Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Saat sebuah bisnis memiliki potensi yang cemerlang, maka dorongan untuk mengembangkan produk akan semakin baik. Otomatis, investasi yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas produk semakin besar.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah kesempatan, Founder dan CEO PT MD Pictures Tbk (FILM), Manoj Punjabi memaparkan bahwa film Indonesia memiliki potensi yang sangat bagus. Hanya saja dari segi budget, film di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara maju, seperti Hollywood. Hal ini tentu berpengaruh dengan kualitas film yang diproduksi oleh rumah produksi di Indonesia.
“Barat bikin film berapa Rp 2 triliun - Rp 3 triliun ada yang sampai Rp 4 triliun. Kita hanya Rp 20 miliar. Itu sih joke! sama aja kayak PSSI lawan Manchester United. Tapi (itu) analogi bahwa bayangin film USD 2 juta sama USD 200 juta, proporsinya enggak sebanding,” kata Manoj kepada kumparan dalam program The CEO kumparan di Kantor MD Pictures, Jakarta Selatan, Jumat (15/3).
ADVERTISEMENT
Sebagai gambaran, biaya produksi film Avengers: Infinity War (2018) mencapai USD 300 juta atau setara Rp 4,32 triliun (kurs USD 1 = Rp 14.400) atau film Pikachu yang baru rilis awal Mei menghabiskan biaya USD 150 juta atau setara Rp 2,16 triliun.
Pria kelahiran Jakarta itu mengaku produksi film terbesar MD Pictures yang dikerjakan sendiri selama ini adalah Habibie Ainun dan Ayat-ayat Cinta 2 yang menelan biaya produksi mencapai Rp 25 miliar. Sedangkan produksi film terbesar yang bekerja sama dengan rumah produksi lainnya, adalah Foxtrot 6. Produksi film Foxtrot 6 menelan biaya pembuatan mencapai USD 5 juta atau sekitar Rp 72 miliar (kurs USD 1 = Rp 14.400) pada tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Manoj pun menambahkan, produksi film jenis action lebih mahal dibandingkan jenis lainnya seperti drama, komedi maupun horor.
“Dan kita sudah kalau mau bikin film action di atas Rp 30 miliar - Rp 40 miliar,” sebutnya.
1 Film Hollywood Bisa Hidupi 15 Ribu Orang
Sebagai industri kreatif, perfilman memiliki dampak besar. Selain mampu mempengaruhi gaya hidup dan berpikir orang, film juga bisa menciptakan banyak lapangan kerja. Seperti film serial Games of Thrones yang melibatkan banyak personel hingga profesi pendukung. Atau film hollywood lainnya yang mampu melibatkan banyak tenaga kerja.
Manoj menjelaskan 1 buah film Hollywood bisa menghidupi hingga belasan ribu orang.
“Luar biasa bikin film Hollywood kalau bikin film bisa sampai 15 ribu orang. Kalau anda nonton film fox misalnya this film has given 15 ribu ada di-credit terus kalau film Indonesia ratusan (lapangan kerja),” kata Manoj.
ADVERTISEMENT
Bisa dibayangkan bila industri film Indonesia tumbuh layaknya industri film di India, Korea Selatan, hingga Amerika Serikat. Angka pengangguran Indonesia bisa ditekan yang saat ini jumlahnya mencapai 7 juta orang (Pengangguran Terbuka versi BPS per Agustus 2018).
Dampak positif lainnya yang ditimbulkan dari industri film ialah mendorong pariwisata. Film bisa menjadi wahana promosi gratis untuk menggerakkan dan mempromosikan pariwisata. Seperti Film Crazy Rich Asian yang mempromosikan objek wisata dan ragam kuliner di Singapura. Kemudian film The Beach yang dibintangi Leonardo Dicaprio. Film ini mengambil gambar di pantai Maya Bay, Thailand.
Pasca-film itu, Maya Bay sangat tersohor ke seluruh dunia. Indonesia, lanjut Manoj, memiliki kekayaan alam dan budaya yang sangat menarik bagi wisatawan dunia. Apalagi pemerintah memiliki target mendatangkan 20 juta wisatawan asing per tahun dan memperkenalkan 10 ‘Bali Baru’.
ADVERTISEMENT
“Tapi value yang film memberikan itu jangan dilupakan very part of full. Bisa jadi pariwisata membangkitkan Indonesia, mencerminkan budaya kita,” tambahnya.
Namun, perizinan pembuatan film asing di Indonesia diakui Manoj masih sangat susah. Masih banyak dokumen yang wajib diurus untuk menjadikan Indonesia sebagai lokasi syuting.
“Datang saja susah. Izin kerja saja susah. Kalau saya komplain, banyak tuh,” tuturnya.
Indonesia sebetulnya bisa belajar dari Korea Selatan. Negara Ginseng yang pernah menjadi negara miskin seperti Indonesia di era 1950-an ini, dinilai sukses mengembangkan industri kreatif seperti musik dan perfilman. Industri kreatif menjadi mesin ekonomi dan pencipta lapangan kerja.
Mayoritas film yang beredar di dalam negeri Korsel adalah produksi lokal. Hal ini bukan tanpa sebab. Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Kim Chang-beom dalam acara Milenial Indonesia dalam Ekonomi Kreatif di Era Industri 4.0, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (3/4) menjelaskan negaranya bisa maju dan dikenal dunia saat ini, salah satunya karena fokus pada sektor ekonomi kreatif seperti musik K-Pop dan film. Kunci suksesnya adalah dengan mengkombinasikan kreativitas dengan kemajuan teknologi.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, di industri hiburan, salah satu rekor tertinggi belum lama ini adalah boyband bernama Bangtan Boys (BTS) karena menjadi sejarah Korsel. BTS berhasil masuk peringkat pertama billboard. Berita ini pun langsung memenuhi perbincangan dunia media sosial seperti Twitter, termasuk oleh ARMY, sebutan fans BTS, dari Indonesia tahun lalu.
"Kami masuk ke semua televisi kabel yang ada di Asia Tenggara. Kami ingin gaya hidup kami menjadi contoh masyarakat global," ujar Kim.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menilai rumah produksi nasional kini sudah mulai mampu menghasilkan film berkualitas. Bila terus didorong, industri film nasional mampu mengurangi arus modal keluar karena harus membeli film impor. Secara makroekonomi, industri film lokal bisa mengerem laju defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang digerakkan arus modal keluar dan tingginya impor.
ADVERTISEMENT
"Sekarang banyak PH (rumah produksi) di Indonesia, dan sekarang kita bisa jadi tuan rumah untuk film-film kita di Indonesia ini. Kalau zaman dulu saya SMA, SMP, nonton film barat semua, film luar negeri, silat dari Hong Kong," kata Mirza Adityaswara yang saat diwawancarai masih menjabat di Gedung BI, Jakarta, Rabu (27/3).