Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Sepatu bukan lagi sebagai kebutuhan untuk melindungi kaki saat beraktivitas, tapi sudah menjadi gaya hidup, juga investasi . Salah satunya adalah sepatu sneaker yang tengah digandrungi anak muda hingga orang tua.
ADVERTISEMENT
Saban tahun, berbagai varian sneaker diproduksi. Nike, Vans, Adidas, Reebok, hingga Balenciaga, merupakan merek sepatu yang banyak menelurkan sneaker keren dengan harga menjulang. Sneaker original dari merek-merek tersebut dijual mulai dari Rp 1 jutaan hingga Rp 100 jutaan.
Mahalnya sneaker inilah yang menggerakkan Arie Nugroho. Dia mencoba menjual sneaker dengan menjadi reseller secara online dan offline. Tokonya bernama Ninety9Plus di Radio Dalam, Jakarta Selatan. Semua sepatu yang dipajang di tokonya merek internasional seperti Nike, Converse, Vans, Adidas, hingga Balenciaga.
Arie mulanya membuka usaha jualan sneaker karena keinginan memiliki sepatu-sepatu tersebut. Sayangnya, harga di ritel terlalu mahal. Dia ingat betul, tahun 2000-an, saat masih kuliah, bisa punya sneaker setelah mengumpulkan uang sedikit demi sedikit.
ADVERTISEMENT
"Dulu zaman kuliah itu diawali dengan hobi. Saat punya hobi dibarengi dengan ekonomi yang kurang cukup. Sambil jalannya waktu, saya ada semacam teman suka ke luar negeri, dia suka dapat diskon, misalnya beli sneaker harga Rp 1 juta, dia dapat Rp 500 ribu," cerita Arie kepada kumparan, Minggu (1/3) lalu.
Arie pun minta izin ke temannya untuk jual sneaker itu. Karena barang diskon, biasanya sepatu tersebut tak memiliki boks. Meski begitu, banyak juga yang cari. Animo meningkat. Dia pun mulai serius bisnis sneaker itu dengan nempel bisnis serupa milik adiknya yang lebih dulu jalan.
Bisnis itu terus berjalan. Arie mulai mendatangkan banyak model sneaker. Karena tujuan awal sebagai hobi dan ingin membantu orang yang ingin punya sneaker tapi uang terbatas, cuma dapat margin hanya Rp 50 ribu per sepasang sepatu pun dilakoninya.
ADVERTISEMENT
"Akhirnya aku jadi adalah modal buat diri sendiri, nanti kapan gitu kalau punya modal lebih, pengin punya stok barang untuk teman atau customer yang kurang beruntung, pengin punya sepatu harga pas-pasan," ucapnya.
Tak ingin terus nempel adiknya, pada 2017 Arie memutuskan membuka brand baru dengan nama Ninety9Plus. Logo untuk tokonya sendiri pun dibuat. Bisnis yang dimulai saat hendak menikah itu awet berjalan hingga saat ini.
Sneaker yang dia impor masih berasal dari negara Asia seperti Jepang, Malaysia, dan Singapura. Ke depannya, Arie berencana order dari luar Asia, seperti Amerika Serikat yang menjadi rumah produsen sneaker terkenal.
Saat ini, di toko Arie ada sekitar 300 model sneaker. Rata-rata penjualan per bulannya 10 hingga 15 pasang. Jumlah tersebut bisa meningkat jika sedang ada pameran dan ramai pengunjung.
ADVERTISEMENT
"Kalau lagi ada pameran, sneaker yang terjual seminggu bisa 15-20 pasang, sekitar Rp 20 juta sampai Rp 40 juta. Cuma balik lagi, pameran sneakers sekarang sudah enggak ada yang bagus lagi," kata Arie.
Toko sneaker lain yaitu Baddas Monkey, ikut meramaikan industri ini. SPV Area Baddas Monkey Rizki Febriyan Purba mengatakan usaha ini didirikan sejak 2014 lalu di Jakarta. Sneaker yang dijual ada yang berasal dari brand luar negeri seperti Nike dan Adidas berbagai jenis.
