BI Sudah Siapkan Antisipasi Dampak Terpilihnya Trump ke Ekonomi RI

20 November 2024 19:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubenur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan keterangan pers hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) III Tahun 2024 di Kantor LPS, Jakarta, Jumat (2/8/2024). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Gubenur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan keterangan pers hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) III Tahun 2024 di Kantor LPS, Jakarta, Jumat (2/8/2024). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia (BI) terus memantau perkembangan politik dan ekonomi global. Terutama terkait hasil pemilu di Amerika Serikat (AS) yang dimenangkan Donald Trump.
ADVERTISEMENT
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyampaikan BI terus melakukan asesmen atas proses politik di AS, yang dinilai dinamis, serta memperhitungkan dampak yang dapat terjadi terhadap perekonomian Indonesia.
"BI terus memantau, mencermati, melakukan asesmen atas proses politik di AS dan terutama hasil pemilu yang presiden Trump terpilih kembali. Tentu saja asesmen itu dinamis, tapi kami terus melakukan asesmen itu dan juga menakar dampaknya terhadap Indonesia," kata Perry dalam konferensi pers di Kantor Pusat BI, Rabu (20/11).
Perry menjelaskan dalam mengamati kebijakan ekonomi dan politik Trump, BI menyoroti beberapa hal penting yang dapat mempengaruhi ekonomi Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan ekonomi yang lebih berfokus pada kepentingan domestik AS, yang kemungkinan akan mengarah pada fragmentasi perdagangan. Hal ini terjadi dengan pengenaan tarif perdagangan yang lebih tinggi terhadap negara-negara mitra dagang yang surplus dengan AS, termasuk China, Uni Eropa (UE), Meksiko, dan Vietnam.
ADVERTISEMENT
"Tarif perdagangan yang tinggi kemungkinan mulai akan diterapkan pada semester II 2025. Misalnya, kepada UE, ada tarif 25 persen untuk besi, alumunium, kendaraan bermotor. Dengan Tiongkok, 25 persen untuk mesin elektronik dan chemical. Ini yang kami baca," jelas Perry.
Pengenaan tarif tinggi ini diprediksi akan menyebabkan perlambatan ekonomi global, khususnya di negara-negara yang terdampak seperti China dan UE, yang pada gilirannya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia.
Perry memprediksi, pertumbuhan ekonomi global pada 2025 akan sedikit menurun. Dari yang semula diperkirakan tumbuh 3,2 persen menjadi 3,1 persen.
Selain itu, Perry juga menyoroti kebijakan fiskal AS yang akan memperburuk defisit anggaran, yang kemungkinan akan membengkak hingga 7,7 persen dari PDB. Akibatnya, pemerintah AS akan menerbitkan lebih banyak surat utang negara (UST), yang memicu peningkatan yield UST, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini berimbas pada penguatan dolar AS, yang berbalik menarik perhatian investor global kembali ke pasar AS.
ADVERTISEMENT
"Ini yang kami lihat, penguatan dolar ini akan lebih luas, terjadi hampir di seluruh mata uang utama. DXY dolar yang sebelumnya di 103, bahkan sempat mengarah ke 101, kini sudah menguat tajam pasca pemilu AS, bahkan mencapai 106," tutur Perry.
Menghadapi situasi ini, BI memfokuskan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Perry menegaskan meski ruang penurunan suku bunga masih terbuka, BI kini lebih berhati-hati dalam merespons perubahan kondisi global yang semakin dinamis.
BI juga akan terus memperhatikan pergerakan inflasi dan stabilitas nilai tukar untuk menjaga agar rupiah tetap stabil dalam menghadapi ketidakpastian geopolitik global.
"Fokus kami adalah kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak semakin tingginya ketidakpastian geopolitik global dengan perkembangan di AS," kata dia.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai tujuan tersebut, BI mengoptimalkan kebijakan intervensi pasar valas, serta mengadakan pembelian Surat Berharga Ritel Indonesia (SBR) dari pasar sekunder. BI juga mendorong pertumbuhan ekonomi domestik melalui kebijakan makroprudensial, termasuk memberikan insentif likuiditas kepada bank-bank yang menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas, seperti perumahan rakyat.
"Totalnya, kami sudah menyalurkan insentif likuiditas sebesar Rp 256 triliun untuk bank-bank yang mendukung sektor-sektor prioritas, termasuk perumahan rakyat," ungkap Perry.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menambahkan, Indonesia masih memiliki cadangan devisa yang memadai, meskipun ada tekanan global yang cukup besar. Pada November 2024, cadangan devisa Indonesia tercatat sebesar USD 151 miliar, dan jumlah Sertifikat Valuta Asing BI (SVBI) meningkat signifikan menjadi USD 3,4 miliar, yang menunjukkan kecukupan dolar yang cukup stabil.
ADVERTISEMENT
"Keberadaan kecukupan dolar masih ada, masih cukup. Cadangan devisa kita juga 151 miliar USD," jelas Destry.
Dengan situasi yang penuh tantangan ini, BI tetap percaya kondisi perekonomian Indonesia akan terus membaik. Keberhasilan penerbitan global sukuk senilai USD 2,75 miliar yang mendapat respons positif juga menunjukkan kepercayaan asing terhadap perekonomian Indonesia dan rupiah.
"Ekonomi kita diharapkan bisa terus membaik. Asing itu masih sangat confident ke Indonesia," ungkap Destry.