi Menteri Susi menuju lokasi penenggelaman. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Proyeksi 2022: Kebutuhan perbaikan kebijakan dalam rangka meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil:
1. Sarana Prasarana
Penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh nelayan kecil, antara lain: (1) penampungan ikan (seperti cold storage); (2) pelabuhan pendaratan ikan; (3) Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN); dan (4) Akses/jalan ke Pelabuhan.
ADVERTISEMENT
2. Akses pasar
Dibutuhkan Tempat Pelelangan Ikan atau Tempat Penampungan Ikan yang disediakan oleh Pemerintah dan kehadiran BUMN Perikanan sebagai alternatif pasar.
3. Akses permodalan
Beberapa opsi pengembangan akses permodalan yang dapat dilakukan antara lain: (1) pengembangan koperasi nelayan yang dikelola oleh desa; (2) pemberian pendampingan bagi nelayan kecil untuk mengakses kredit usaha rakyat di bank daerah; dan (3) pemberian pendampingan bagi nelayan kecil untuk mengakses dana Badan Layanan Umum (BLU) dari Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP).
4 Pengawasan dan penegakan hukum
Perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan pengawasan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota terutama di wilayah-wilayah kepulauan terutama untuk pengawasan terhadap penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti bom ikan dan potassium. Selain itu, peran POKMASWAS perlu dikembangkan dan ditingkatkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat sipil dan perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT