Bos MD Pictures: Industri Film RI Lemah di SDM dan Insentif Pajak

24 Mei 2019 15:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
CEO MD Pictures, Manoj Punjabi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
CEO MD Pictures, Manoj Punjabi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa tak kenal film laris seperti Ayat-ayat Cinta hingga Habibie Ainun. Film Indonesia ini mampu menyedot jutaan penonton. Di balik karya ini, ada sosok rumah produksi dan film, PT MD Pictures Tbk (FILM).
ADVERTISEMENT
Perusahaan ini didirikan oleh Manoj Punjabi bersama sang ayah pada 7 Desember 2003. Berkat kerja keras dan konsistensi Manoj, MD Pictures pada 7 Agustus 2018 melantai di bursa atau melakukan penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO). Saat mengajukan IPO, MD Pictures tercatat memiliki pendapatan sebesar Rp 154 miliar dan laba bersih Rp 61 miliar pada tahun buku 2017. Sukses IPO, emiten berkode FILM itu tercatat sebagai perusahaan sektor perfilman pertama yang go public.
Founder dan CEO MD Pictures, Manoj Punjabi berbagi cerita tentang industri perfilman yang masuk ke dalam kategori ekonomi kreatif.
Meski mampu melahirkan film layar lebar dan sinetron berskala nasional hingga internasional seperti Foxtrot-Six, Manoj bercerita pihaknya masih mengalami kesulitan dalam merekrut pekerja handal. Artinya ketersediaan sumberdaya manusia di industri film nasional masih sangat terbatas. Dari penulis skenario, sutradara, ahli kamera, pengatur suara, pakaian, hingga sektor terkait masih terbatas jumlahnya.
ADVERTISEMENT
“Kalau menurut saya itu salah satu juga kelemahan kita. Secara kreatif, kita tahu orang Indonesia sangat kreatif. Tapi bayangkan kalau sekolahnya lebih top, kita punya training ground infrastructure. Itu enggak ada. Ini masih sangat di bawah standar,” kata Manoj kepada The CEO kumparan di Kantor MD Pictures, Jakarta Selatan, Jumat (15/3).
Ia mengambil contoh tentang susahnya mencari sumber daya manusia andal di sektor perfilman. Dalam proses pencarian pekerja profesional, MD Pictures harus berjuang keras karena tak semua orang di industri film nasional memiliki kualitas mumpuni.
“Di Indonesia ketemu 10 orang, belum tentu 1 orang filmmaker. Kalau di LA (Los Angeles) ketemu 10 orang, 3 orang bisa filmmaker kalau enggak penulis, artis dan ketemu 10 filmmaker 2 punya bakat,” tambahnya.
Totalitas Manoj Punjabi Berbisnis Film. Foto: Putri Arifira/kumparan
Tidak perlu jauh ke Amerika Serikat (AS), Manoj mengambil contoh negeri Jiran Malaysia yang memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia perfilman yang memadai. Di sana terdapat sekolah yang mampu menciptakan tenaga kerja perfilman andal. Pemerintah Malaysia juga mendukung industri film. Meski demikian, Indonesia masih unggul soal kreativitas, namun hal tersebut masih belum cukup untuk mencetak tenaga kerja perfilman yang profesional.
ADVERTISEMENT
“Indonesia masih di bawah Malaysia padahal sori ya, film Indonesia sama Malaysia jauh kita lebih unggul dari kualitas. Dari segi kreatif, orang Indonesia berapa yang kerja untuk Malaysia dibanding orang Malaysia dipekerjakan untuk Indonesia. Jadi talent kita lebih kuat, lebih kreatif lah pintar relatif kan,” tuturnya.
Insentif Pajak di Industri Film Nasional
Selain soal infrastruktur dan sumber daya manusia, Indonesia masih tertinggal dalam dukungan fiskal berupa insentif pajak. Manoj optimistis jumlah film nasional yang berkualitas akan lahir lebih banyak bila ada dukungan berupa pengurangan pajak.
Saat ini, 40 persen dari film yang beredar di bioskop tanah air merupakan film lokal.
“Maksud saya subsidi penting dong supaya kita bisa lawan film asing,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini telah dilakukan oleh Singapura, yakni memberikan dukungan atau potongan perpajakan bila melakukan syuting film di sana. Di Indonesia, insentif bisa dalam bentuk potongan bahkan menggratiskan pajak untuk tiket bioskop yang menampilkan film Indonesia.
“Gini deh kalau HTM tiket, mungkin film nasional tidak kena pajak. Film asing yang kena, bisa kan?” ungkapnya.