Namun, dengan perkembangan sneaker lokal yang semakin kreatif, Baddas Monkey juga memasarkannya di toko online mereka seperti W. Essentiel, Sins, Cleaner, dan Immune.
“Tapi secara umum brand-brand luar itu saat ini masih banyak peminat seperti Nike Air Jordan, Yeezy, dan lainnya. Harga sneaker dari Rp 1 juta sampai di atas Rp 100 juta. Beberapa sengaja dikoleksi, grails. Contohnya seperti Yeezy 350 turtle dove, Jordan 2 Eminem, dan masih banyak lagi,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Tak Pernah Mati, Tapi Banyak Tantangan
Sneaker menjadi bisnis yang tak pernah mati. Seperti Vans yang melegenda dan masih bertahan setelah 54 tahun pabriknya dibangun oleh Paul Van Doren di California, Amerika Serikat.
Menurut Arie, sneaker akan selalu dicari karena menjadi kebanggaan pemakainya, terutama edisi terbatas. Tak hanya keluaran terbaru, sneaker lama yang langka, jika bisa merawatnya, juga akan menghasilkan uang.
Arie mengakui banyak tantangan menjalankan bisnis ini. Pertama, membedakan sneaker yang asli dan palsu. Bagi dia yang sudah lama berkecimpung di bisnis ini, tak sulit membedakan sneaker Nike atau Adidas asli dan palsu. Salah satunya dari kerapian jahitannya.
Kesulitannya baru terasa manakala membedakan sneaker Vans asli dan palsu. Tak hanya dia, untuk senior di bidangnya, sneaker buatan Van Doren Rubber ini memang terlalu mudah untuk ditiru dengan kualitas yang sama rapihnya.
ADVERTISEMENT
“Tapi ada yang blunder, misalnya Vans. Pertama, karena bahannya canvas dan rubber, gampang ditiru. Tapi kalau main ke Adidas, Nike, Balenciaga, sedikit banyak bisa kita tandain barangnya asli atau palsu,” jelasnya.
Sebagai owner, Arie bertemu dengan banyak pelanggan secara langsung atau pun virtual. Bagian ini juga cukup menantang sebab ada calon pembeli yang ngetes penjual. Diakui Arie, si pembeli itu tahu banyak tentang sneaker, tapi hanya ingin tahu penjelasan dari sang penjual.
Ada juga tipikal pembeli yang polos, sama sekali belum paham sneaker, sehingga ketika dia beli, rentetan pertanyaan ditujukan ke tokonya. Rata-rata dari mereka bertanya keaslian sepatu yang dijual di Ninety9Plus.
“Makanya saya bikin toko offline juga, jadi kalau mereka enggak yakin, sini yuk mampir ke toko, lihat sendiri barangnya. Saya jelasin langsung, edukasi langsung. Jadi emang menurut saya harus seimbang, ada toko online dan offline,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Tantangan lainnya adalah persoalan klasik: modal. Banyak yang berani ‘bakar duit’ di tahap awal dengan menjual sneaker harga miring. Potongan diskon yang diberikan kadang tak masuk akal, bisa lebih murah dari harga ritel yang selama ini selalu berada di atas harga reseller.
“Semuanya main murah-murahan. Ini impcat-nya negatif. Memang mau usaha (dengan bakar duit) itu hak dia, tapi kalau mau observasi, ini impact-nya enggak akan terjadi,” kata dia.
Hal yang sama juga dialami oleh Baddas Monkey. Rizki mengatakan industri dahulu dan sekarang banyak perubahan. Kata dia, penjualan sneaker beberapa tahun lalu lebih mudah dibandingkan sekarang. Meski begitu, market tetap besar.
"Kita wajib berubah mengikuti perkembangan market dan trend," ujarnya.
ADVERTISEMENT