Bos Keramik Ngeluh Harga & Pasokan Gas di RI Tak Stabil

25 April 2021 9:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Toko keramik Centro Keramik Batu Alam di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat (9/9). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Toko keramik Centro Keramik Batu Alam di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat (9/9). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Bos keramik dari Platinum Group, Sutatno Sudarga, mengungkapkan keluh kesahnya terhadap kebijakan harga dan pasokan gas di Indonesia. Menurutnya, pelaku industri hingga saat ini masih kesulitan mendapatkan pasokan yang stabil.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancaranya di YouTube milik Hermanto Tanoko, Sutatno sebenarnya ikut senang dengan keputusan pemerintah yang menurunkan harga gas secara nasional menjadi USD 6 per MMBTU sejak tahun lalu. Sayangnya, pasokannya justru dibatasi.
"Setelah harga gas diturunkan jadi USD 6 per, kita bisa hidup. Sebelumnya, harga gas itu USD 8. Sayangnya, di Jawa Timur baru 70 persen yang USD 6, sisanya 30 persen masih USD 8," kata Sutatno dikutip kumparan, Minggu (25/4).
Dia mengatakan, saat harga gas USD 8 per MMBTU, bebannya terhadap total biaya produksi keramik mencapai 24 persen. Dengan turun menjadi USD 6 per MMBTU, porsi beban turun menjadi 18 persen.
Dengan penurunan harga itu juga, saat ini industri keramik bisa ekspansi karena pasar sudah kompetitif, termasuk bisa melawan impor. Sayangnya, menurut dia, pasokannya justru dibatasi.
ADVERTISEMENT
"Tapi kita tidak bisa dapat tambahan supply gas. Padahal pemerintah waktu turunkan harga itu agar industri kita bersaing melawan impor. Tanpa gas, kita enggak bisa buat apa-apa sebab enggak ada penggantinya," ujarnya.
Keluhan lainnya mengenai kebijakan harga gas nasional yang ditetapkan pemerintah dan dijual PT Perusahaan Gas Negara Tbk (Persero) atau PGN adalah sistem pembayarannya. Sebelum ada aturan baru, sistem pembayarannya masih menggunakan dolar AS di setiap transaksi.
PGN salurkan gas ke pelanggan industri baru di Bekasi dan Dumai. Foto: PGN
Akan tetapi, dengan aturan baru sekarang, pemerintah mengubahnya menjadi menggunakan rupiah. Sayangnya, dasar harganya (base price) tetap mengacu pada dolar AS. Bahkan, lebih ribet karena pelanggan tidak bisa membeli dolar lebih dulu.
"Rupiahnya hanya dikonversi. Ini malah menyulitkan. Karena waktu bayar pakai dolar, kita beli dolar tiap hari untuk stabilkan exchange rate. Sebulan itu beli 20 kali. Sekarang enggak bisa. Saat bayar tanggal 20, ya ikut kursnya segitu," lanjut Sutatno.
ADVERTISEMENT

Terpaksa Impor Keramik

Dengan penurunan harga gas untuk industri termasuk keramik, pemerintah berharap industri nasional bisa kompetitif dan bisa melawan serbuan produk asing terutama keramik dari China dan Vietnam.
Keran impor keramik akan dibuka jika produksi keramik di dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan nasional. Sayangnya, karena masih ada kesulitan mendapatkan gas seperti pasokan gas yang dibatasi saat ini, para pengusaha seperti Sutatno pun kadang terpaksa impor.
"Tapi kalau kebutuhan enggak bisa dipenuhi produksi dalam negeri karena tidak ada supply gas, kita malah pikirkan untuk impor dengan merek kita. Terpaksa," ucapnya.
Sutatno menyayangkan jumlah gas di Indonesia melimpah, tapi pelaku industri masih sulit mendapatkannya. Salah satunya seperti di Jawa Tengah yang bahkan belum ada pipa gas yang dibangun. Industri pun akan sulit tumbuh di sana.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya kita sudah gembira punya program benci impor. Pengusahanya sudah semangat, tapi malah di Jateng tidak ada supply gas sama sekali. Mereka tidak berani pasang pipa karena belum dapatkan order signifikan. Tapi kalau kita enggak pasang pipa, ya enggak akan pernah dapat pelanggan," ujarnya.
Catatan kumparan, jalur pipa gas yang tak kunjung dibangun di Jawa Tengah adalah proyek pipa transmisi gas ruas Cirebon-Semarang.
Proyek itu sebenarnya sudah dilelang sejak 2006, tapi sampai hari ini belum terbangun. PT Rekayasa Industri (Rekind), yang memenangkan proyek ini 15 tahun lalu, resmi mundur pada 2 Oktober 2020 lalu.
Hingga kini, proyek itu pun masih terkatung-katung. PT Bakrie and Brothers Tbk (BNBR) sebagai badan usaha pemenang lelang urutan kedua telah menyampaikan pernyataan minat proyek pipa gas Cirebon-Semarang secara tertulis berdasarkan surat Direksi BNBR tanggal 13 November 2020.
ADVERTISEMENT
Namun, belum lama ini, Kementerian ESDM dan Badan Pengatur Hilir (BPH Migas) beda arah. Harapan BPH Migas itu dipupuskan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam surat keputusannya yang ditujukan kepada BPH Migas pada 1 April 2021 yakni surat Nomor T-133/MG.04/MEM.M/2021 menyatakan bahwa "Sesuai Pasal 3 dan Pasal 4 PP No. 36 Tahun 2004 bahwasanya untuk membangun pipa gas bumi ruas transmisi Cirebon-Semarang dilaksanakan dengan skema APBN."
Di sisi lain, PT PGN Tbk belum lama ini mengaku tertarik menggarap proyek pipa gas Cisem asalkan biayanya menggunakan uang negara.