Bisnis Klenik Jadi Ladang Cuan Baru di Medsos, Mengapa Masih Digandrungi?

7 Juli 2024 11:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cek khodam online. Foto: Syawal Febrian Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cek khodam online. Foto: Syawal Febrian Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penerawangan atau cek khodam mendadak jadi tren baru yang ramai ditonton di TikTok belakangan.
ADVERTISEMENT
Khodam sendiri dalam bahasa Arab artinya pembantu, penjaga, atau pengawal dengan bentuk yang beragam, dapat berupa jin, roh leluhur, hingga energi.
Kebiasaan meyakini hal-hal berbau supranatural hingga kepercayaan terhadap roh leluhur di Indonesia telah berlangsung lama, sedari tradisi lisan masih kentara. Seperti halnya khodam, yang dalam budaya Jawa dipercaya dapat memberikan berbagai manfaat bagi pemilik weton, mulai dari perlindungan hingga kekuatan spiritual.
Seiring perkembangan zaman, hal-hal berbau klenik ini rupanya beradaptasi dengan teknologi. Tak cuma cek khodam, sejumlah praktik bisnis klenik telah lebih dulu berekspansi ke media digital.
Sebut saja bisnis jasa pasang susuk berikut dengan penjualan susuk dan jimatnya. Ada pula penjualan bulu perindu untuk memikat lawan jenis, hingga penjualan parfum aura.
ADVERTISEMENT
Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis, berharap masyarakat bisa lebih berhati-hati dengan praktik bisnis klenik di media sosial yang saat ini menjamur. Menurut dia, banyak kasus penipuan yang terjadi dalam bisnis berbau klenik di media sosial ini.
Dia menyoroti fenomena pemalsuan testimoni produk ataupun jasa ilmu klenik di media sosial. "Saya kira yang jadi masalah dari promosi produk klenik ini adalah adanya unsur penipuan ya. Jadi konsumen perlu lebih cerdas untuk memahami penawaran terkait klenik ini, testimoni bisa saja direkayasa sehingga konsumen tertarik untuk membeli," kata Rissalwan kepada kumparan, Rabu (4/7).
Ilustrasi dukun. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Rissalwan tidak menampik banyak orang yang masih mempercayai hal klenik ini, bahkan setelah berekspansi ke media sosial yang notabene merupakan teknologi baru. Sebab, Rissalwan melihat manusia memiliki kebutuhan akan kekuatan besar yang dapat merubah hidup, membuat masyarakat dengan mudah mempercayai hal-hal berbau klenik.
ADVERTISEMENT
"Nah fenomena tentang harapan tersebut menjadi lebih kompleks karena peran medsos yang menjadi kanal marketing untuk produk-produk dan jasa layanan klenik," terang Rissalwan.
Pengamat ekonomi digital, Heru Sutadi, memandang praktik klenik semacam ini tidak ubahnya seperti orang yang mempercayai ramalan zodiak juga shio. Dengan catatan, tidak menimbulkan kerugian baik materil maupun nonmateril.
"Sebenarnya sama aja dengan ramalan zodiak, shio, kan itu kan lucu-lucuan aja gitu karena semua bintang. Semua shio itu kan ternyata memang bagus ada motivasi di dalam ramalan-ramalan tersebut. Untuk lucu-lucu, untuk kita baca-baca aja sepanjang itu gratis nggak masalah," tutur Heru kepada kumparan, Selasa (2/7).
Ilustrasi Shio Foto: Shutter Stock
Artinya, masih dianggap sebagai pemanfaatan media sosial untuk hal-hal yang menyenangkan sepanjang tidak merugikan peminatnya. Sebaliknya, masyarakat harus menyikapi fenomena ini dengan baik, jika bisnis klenik ini dapat menimbulkan kerugian, seperti mengeluarkan uang dengan jumlah yang besar ataupun melakukan sederet ritual.
ADVERTISEMENT
"Nah yang masalah itu ketika misalnya harus berbayar kemudian juga ada hal-hal lain misalnya gitu ya diharuskan melakukan ritual, itu yang kita harus berhati-hati," jelas Heru.
Dia tidak menampik bahwa perkembangan teknologi digital akan membawa sederet layanan untuk turut bertransformasi, termasuk bisnis yang berbau klenik. Hanya saja, masyarakat harus lebih bijak untuk menyikapi perubahan ini.
Tren penelusuran khodam di Google. Foto: Google
"Kalau kita lihat kan memang misalnya film-film horor juga kan juga ramai, artinya mungkin masyarakat juga banyak yang melirik perkembangan digital ini untuk bisa jadi dengan banyak tujuan, banyak motif. Tapi memang kita harus juga secara bijak menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi," tutup Heru.
Berdasarkan survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, sebanyak 48,65 persen usaha berjualan daring dilakukan melalui media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan sebagainya. Sebanyak 20,64 persen di antaranya memiliki akun penjualan di marketplace/platform digital. Lalu ada 4,92 persen usaha yang menggunakan email dalam berjualan online dan hanya 2,05 persen usaha yang menggunakan website.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data wearesocial pada Januari 2024 dari 139 juta pengguna media sosial di Tanah Air, 90 persen di antaranya merupakan pengguna WhatsApp atau setara dengan dengan 125,1 juta orang.
Sedangkan pengguna Instagram ada 85,3 persen atau 118,56 juta orang, pengguna Facebook 81,6 persen atau 113,42 juta orang, pengguna TikTok 73,5 persen atau 102,16 juta orang dan 57,5 persen di antaranya menggunakan Telegram atau sebanyak 79,92 juta orang.